Apakah Kita Serius Memberantas Korupsi?

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
4 Desember 2018 11:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang bisa menyangkal, KPK “ngebut” OTT sepanjang bulan pada tahun 2018. Jumlahnya cukup fantastis untuk ukuran penegakkan hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, ada fakta lain yang juga tak dapat disangkal, yaitu Pimpinan KPK masih punya utang yang cukup banyak karena ada banyak kasus besar yang belum tuntas ditindaklanjuti (misalnya: kasus Bank Century, E-KTP, hingga BLBI). KPK bahkan dihukum Pengadilan Praperadilan, misalnya, untuk segera menindaklanjuti para tersangka lain di dalam skandal kasus Bank Century.
Tulisan ini hendak melacak sejauh mana keseriusan bangsa ini, khususnya pemerintahan dan kita semua dalam memberantas korupsi. Hendak juga melihat relasi “keberhasilan” OTT dalam kaitannya dengan kesungguhan melakukan pemberantasan korupsi.
Siapa nyana? Tahun 2018 belum berakhir tapi sudah ada 25 OTT yang dilakukan lembaga anti-rasuah KPK, di mana 19 orang di antaranya adalah kepala daerah. Angka ini bisa bertambah jika kasusnya dikembangkan secara serius.
ADVERTISEMENT
Hal yang menarik, ternyata, lebih dari 70 persen atau mayoritas kepala daerah yang ditangkap KPK melalui OTT tersebut adalah pihak yang didukung dan menjadi bagian dari The Ruling Party.
Misalnya saja, dari PDIP ada 9 orang dan Golkar 6 orang, serta belum lagi dari partai pendukung lainnya, seperti PKB, Nasdem, dan PPP. Kader dari partai oposisi juga ada yang terlibat dan terjaring OTT KPK kendati dalam jumlah yang relatif lebih kecil.
Kiprah KPK itu sangat merisaukan dan membuat miris Presiden Jokowi. Beliau menyatakan dengan kalimat langsung, "Karena setiap bulan, setiap minggu pasti ada. Saya juga sangat sedih, lho, jangan dipikir saya senang. Tengah malam, tahu-tahu dapat berita. Pagi-pagi dapat berita”.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan reflektifnya, apa yang harus dilakukan dari sekadar risau, miris, dan bersedih? Banyak yang tidak tahu, sesungguhnya, presiden sudah membuat Perpres No. 54 Tahun 2018.
Oleh karena itu, muncul pertanyaan, sejauh mana efektivitas pelaksanaan Perpres 54/2018 yang mengatur strategi nasional pencegahan korupsi? Bukankah di dalam Perpres itu sudah dirumuskan fokus yang sangat jelas, yaitu di sektor perizinan dan tata niaga; keuangan negara; serta penegakkan hukum dan reformasi birokrasi.
Namun, kenapa sebagian OTT justru berkaitan dengan sektor yang seharusnya dikendalikan dan dibangun sistem pencegahan korupsinya dan bukan KPK yang menjadi “penjuru utama” di dalam Stranas pencegahan korupsi di atas.
Sementara itu, muncul juga pertanyaan reflektif lainnya. Bukankah pernah ada pesan dan tone lain yang pernah disampaikan pemerintahan?
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun lalu, tepatnya Juli 2016, presiden pernah mengeluarkan lima instruksi dan instruksi pertamanya dapat dimaknai sebagai legalisasi kebijakan diskresi dengan menyatakan melarang para penegak hukum untuk memperkarakan secara pidana kebijakan yang bersifat diskresi.
Presiden Jokowi juga menekankan bahwa segala tindakan administrasi pemerintah juga tidak boleh dipidanakan. Beliau berkata, "Tolong dibedakan, mana yang mencuri dan mana yang administrasi. Saya kira aturannya sudah jelas, mana yang pengembalian, mana yang tidak.”
Gedung baru KPK di Kuningan, Jakarta. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung baru KPK di Kuningan, Jakarta. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
Bahkan, beberapa menteri juga menyatakan sebelumnya, para kepala daerah tak perlu takut mengambil keputusan dalam percepatan pembangunan. Bila dituduh melakukan pelanggaran, maka jalur yang ditempuh bukan pidana, melainkan diselesaikan lebih dulu secara administrasi dan diawasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
ADVERTISEMENT
Sofyan Djalil pernah menyatakan, "‎Selama tidak melanggar hukum, selama tidak kriminal harus proses dulu dengan peraturan administrasi. Enggak boleh langsung dikriminalkan, enggak boleh. Administrasi dulu, kemudian BPKP masuk dulu.”
Apakah sikap dan perilaku nekat para kepala daerah yang menjadi bagian dan pendukung kekuasaan karena menangkap “pesan yang salah” atau kita tidak serius dan sedang “bermain-main” dengan upaya pemberantasan korupsi? Apakah ada kebijakan yang tengah “bertabrakan” dan bahkan, mungkin, ada tone dan pesan yang ditangkap berbeda, sehingga “membingungkan”?
Menjustifikasi diskresi punya potensi melegaliasi korupsi kalau tidak dipikirkan pengawasan dan mitigasi risikonya. Lalu, apakah keberhasilan KPK melakukan OTT juga sekaligus cermin kegagalan KPK sebagai “penjuru utama” pencegahan korupsi versi Stranas?
Selain itu, tentu saja, tahun politik ini menyebabkan semua pihak yang punya kepentingan berupaya keras untuk “menyukseskannya” dan diperlukan modal besar untuk melakukan itu semua. “Rasionalisasi” melakukan kejahatan mendapatkan momentum dan seolah dihidupkan di tahun politik ini. Ingin menang, apapun dilakukan, at all cost?.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Anti Korupsi, 9 Desember 2018.
DR. Bambang Widjojanto.
Dosen di Universitas Trisakti dan UI