Tolak Pembabatan Hutan Papua

Bambang
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
16 Juni 2024 9:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hutan lebat Papua. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutan lebat Papua. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lagi-lagi belakangan ini viral dengan hastag all eyes on papua kenapa tidak Masyarakat adat suku Awyu di Boven Bugel Papua Selatan yang luasnya 36.094 hektare hutan adat akan dibabat habis dan dibangun perkebunan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari, sementara suku Moi menolak PT SAS yang juga diberi izin lokasi, izin lingkungan, sampai izin usaha oleh pemerintah untuk buka perkebunan sawit di hutan adat mereka dengan luas 18.160 hektare, adapun catatan yang harus dipertimbangkan bagi stakeholder.
ADVERTISEMENT
Pertama, Pengakuan atas Hak Masyarakat Adat, Ketika kita berbicara hutan di Indonesia maka tidak terlepas dengan masyarakat adat karena bisa terjaga dengan lestari sampai saat ini karena adanya masyarakat adat yang mewarisi hutan tersebut secara turun temurun.
Oleh karena itu pembicaraan kita tentang konservasi hutan dalam konteks perubahan iklim tidak bisa lepas dari hak masyarakat adat karena mereka yang pertama akan mengalami dampaknya, walaupun ada pengakuan hak masyarakat seperti dalam UU kehutanan UU lingkungan hidup dll, tetapi hanya bersifat parsial yang dituntut oleh masyarakat adat adalah harus ada pengakuan yang terintegrasi yang sifatnya holistik dan ini harus dituangkan dalam bentuk UU dengan demikian itu bisa diakui oleh Negara
Kedua, Free Prior Informed Consent (FPIC) jadi untuk menggunakan lahan dikawasan mereka miliki, harus masyarakat adat itu diberikan infomasi secara akurat dan jujur tentang apa yang dilakukan diatas wilayah mereka, kemudian mereka juga secara bebas memberikan persetujuan atau tidak, sekali lagi ketika mengakui hak masyarakat adat Free Prior Informed Consent (FPIC) menjadi salah satu prasyarat untuk bisa memanfaatkan kawasan hutan mereka, tanpa adanya Free Prior Informed Consent (FPIC) ini Negara maupun pengusaha tidak bisa memanfaatkan sama sekali kenapa kemudian ini Negara rela mengakui hak mereka karena ada embel-embel dibelakangnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries plus Conservation (REDD +) ini kemudian dikenal dengan REDD plus, REDD plus menjadi skema Indonesia untuk bagaimana emisi dari sector kehutanan itu bisa dikurangi. Kemudian kalau Berbicara REDD dalam perspektif masyarakat adat dampak yang kemudian muncul adalah perubahan nilai dari masyarakat adat kenapa ini bisa terjadi? Karena ada reduksi terhadap cara kita dalam melihat hutan melalui skema REDD ini hutan dinilai semata-mata ada kemampuannya untuk menyerap dalam emisi karbon dia nanti bisa dikonversikan dalam bentuk uang, menurut ketua nation amerika jadi hutan itu dinilai semacam toilet saja padahal dalam pespektif masyarakat adat hutan itu tidak hanya kayu yang menyerap karbon tapi hutan itu adalah kehidupan, tempat yang sacral, suci bagi mereka tapi sekarang direduksi hanya diberi uang jajan, karena kalau melihat dalam kacamata REDD ini anda hanya melihat hutan sebatas kumpulan pohon yang mampu menyerap karbon dan karbon ini dikonversi dalam bentuk uang, anda tidak melihat kesakralannya, tidak melihat relasinya dengan masyarakat adatnya, kalau di maknai sebgai ibu atau sacral tapi hutan dinilai sebagai alat produksi untuk mendapakan uang, jadi ada perubahan budaya yang nantinya ditimbulakn hanya melihat hutan sebatas uang saja bukan melihat hutan sebagai ruang kehidupan bagi mereka.
ADVERTISEMENT
Keempat, Konflik social apalagi kemudian masyarakat yang tadinya tidak mengenal uang dalam proses hidupnya relasi sosialnya sekarang dengan adanya uang melalui proyek skema REDD+ ini mereka kemudian mengguanakan uang ini sebagai alat pertukaran, iya kalau kemudian saluran dengan benar dan didistribusikan secara merata diantara masyarakat adat itu tidak menjadi problem tetapi dalam banyak kasus misalnya ketika uang itu disalurkan kepada ketua adat tentu ketua adat bisa menjadi korup, uangnya tidak sampai kepada anggota masyarakat adatnya seperti yang terjadi dipapua sebelumnya