Hak 'Nekat' Angket Ala Parlemen

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
30 April 2017 14:07 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aksi Teatrikal Super Hero Siap Jaga KPK (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
KPK diincar sakratulmaut. Sang Pencabut nyawanya, bergerak cepat, keberaniannya berlipat-lipat, bergerombol dan makin nekad. Mereka 'melumat' kepedulian dan upaya pemberantasan korupsi. Di sebagiannya, menantang dan diduga 'mengangkangi' aturan, menciptakan berbagai alasan, dan menjustifikasi segala 'ketamakan' melalui politisasi kewenangan, seolah, tak punya lagi 'kemaluan'.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, ada indikasi yang nyaris tak terbantahkan, terjadi aliansi 'kuasa kegelapan' dari berbagai aktor dan penjuru kejahatan, yang sepakat dan 'membaiat' dirinya, untuk menempatkan KPK sebagai musuh bersama yang harus segera diberangus, 'dienyahkan', dan jika perlu 'diluluh-lantakan' agar hilang dan binasa dari peta bumi penegakan hukum di Indonesia.
Pada konteks Hak Angket, publik tentu sangat mahfum dan bahkan sangat meyakini, diduga keras, tindak 'pembunuhan' secara sengaja dan terencana tengah dilakukan secara sistematis. Hak Angket atas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK adalah pintu masuk dan sekaligus 'alat pemukul' yang akan menggendam, menggodam, melucuti, menaklukkan, membumihanguskan, dan 'melenyapkan' segala upaya pemberantasan korupsi yang begitu akseleratif di sepanjang era reformasi.
ADVERTISEMENT
Ada situasi yang harus 'dimengerti' publik! Kini, di era dimana legislative heavy tengah menjadi raja diraja dalam labirin kekuasaan di Indonesia, parlemen potensial melakukan apa saja yang dikehendakinya dengan 'memanfaatkan' kewenangan yang dimilikinya. Itu sebabnya, ketika segala tindakannya 'dilegalisasikan' sendiri hanya untuk dan atas nama kepentingan sendiri yang tidak berpijak pada kemaslahatan publik, maka terjadilah tindakan yang dapat disebut dengan political corruption.
Sementara itu, ada fakta lain yang tidak terbantahkan. Sesuai Indeks Persepsi Korupsi 2017 yang dibuat Transparansi Internasional, parlemen justru diperspesi sebagai salah satu sumber korupsi. Apalagi, pada keseluruhan proses pemberantasan korupsi yang tengah dilakukan, ada cukup banyak anggota parlemen yang dijadikan pesakitan dan berhasil dibuktikan kesalahannya di muka pengadilan, melakukan kejahatan korupsi. Pada kasus e-KTP, korupsi sudah terjadi di hulu, dilakukan sejak awal perencanaan secara bersama-sama, tanpa tedeng aling-aling, merampok uang negara dalam jumlah yang fantastis.
ADVERTISEMENT
Jika Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan KPK Tahun 2015 dijadikan dasar alasan Hak Angket, terkait dengan tata kelola anggaran dan tata kelola dokumentasi dalam proses penindakan korupsi. Tapi, lihat saja, justru lembaga parlemen sendiri menyimpan begitu banyak masalah akut atas dirinya sendiri. Bahkan, di sebagiannya, punya indikasi kuat lebih parah dan sangat gawat ketimbang KPK. Faktanaya, ada sinyalemen dari Ketua BPK, Harry Azhar Azis yang menegaskan, ada dugaan perjalanan (kunjungan kerja) fiktif oleh anggota DPR yang merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp 945,4 miliar.
Selain itu, bila berpijak pada prinsip fairness dan menghindari tuduhan sikap politik diskriminatif parlemen atas KPK, pada 2015, sesuai LHP Kepatuhan 2016, Semester I, ada sekitar 4 (empat) kementerian dan lembaga yang mendapatkan opini Tidak Mendapatkan Penilaian (TMP), yaitu: Kemeterian Sosial, Kementerian Pemuda & Olahraga, Komnas HAM ,dan Lembaga Penyiaran Publik TVRI. Pertanyaannya, mengapa Hak Angket tidak ditujukan kepada kementerian dan lembaga dimaksud?
ADVERTISEMENT
Bahkan, ada opini BPK di HPS Semester I, Tahun 2016 yang sangat fantastis 'memalukannya', yang seharusnya sangat pantas untuk dijadikan obyek Hak Angket, misalnya saja antara lain menyatakan:
Pertama, penyertaan modal negara pada PT PLN sebesar Rp 848,38 triliun mengandung ketidakpastian. Kedua, belanja beban subsidi sebesar Rp 3,19 triliun belum ditetapkan statusnya sehingga membebani konsumen dan menguntungkan badan usaha. Ketiga, piutang bukan pajak sebesar Rp 4,58 triliun tidak didukung dokumen yang memadai. Keempat, persedian sebesar Rp 2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, serta rekonsolidasi Barang Milik Negara yang memadai, dan ada sebesar Rp 2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya. Kelima, ekuitas yang terkoreksi negatif sebesar Rp 96,53 triliun dan transaksi antar entitas sebesar Rp 53,54 triliun, tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung sumber yang memadai.
ADVERTISEMENT
Fakta di atas menunjukkan, tidak hanya terjadi politisasi Hak Angket atas KPK, tetapi juga 'dipertontonkan' sikap dan perilaku diskriminatif dari para oknum pendukung hak angket dan sebagian anggota parlemen. Kesemuanya, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari indikasi keterlibatan dugaan tindak pidana korupsi pada sebagian anggota DPR di dalam kasus e-KTP, termasuk atas pimpinan parlemen.
Hal ini dapat terkonfirmasi, jika melihat naskah Hak Angket yang beredar di masyarakat. Dari naskah tersebut, disebutkan secara eksplisit, salah satu alasan yang dijadikan dasar Hak Angket adalah persoalan pencabutan BAP oleh Miryam S Haryani dalam e-KTP karena mendapat tekanan dari 6 (enam) anggota Komisi III DPR yang kemudian dikonfrontir 3 (tiga) orang penyidik KPK.
Miryam, saksi di sidang kasus korupsi e-KTP. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)
Jika merujuk pada Surat Dakwaan e-KTP, dikemukakan, ada bagi-bagi uang di ruang kerja Setya Novanto dan ada indikasi lainnya, sekitar 37 anggota Komisi II menerima dana seluruhnya berjumlah USD 556 ribu, masing-masing mendapatkan uang USD 13-18 ribu. Selain itu, indikasi uang mengalir juga ke sebagian Ketua Fraksi, Pimpinan Banggar, Pimpinan DPR dan Sekertariat DPR. Belum lagi, di Kementerian Dalam Negeri, auditor BPK, fungsional Dirjen Anggaran dan Sekretariat Kabinet.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hak angket tidak dapat dilepaskan dengan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK, khususnya di dalam penanganan kasus e-KTP. Karena itu, ada masalah yang fundamental dalam penggunaan Hak Angket sehingga 'legalitas' atas hak tersebut memuat 3 (tiga) persoalan, yaitu:
Pertama, tindakan hak angket adalah kejahatan yang dapat dikualifikasi sebagai obstruction of justice karena secara sengaja dan bersama 'memanipulasi' suatu kewenangan yang dapat disebut sebagai menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi sehingga dapat dikenakan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Kedua, ada indikasi terjadinya konflik kepentingan atas pengusulan Hak Angket dan konflik kepentingan adalah salah satu penyebab utama terjadinya korupsi. Ketiga, Hak Angket, khususnya, soal keinginan kuat untuk membuka rekaman hasil penyadapan atas kasus e-KTP adalah upaya mengintervensi proses penegakan hukum. Untuk dan atas nama hukum, KPK dilarang atau tidak diperkenankan untuk dapat melakukannya karena siapapun yang melanggar, termasuk Pimpinan KPK sekalipun yang menyetujuinya, dapat dipersoalkan dan dituntut secara hukum.
ADVERTISEMENT
Ada keprihatinan lain yang amat perlu diperhatikan. Dulu, di era otoritarian Orde Baru, eksekutif begitu powerful dan tak tertandingi untuk mendesakkan seluruh kepentingannya sehingga disebut sebagai era executive heavy. Kala itu, korupsi merajalela dengan begitu dahsyatnya, menyeluruh di seantero Nusantara dan begitu sempurna. Kini, di era reformasi pada 2017, nampaknya, hal serupa terjadi lagi, tetapi yang melakukan parlemen sehingga disebut sebagai legislative heavy.
Yang sangat menarik, saat ini, pimpinan legislatif yang diduga terlibat dalam mega skandal korupsi e-KTP, justru dipimpin oleh pihak yang dulu menjadi the ruling party pada era Orde Baru. Tentu saja, nampaknya, mendapatkan dukungan sangat kuat oleh sebagian anggota parlemen yang kini menjadi the ruling party dan juga sebagian pihak yang menguasai parlemen.
ADVERTISEMENT
Yang memprihatinkan dan menunjukan watak kekuasaan yang 'tak senonoh', pimpinan sidang paripurna di parlemen ketika memutuskan 'persetujuan' hak angket adalah pihak yang telah dipecat dari partainya dan selama ini, dikenal, begitu obsesif ingin mendelegitimasi keberadaan KPK. Jadi, pimpinan parlemen yang legalitasnya bermasalah, justru diberikan keleluasaan untuk persidangan atas Hak Angket. Semuanya ini kian menyempurnakan indikasi terjadi political corruption yang meninggikan derajat kerusakan parlemen yang makin paripurna.
Ketika Hak 'nekat' Angket ala parlemen tetap dipaksakan maka perlu dihaturkan 'selamat datang kehancuran'. Tapi pada titik inilah ladang amal untuk kemaslahatan kian luas membentang.
DR. Bambang Widjojanto, Partner di WSA Lawfirm dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
ADVERTISEMENT