Cerita Om Petu, 39 Tahun Membuat Miniatur Kesenian Papua

Konten Media Partner
13 Oktober 2019 10:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petrus Yoweni, saat merangkai salah satu hiasan, foto: Edi Musahidin
zoom-in-whitePerbesar
Petrus Yoweni, saat merangkai salah satu hiasan, foto: Edi Musahidin
ADVERTISEMENT
Usia bukan penghalang untuk berkarya, istilah tersebut tampaknya melekat dalam diri Petrus Yoweni (70). Sebab, hingga di usianya yang kini menginjak 70 tahun, dirinya masih melestarikan budaya Papua. Pria dengan panggilan akrab Om Petu ini merupakan, salah satu Orang Asli Papua (OAP) dari Kampung Rumberpon, Manokwari, Papua Barat. Semasa hidupnya ia menghabiskan waktu dengan membuat miniatur hiasan seni budaya Papua.
ADVERTISEMENT
Melakoni usaha bisnis hiasan sejak tahun 1980 hingga saat ini, ia terinspirasi membuat kesenian saat bergabung dalam grup tarian yang ada di Sorong, Papua Barat.
"Saya mulai aktif sejak tahun 1980," jelasnya, Minggu (13/10).
Dari situlah, rasa cinta dan semangat untuk terus mengembangkan seni-seni Papua ia pupuk dan pertahankan. "Saya menjalankan bisnis itu semua berkat dukungan dari keluarga maupun rekan- rekan seniman di daerah ini," bebernya.
Ia mengaku, walaupun dengan keterbatasan biaya, tak pernah menyerah dalam mengembangkan budaya Papua di kalangan masyarakat Papua hingga ke luar Papua.
“Mengapa saya kembangkan kesenian Papua supaya tidak punah masa yang akan datang. Dari sekarang harus ajarkan kepada kepada anak cucu kita, lama-kelamaan budaya dilestarikan nenek moyang terdahulu akan punah,” ujar Petu.
Salah satu hasil karya Petrus, foto: Edi Musahidin
Dia mengatakan, banyak karya seni yang diciptakannya seperti noken, baju adat terbuat dari kulit kayu. Selain itu busur, pelepah dan panah terbuat dari bambu tifa. Sedangkan rumah adat, perahu adat terbuat dari kayu khusus.
ADVERTISEMENT
“Pembuatan noken berukuran kecil hanya memakan waktu satu hari, sedangkan noken berukuran besar dapat memakan waktu seminggu. Sedangkan hiasan rumah adat tiga hari, hiasan panah dua hari, sementara tifa memakan waktu satu bulan karena kita juga harus melakukan kegiatan lain,”katanya.
Harga hiasan dinding dijual relatif terjangkau, misalnya noken Rp 50 ribu hingga Rp100 ribu, baju adat Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu, rumah adat Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta rupiah.
Petrus mengakui, selama menjalani bisnis kesenian tersebut ia menggunakan modal dari uang pribadi. Tanpa ada iuran dan bantuan dari pemerintah setempat.
"Ya kalau mereka turun ke bawah untuk melihat masyarakat kecil seperti kami. Saat ini belum mendapatkan perhatian pemerintah untuk mengembangkan usahanya kerajinan ini,”ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Disinggung soal uluran tangan pemerintah, kata dia kalau tunggu bantuan dari pemerintah kapan bisa menghidupi kebutuhannya sehari- hari.
“Terus kalau saya tidak bekerja. Saya mau kasih makan istri dan anak dengan apa. Makanya dengan bisnis ini sedikit-dikit bisa mencukupi makan di rumah. Dari pada saya hanya tidur–tidur di rumah tidak memberikan dampak dan manfaat sama sekali. Alangkah baiknya, mengembangkan usahanya. Karya kalau sudah jadi, biasanya dititipkan penjualan souvenir Manokwari.
“Sebab zaman sekarang mencari pekerjaan sangat sulit. Makanya, dengan talenta dan bakat yang Tuhan anugerahkan ini dimanfaatkan dengan baik,”ujarnya.
Karya seni yang dihasilkan Petrus,foto: Edi Musahidin
Dirinya berharap kesenian Papua ini dikenal luas terutama untuk anak muda agar tidak punah di masa mendatang. Produk-produk kesenian tersebut menjadi ikon ciri khas orang Papua dan Papua Barat. Sehingga hal ini perlu dilestarikan oleh generasi muda
ADVERTISEMENT
“Budaya Papua ini diwariskan kepada anak anak cucu kita, supaya tidak punah di masa yang mendatang," tutupnya.
Reporter: Edy Musahidin