UU ITE, Wacana dan Fenomena

Bambang
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
10 Maret 2021 10:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perbincangan perihal UU ITE kembali menghangat setelah pemerintah memunculkan wacana revisi UU ITE jilid-2, jika dalam implementasinya dinilai tidak memberikan keadilan bagi masyarakat, wacana ini diutarakan presiden joko widodo saat rapat terbatas (15/2/2021), sembari menekankan menghapus pasal-pasal karet yang multitafsir dan mengimbau pihak terkait agar selektif menangani persoalan.
Bambang, S.H. Penulis adalah Kandidat Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
UU ITE 2008 yang pada awal utamanya ditujukan untuk menjadi payung hukum transaksi bisnis di dunia maya (e-commerce) akhirnya menjadi payung hukum dunia virtual (cyberspace) yang sering disebut sebagai cyber law Indonesia. Selain tujuan utama yang cukup spesifik, secara teoritis maupun aplikasinya tidak mungkin satu Undang-Undang (UU ITE) menjadi lingkup payung hukum bagi seluruh dimensi dunia maya (transaksi elektronik, pidana elektronik, konten informasi, kontrol informasi, interaksi sosial, sosial media, dll). Dari dasar inilah, penting untuk menilik lebih lanjut sejauh apa UU ITE ini sudah keluar dari lingkup awal pembentukannya.
ADVERTISEMENT
Database list kasus UU ITE (SAFEnet)https://id.safenet.or.id/daftarkasus/ Per-30 Oktober 2020, di mana terdapat 324 kasus terkait dengan UU ITE, 209 kasus terkait dengan pasal 27 ayat (3) (defamasi), 76 kasus terkait dengan pasal 28 ayat (2) (kebencian) dan 172 kasus yang dilaporkan berasal dari media facebook (termasuk facebook pages), in case penggunaan pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2) dalam UU ITE merupakan ketentuan yang sering digunakan untuk menjerat individu, Kendati pun ada Sembilan pasal yang diindikasikan sebagai pasal karet, tetapi kedua pasal a quo menjadi ketentuan kunci atas wacana revisi UU ITE.
Unintended Consequences: Pertimbangan Pembentukan UU ITE
Efek dari kedua pasal karet di atas bukanlah hal yang tidak diantisipasi sebelumnya. Inilah yang disebut oleh Frank de Zwart dengan ‘unintended but not unanticipated consequences’. Dipakainya pasal 27 dan 28 oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan secara politik, sosial, maupun ekonomi bukanlah tujuan awal diberlakukannya UU ITE, namun bukan berarti hal itu tidak diantisipasi. Di mana sebuah regulasi pada dasarnya memiliki konsekuensi yang sebelumnya diketahui namun bukanlah tujuan utama dari regulasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam analisis kebijakan publik, konsep unintended consequences cukup umum digunakan untuk menjelaskan efek samping dari sebuah peraturan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert K. Merton dalam tulisannya “The Unanticipated Consequences of Purposive Social Action”. (1936: 894-904) Dalam perkembangannya, kata unintended lebih sering digunakan dari pada unanticipated. Hal ini yang kemudian dikritik oleh Frank de Zwart yang mengatakan bahwa:
“True, unanticipated consequences can only be unintended, but unintended consequences can be either anticipated or unanticipated, a distinction lost in the single opposition of “intended” versus “unintended”…. Our concern here is B, unintended but anticipated outcomes.” (2015: 286-287)
Frank de Zwart dengan demikian ingin mengatakan bahwa pembuat peraturan memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melihat konsekuensi negatif dari sebuah kebijakan. Karena itulah, sebuah ‘unintended but not unanticipated consequences’ sebenarnya sangat dipengaruhi oleh aspek politik ataupun moral yang ada pada masa penyusunan peraturan atau pemilihan sebuah kebijakan.
ADVERTISEMENT
Permasalahannya kemudian adalah apakah tindakan lapor-melapor antar masyarakat dikarenakan perbincangan di media sosial adalah motif sosial yang menjadi landasan pembuat UU untuk memberlakukan pasal pencemaran nama baik. Apabila tidak, berarti upaya lapor-melapor antar masyarakat yang menggunakan komunikasi personal mereka adalah sebuah unintended consequences.
Ambiguous Rules
Ketidakjelasan akan UU ITE, spesifiknya di Pasal 27(3), terdapat di 2 tingkat; (1) pemahaman masyarakat, dan (2) definisi hukum. Di tingkat pertama, terkait pemahaman masyarakat, Onno W. Purbo, Dewan Penasihat ICT Watch, menjelaskan bahwa dalam dunia maya, hal paling penting dalam menjaga keteraturan dan kepastian hak bersama adalah sebuah ‘hukum adat’, atau norma internet; (1998: 2-3) perjanjian tidak tertulis terkait apa perkataan yang boleh dikategorikan sebagai tindakan pencemaran nama baik. Onno menjelaskan bahwa, “berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat, hukum adat internet di Indonesia belum bisa digunakan dengan efektif karena kurangnya pendidikan internet. (Jakarta Post, 03 Juni 2015) Alhasil, sulit untuk mendapatkan kesepakatan tidak tertulis terkait berbagai hal.”
ADVERTISEMENT
Tingkat kedua dari ketidakjelasan Pasal 27(3) tertera pada teks pasal itu sendiri. Pasal pencemaran nama baik, berbeda dengan pasal pencemaran nama baik negara-negara lain, (2008:3) tidak memiliki definisi dan batasan yang jelas dari apa itu yang termasuk aksi pencemaran nama baik. Tanpa adanya penjelasan lebih lanjut dalam bagian penjelasan UU tersebut, pasal ini menjadi pasal yang sangat mudah untuk diinterpretasi dan ditarik makna serta batasannya
Globe International menjelaskan, untuk menghindari ketidakjelasan, setidaknya definisi dan batasan dari pasal-pasal pencemaran harus mencakup 3 variabel; (1) bahwa pernyataan yang diberikan telah dibuktikan tidak benar, (2) bahwa pernyataan tersebut dibuat dengan pengetahuan dan/atau kelalaian akan ketidak benarannya, dan (3) bahwa pernyataan tersebut dibuat dengan niatan spesifik untuk mencelakai pihak yang dicemarkan namanya.(2008:4)
ADVERTISEMENT
Catatan dalam wacana revisi UU ITE
Keterlibatan banyak unsur dari perumusan regulasi terkait internet pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan. Rolf H. Weber, dalam bukunya Shaping Internet Governance: Regulatory Challenges, menekankan pentingnya pemerintah untuk menjaga keseimbangan antar pihak-pihak yang berkepentingan terhadap internet itu sendiri (2010:5)
Pertama, perlu kajian lebih mendalam banyak aspek dalam UU ITE yang merupakan ranah kerangka hukum lain dalam mengatur dimensi cyberspace (contohnya masalah pidana interaksi sosial, pencemaran nama baik, dll).
Kedua, memikirkan lebih luas dan komprehensif regime hukum cyberspace Indonesia. Di mana UU ITE hanya merupakan satu UU dalam aspek e-commerce. Aspek serta dimensi lain cyberspace seperti masalah sosial, konten internet, interaksi sosial, dan seterusnya perlu mempunyai UU atau peraturan yang lebih spesifik dan terukur.
ADVERTISEMENT
Ketiga, memberikan informasi publik yang berkesinambungan mengenai bagaimana berkomunikasi yang baik di era digital. Diseminasi tidak hanya dilakukan di tempat-tempat umum, tapi juga informasi tersebut diharapkan dapat menjangkau ke tingkat rumah tangga.
Keempat, meminta kebijaksanaan aparat penegak hukum (polisi, pengacara, hakim dan jaksa) untuk mengkaji terlebih dahulu apakah terdapat unsur ketimpangan kuasa dalam kasus pelaporan UU ITE yang mereka terima, dan menjadikan informasi tersebut bagian dari pertimbangan hukum.