'Korupsi' di Pilpres?

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
25 September 2018 10:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kalimat Somoza di atas dapat dimaknai dan menegaskan, penguasa punya kekuatan dan kekuasaan, khususnya petahana, untuk melakukan apapun saja dengan “merekayasa” fasilitas negara guna memenangkan suatu pemilihan presiden atau parlemen. Kendati, sudah tak pantas lagi jadi pemimpin karena “keberengsekan” kualitas kepemimpinannya.
Pemilu, di satu sisi, baik untuk memilih presiden maupun anggota parlemen, merupakan salah satu proses demokrasi yang sangat penting. Diharapkan, pemimpin bangsa akan dapat dipilih, yaitu mereka yang berkhidmat sepenuh dan seutuh-utuhnya pada kemaslahatan rakyat. Mereka adalah orang-orang terpilih yang punya tugas profetik untuk mewujudkan cita dan kehendak, mengapa kita perlu membentuk pemerintahan atas bangsa ini.
Tapi, fakta juga menunjukan, kendati jarang yang menyadari, pemilu justru potensial menjadi ajang “jual beli” atas “pengaruh dan keyakinan” pemilih, di mana masifitas penyalahgunaan kekuasaan berlangsung secara intensif.
ADVERTISEMENT
Secara diam-diam dan pasti, proses “pembusukan” bangsa dengan segala macam “pal-gulipat” kemunafikan berlangsung dan bersemayam, dimulainya dari proses pemilu yang korup dan tak punya integritas sehingga potensial berujung pada kehancuran bangsa.
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
Kejahatan politik yang berbasis pada tindak korupsi melalui “penyalahgunaan kewenangan atas proses demokrasi, kini, makin canggih dan terus berkembang sehingga tak lagi sekedar “membeli” suara pemilih melalui “serangan subuh” atau merekayasa “pembagian sembako” di dekat waktu pemungutan suara saja.
Kala kini, kejahatan berupa perilaku koruptif tak hanya berpusat hanya pada saat pemungutan tapi juga pada rangkaian proses penghitungan suara, bahkan juga, pada bagian lain dari rangkaian pemilihan suara, baik langsung dan tidak langsung. Ada yang mensinyalir, kejahatannya sudah berlangsung jauh sebelum pemilu dilakukan.
ADVERTISEMENT
Ada indikasi, sikap dan perlaku koruptif itu, di sebagiannya dapat saja “menggunakan” alat kelengkapan negara. Hal lainnya, juga terjadi, alat negara dan institusi penegakan hukum kehilangan dasar moralitasnya dan juga tidak menjalankan fungsi utamanya untuk memastikan “fair play” terjadi.
Misalnya saja, lembaga penyelenggara pemilu dibuat “tak berkutik”, upayanya untuk “membersihkan” proses pemilihan dari para kandidat yang “tak layak” lagi karena telah cacat integritasnya, justru dihadang oleh lembaga tertinggi kekuasaan kehakiman dengan alasan yuridis yang sangat normatif. Mahkamah telah kehilangan legitimasi moralnya dan tidak menggunakan mata hatinya untuk menangkap “jeritan keadilan”.
Ilustrasi kampanye hitam (Foto: thinkstock)
Fakta menegaskan, tidak ada bukti yang dapat menjelaskan bahwa pihak yang pernah dihukum melakukan korupsi tidak lagi mengulangi sikap dan perilaku korup dan kolusinya ketika menjalankan kewenangannya sebagai “penguasa”.
ADVERTISEMENT
Atas dasar fakta itu, sebagian kalangan berpendapat, Mahkamah dapat dituding tak peka dan secara sadar telah menuliskan “legacy-nya” sebagai institusi yang justru mendelegitimasi upaya untuk membuat pemilu menjadi lebih berkualitas.
Pada pilkada 2018 lalu, ada testimoni dari sebagian kandidat, mereka “dikerjain” oleh sebagian unsur penegakan hukum, dicari-cari kesalahannya, disibuki oleh berbagai tuduhan untuk memecah fokus perhatiannya.
Bahkan, ada juga yang katanya “diancam” dengan berbagai fitnah dan tuduhan. Sangat mengkhawatirkan dan bahkan mengerikan. Jika hal itu benar, pernyataan Somoza, diktator di Nicargua “Indeed, you won the elections, but I won the count” menjadi tak terbantahkan.
Ada kerisauan lain yang mulai membuncah dan berharap semoga tak terjadi di Pilpres Indonesia. Apakah masih ingat? Amerika, negara kampiun demokrasi telah menorehkan contoh terbaik-keburukannya di tahun 1974 pada kasus yang lebih dikenal sebagai skandal Watergate.
Ilustrasi Buzzer (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
The Watergate Affair berpusat pada dugaan, kemudian terbukti, bahwa organisasi kampanye pemilihan presiden tahun 1972. Nixon telah mengatur sebuah tim untuk masuk ke markas besar Komite Nasional Demokrat untuk menanam peralatan penyadap untuk mengetahui dan melacak setiap “gerakan” dari lawan politiknya. Diduga, ada keterlibatan, setidaknya dukungan yang intensif dari alat-alat kekuasaan negara melalui tim besutan Nixon ini.
ADVERTISEMENT
'Dirty Tricks' Team yang bekerja untuk kepentingan Nixon membuat berbagai upaya berupa “sabotase sistematis” dalam proses kampanye terhadap lawan politiknya, Edmund Muskie, kandidat Partai Demokrat. Herbert Alexander melaporkan, ada rangkaian “kejahatan” berupa, antara lain: pencurian dokumen, panggilan telepon tengah malam ke pemilih yang dibuat oleh penipu yang mengaku sebagai pengalih suara Muskie.
Yang paling mengerikan, ada satu insiden paling terkenal - surat palsu, diterbitkan oleh koran terbesar New Hampshire kurang dari dua minggu sebelum primary New Hampshire. Dikabarkan suatu berita hoaks seolah benar yang mengklaim, Muskie telah memaafkan penggunaan pembantu dari istilah menghina 'Canuck' (deskripsi orang Amerika keturunan Perancis-Kanada). Berita ini membuat “limbung” dan mengejutkan kelompok pemilih Muskie di New Hampshire.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, “nggak kebayang”, kampanye hitam, cara-cara kotor, intimidasi terselubung seolah menjadi tak terbendung dan dapatkan dieliminasi. Belum lagi, adanya era media sosial yang punya kekuatan penetrasi luar biasa yang bersekutu dengan kekuatan buzzer “bayaran”.
Jadi, yakinkah tidak ada alat kekuasaan yang bermain-main seperti keburukan di era Nixon dan yakinkah juga tidak ada “korupsi” di Pilpres?