Melawan Penguasa Abnormal

Konten Media Partner
14 Mei 2019 9:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Fransiskus Limawai S,Fil
zoom-in-whitePerbesar
Fransiskus Limawai S,Fil
ADVERTISEMENT
Catatan Dari Lapas Kelas III Lembata Part (2)
Pada bagian kedua tulisan ini, saya ingin meneropong kasus yang saya alami sambil melihat potret kekuasaan model apa yang sedang menjadi sasaran kritik saya di Lembaga DPRD yang pada akhirnya menghantar saya ke Lapas Kelas 3 Lembata.
ADVERTISEMENT
Para ‘Pemberontak’ Yang Dikriminalisasi Penguasa
Ternyata sejarah dunia telah menyimpan banyak kisah tentang ‘para pemberontak’ yang dikriminalisasi para penguasa yang otoriter, anti kritik, korup dan egoistik. Penguasa yang suka menyalahgunakan kewenangan biasanya tidak suka diawasi dan dikritik. Jika diawasi dan dikritik, mereka akan berusaha untuk membungkam para pengeritiknya dengan cara-cara yang kotor bahkan keji. Dan sejarah dunia telah mencatat sekian banyak penguasa yang ‘pongah’, mengkriminalisasi para pengeritiknya bahkan dengan keji menghabisi mereka. Namun sejarah dunia juga mencatat bahwa ‘para pemberontak’ yang dengan gigih berjuang melawan kepongahan penguasa dan dengan teguh meneriakkan kebenaran dan keadilan, pasca dikriminalisasi, tampil sebagai pemimpin – pemimpin yang dipuja-puji rakyatnya karena membawa aura kekuasaan yang humanis. Atau, penguasa yang ingin membungkam para pengeritiknya dengan cara memasukkan mereka ke balik jeruji besi, agar bisa ‘diam’, ternyata dari dalam jeruji besi mereka tetap setia meneriakkan kebenaran dan keadilan untuk membangun kesadaran masyarakat berhadapan dengan penguasa – penguasa lalim tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah seorangnya adalah Antonio Gramsci. Oleh aparat Fasis Italia, ia dijebloskan ke dalam penjara selama dua puluh tahun (20) dengan maksud agar menghentikan pikirannya supaya tidak bisa bekerja lagi. Namun yang terjadi sebaliknya. Di dalam penjara Gramsci mampu menyumbangkan teori Marxis yang kemudian menjadi landasan bagi sebuah versi komunisme yang lebih demokratis dari apa yang telah dipraktekkan di Uni Soviet. Bagi Gramsci, keterbuangan dan keterasingan dari dunia politik justru membuat dia bisa menulis dengan jernih dan dari sudut pandang tak terlibat.
‘Prison Notebooks’ merupakan catatan-catatan yang dibuat Gramsci selama berada di balik jeruji besi. ‘Prison Notebooks’ menunjukkan peranan kesadaran dalam menentukan tindakan manusia, serta pentingnya hegemoni ideologis dalam memelihara hubungan-hubungan sosial. Gramsci tidak disenangi aparat Fasis Italia. Dia dipenjara dengan maksud dibungkam suaranya. Namun Gramsci dengan tegas mengatakan, “engkau boleh memenjarakan badan saya, tetapi tidak dengan otak saya”. Ternyata dari dalam penjara Gramsci tetap bersuara melalui tulisan-tulisannya mengeritik sistim Fasis yang otoriter dan intimidatif, penuh teror dan korup serta anti kritik.
ADVERTISEMENT
Ada juga Tokoh di negeri kita tercinta ini. Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno, oleh penjajah Belanda dipenjara dan dibuang hampir di semua ‘sudut’ Republik ini, namun akhirnya menjadi Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia. Ada juga Pramoedya Ananta Toer. Hampir separuh hidupnya ia habiskan di balik jeruji besi, 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Baru dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru, tanpa proses pengadilan. Pada 21 Desember 1979, ia dibebaskan karena secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI. Jeruji besi tak membuatnya berhenti menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional dan ia konsekuen dengan semua resiko yang diterimanya. Berkali-kali, karyanya dilarang bahkan diberangus dengan dibakar. Satu lagi Tokoh Indonesia yang patut saya sebut yakni Saudaraku A.M. Fatwa. Menurut kekuasaan Orde Baru, kotbah-kotbahnya di Mesjid-Mesjid dalam membangun kesadaran umat untuk berbangsa dan bernegara dianggap berbahaya bagi kelangsungan bangsa dan negara kita tercinta ini. Isi kotbahnya dinilai mengandung hal-hal yang memutarbalikkan, merongrong dan menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau hukum negara dan merusak atau merongrong kekuasaan negara dan kewibawaan pemerintah yang sah. Berbekalkan tuduhan melanggar UU Subversi, A.M. Fatwa akhirnya dijebloskan berulang kali ke balik jeruji besi namun semangat dan tekadnya untuk tetap berkotbah membangun kesadaran umat dalam hidup berbangsa dan bernegara tetap dijalankannya walau resiko ‘balik lagi’ ke penjara selalu dan senantiasa menantinya.
ADVERTISEMENT
Sejarah dunia memang menceritakan kepada kita bahwa para pejuang kebenaran dan keadilan, apa pun situasi dan resikonya, pasti ‘ditolong’ oleh sejarah itu sendiri untuk kemudian menciptakan sejarah baru. Mereka yang selalu meneriakkan kebenaran dan keadilan, yang konsisten dan tidak takut, pasti akan ‘dimuliakan’ oleh sejarah. ‘Para pemberontak’ yang konsisten mengawasi dan mengeritik penguasa yang angkuh, egois, korup dan intimidatif, meski mengalami kriminalisasi kekuasaan, pasti akan mengalami ’kemenangan’. Mereka menang, bukan karena awasan atau kritik mereka tetapi karena kekonsistenan mereka pada semangat yang tulus untuk mengabdi hanya pada kebenaran dan keadilan itu sendiri.
‘Kasus Pemalsuan Dokumen’
Suasana di Lapas Kelas II Kabupaten Lembata. Foto: Alvian beraaf/balleo-kumparan
Kasus ‘Pemalsuan Dokumen’ didorong oleh Bupati Lembata dalam kaitan dengan proses pemberhentian dirinya yang telah menjadi keputusan politik DPRD Lembata. Pada tanggal 26 Pebruari 2014, DPRD Lembata telah melahirkan sebuah keputusan politik yang penting dan bersejarah yakni keputusan untuk memberhentikan Bupati Lembata Periode 2011-2016, sesuai ketentuan Pasal 29 UU Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU yang berlaku pada saat kasus ini dimunculkan) dengan melakukan Hak Uji Pendapat DPRD Lembata ke Mahkama Agung Republik Indonesia. Keputusan DPRD ini diambil dengan suara bulat oleh 21 dari 25 Anggota DPRD Lembata yang hadir dalam Rapat Paripurna. Paripurna ini melahirkan Keputusan DPRD Lembata Nomor 2/DPRD.KAB/LBT/2014 Tentang Pendapat DPRD Kabupaten Lembata Terhadap Dugaan Pelanggaran Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dilakukan Oleh Kepala Daerah Kabupaten Lembata. Keputusan DPRD ini mengacu kepada Hasil PANSUS I DPRD Lembata Tahun 2013 Tentang Pengkajian Dugaan Penyimpangan Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dilakukan Oleh Pemerintah Daerah.
ADVERTISEMENT
Ada pun 5 (lima) Kasus utama yang menjadi temuan DPRD adalah: pertama: Kasus Perjalanan Dinas Luar Daerah yang tinggi frekuensi dan intensitasnya; kedua: Kasus Bupati Menolak Menghadiri Sidang Paripurna DPRD; ketiga: Kasus Kriminalisasi Pelaksanaan Fungsi Kontrol DPRD; keempat: Kasus Korupsi dengan Modus Pemerasan dan Penipuan; kelima: Kasus Korupsi Proyek Pembangunan Lampu Jalan Tenaga Surya dalam Kota Lewoleba.
Merasa terdesak dengan Keputusan Politik DPRD ini, Bupati Lembata Periode 2011 – 2016, melaporkan kepada Polres Lembata bahwa telah terjadi Pemalsuan Dokumen Hak Uji Pendapat DPRD ke MA Republik Indonesia. Menghadapi Laporan Bupati Lembata ini, DPRD Lembata mengeluarkan Keputusan DPRD Nomor: 03/DPRD.KAB/LBT/2014 Tentang Sikap DPRD Lembata terhadap Kasus Hukum Tiga Enggota DPRD Lembata, tanggal 6 Oktober 2014 yang menyatakan bahwa Surat atau Dokumen Uji Pendapat DPRD yang dikirim ke MA adalah SAH / TIDAK PALSU. DPRD Lembata juga mengeluarkan Pernyataan Sikap DPRD Lembata, Nomor: DPRD.171/255/X/2014, tanggal 6 Oktober 2014 yang menyatakan bahwa Surat atau Dokumen Uji Pendapat DPRD Lembata yang dikirim ke MA RI adalah SAH / TIDAK PALSU. Karena proses hukum terhadap Anggota DPRD terus dilakuakn oleh Penegak Hukum, maka DPRD Lembata sekali lagi mengeluarkan Keputusan DPRD Nomor: 04/DPRD.KAB/LBT/2014 Tentang Sikap DPRD Lembata Terhadap Kasus Hukum 3 (tiga) Anggota DPRD Lembata, tanggal 28 Oktober yang menyatakan DPRD Lembata tidak mengakui Proses Hukum Terhadap 3 (tiga) Anggota DPRD dan meminta Aparat Penegak Hukum mengembalikannya untuk diproses sesuai mekanisme di DPRD sesuai dengan UU Tentang MD3. Keputusan DPRD ini diikuti dengan Pernyataan Sikap DPRD Lembata Nomor: DPRD.171/266/X/2014. Tanggal 28 Oktober 2014 yang menyatakan bahwa DPRD tidak mengakui proses hukum yang sedang berlangsung terhadap 3 (tiga) Anggota DPRD dan meminta agar dikembalikan untuk diproses sesuai mekanisme di DPRD berdasarkan UU Tentang MD3.
ADVERTISEMENT
Berhadapan dengan Keputusan dan Sikap DPRD Lembata ini, aparat penegak hukum tidak bergeming tetapi tetap melanjutkan proses hukum. Sebagai warga negara yang patuh pada hukum di Negara ini, saya, sebagai seorang terlapor, mengikuti semua proses hukum sampai putusan Pengadilan Negeri Lewoleba yang menjatuhkan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun. Menghadapi putusan Pengadilan Negeri Lewoleba ini, saya mengajukan banding sampai dengan kasasi ke MA. Namun upaya hukum ke atas ini tidak membawa hasil yang menguntungkan saya. Kasasi MA juga menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Lewoleba. Saya akhirnya menerima putusan ini dengan menjalani hukuman penjara di Lapas Kelas 3 Lembata.
Bagi saya, proses hukum yang saya jalani ini memberi saya gambaran betapa hukum lebih condong ‘mengabdi’ pada kekuasaan, bukan menegakkan keadilan dan kebenaran. Hukum lebih suka diperalat oleh kekuasaan bukan berdiri tegak sebagai benteng keadilan dan kebenaran. Hukum seolah menjadi alat kekuasaan untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi mereka yang bersuara keras meneriakkan kebenaran dan keadilan berlawanan dengan kekuasaan yang otoriter dan intimidatif, penuh teror dan korup serta anti kritik. Pada titik inilah muncul sebuah pertanyaan retoris, “masih ada kah hukum yang berwajah adil dan benar ?”.
ADVERTISEMENT
‘Penguasa Yang Abnormal’
Suasana setelah Fransiskus bebas dari tuntutan hukum. Foto: Alvian beraf/balleo-kumparan
Duaratus tigapuluh dua hari, saya menjalani hidup di Lapas Kelas 3 Lembata sebagai seorang narapidana politik. Saya menyebut diri sebagai narapidana politik karena bagi saya, kasus yang menimpa saya hanyalah sebuah ekspresi kegalauan penguasa yang abnormal. Penguasa yang abnormal tidak mau kekuasaannya diawasi dan dikritik. Dia menghendaki agar para politisi yang selalu meneriakkan semua ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketidakpatuhannya pada regulasi, harus disingkirkan. Dia anti kritik dan menganggap kritik hanyalah serangan untuk pribadinya. Padahal di alam demokrasi, kritik dibutuhkan agar penguasa selalu sadar akan kekuasaan yang sedang dijalankannya.
Bagi saya, penguasa dengan ciri seperti ini adalah penguasa yang abnormal. Mereka lebih suka menjalankan kekuasaan secara ‘terbalik’. Kekuasaan yang seharusnya melayani, dijalankan sebagai kesempatan memperkaya diri dan kroni dan membiarkan masyarakat tinggal dalam problem-problem kebutuhan dasarnya. Kekuasaan yang seharusnya menjadi kesempatan membawa masyarakat ke arah kesejahteraan bersama, dijadikan sebagai kesempatan membangun bisnis-bisnis pribadi dan keluarga dan memarjinalkan serta menempatkan masyarakat di periferi kekuasaan. Kekuasaan yang seharusnya menjadi kesempatan memajukan daerah dan membawa daerah keluar dari keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan, malah dijadikan ajang menciptakan proyek-proyek ambisius dan elitis untuk melayani selera kekuasaan yang pada akhirnya membelakangkan, memiskinkan dan membodohkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Inilah ilusi-ilusi kekuasaan yang abnormal. Kekuasaan tidak dijalankan sebagaimana mestinya tetapi diselewengkan dan digunakan sebagai kesempatan melayani dan memenuhi ambisi-ambisi egoistik penguasa. Rakyat hanya dijadikan objek dan penonton dipinggir kekuasaan. Rakyat tidak dijadikan sebagai subjek kekuasaan. Rakyat tidak dilayani sebagai ‘Tuan’ dari kekuasaan itu. Rakyat hanya dijadikan sebagai ‘sapi perahan’ untuk meraup uang dari pusat kekuasaan agar mengenyangkan ‘perut kekuasaan’ itu sendiri. Kekuasaan yang abnormal seperti ini menempatkan rakyat ‘di sudut’ kekuasaan dan para peneriak keadilan dan kebenaran yang setia menyuarakan ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketidakpatuhan penguasa pada regulasi selalu dianggap sebagai ‘duri dalam daging’ kekuasaan dan harus disingkirkan. Tapi ada satu hal pasti, KEADILAN dan KEBENARAN tidak dapat dikalahkan dan cepat atau lambat pasti menang melawan KETIDAKADILAN dan KETIDAKBENARAN.
ADVERTISEMENT
Penulis: Fransiskus Limawai S,Fil