Kuatnya Suap Swasta?

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
7 Desember 2018 20:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada pernyataan menyentak dari Bambang Brodjonegoro, Kepala Bapenas "80 persen kasus korupsi libatkan swasta. Modusnya suap dan gratifikasi" di Konferensi Internasional Integritas Bisnis 2018.
ADVERTISEMENT
Bambang mengutip pernyataan seorang pelaku "..terpaksa menyuap karena kalau tidak, izin investasi tidak keluar..". Juga dikemukakan "…Kalau sampai muncul persepsi, sudah pasti investasi turun.."
Tiga pernyataan di atas memang saling berhubungan, tapi apa betul penyuapan dilakukan karena “terpaksa” agar izin investasi keluar. Lalu, jika fakta korupsi swasta memang benar terjadi, mengapa masih digunakan kosa kata "kalau sampai muncul persepsi". Jadi mana yang benar, korupsi yang terjadi dan menjadi bagian pelakunya swasta itu, fakta atau persepsi?
Salah satu senior manager investigator kantor akuntan ternama membuat pernyataan di suatu media, "...Saya belajar di sektor swasta bagaimana, dan ternyata (korupsi) jauh lebih ‘menggila’...".
Juga disebutkan bahwa bila Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 2.000 triliun, maka uang di sektor swasta mencapai lebih dari Rp 10.000 triliun. Pernyataan di atas ingin menegaskan, jumlah putaran uang yang beredar di sektor lima kali lipat dari pada jumlah dana yang ada di APBN.
Ilustrasi korupsi suap. (Foto: Thinkstock/zest_marina)
Pernyataan di atas terkonfirmasi jika melihat indikasi praktik skandal suap atas perizinan dari Mega Proyek Meikarta yang kemudian menyeret juga kepala daerah. Tapi, terjadi pola agak beda dalam kasus penyuapan M. Sanusi Anggota DPRD DKI oleh PT Agung Podomoro Land (APL).
ADVERTISEMENT
Penyuapan itu punya indikasi berkaitan dengan “jual beli” kebijakan karena kala itu di DPRD DKI Jakarta memang tengah membahas Rencangan Peraturan Daerah (Raperda) Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) serta Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta.
Jika ingin melihat berkelindannya pihak swasta dengan berbagai pihak lainnya dalam kasus korupsi maka dapat dilihat di kasus e-KTP. KPK menyatakan, "...Kasus e-‎KTP ini merupakan contoh sebuah kasus korupsi yang lahir dari persekongkolan sempurna antara aktor politik di legislator, birokrasi, hingga swasta...".
Kasus itu bersengkarut, dimulai dari kebijakan hingga pengadaan dan potensial terus berlangsung ketika tinta dan printer untuk mencetak blanko e-KTP harus menggunakan barang tertentu yang sudah di password.
ADVERTISEMENT
Yang sangat menarik, ada fakta bahwa 8 dari 10 partai di DPR periode 2014-2019, mayoritas komposisi jumlah anggota parlemen yang berlatar belakang pengusaha (293 orang) jauh lebih banyak dari pada yang non-pengusaha yang hanya sebanyak 267 orang (Hasil Penelitian Potensi Konflik Kepentingan Anggota DPR 2014-2019).
Hasil tracking juga menemukan fakta menarik, ada 373 entitas bisnis yang dimiliki anggota parlemen yang pengusaha dan rata-rata setiap anggota DPR itu punya jabatan di 3 perusahaan. Ada 230 orang atau 61 persen dari mereka menjabat sebagai Direksi serta 123 orang atau 33 persen mempunyai posisi sebagai Komisaris. Juga ada sebanyak 4 persen atau sekitar 16 orang memiliki saham atau merupakan pendiri perusahaan.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, anggota parlemen yang pengusaha tersebut tersebar pada berbagai Komisi di DPR. Adapun komisi yang 50 persen lebih anggotanya dari kalangan pengusaha adalah Komisi I, IV, V, VI, VII dan XI. Itu artinya lebih dari 50 persen komisi di DPR mayoritas anggota parlemennya berasal dari kalangan pengusaha.
Komisi yang mayoritas anggotanya berasal dari kalangan pengusaha itu, ternyata, bersentuhan dengan sebagian besar hajat hidup orang banyak (pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan, pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal, koperasi, UKM dan lingkungan hidup).
Ilustrasi Uang dan DPR (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Mereka juga bersentuhan dengan sektor strategis (telekomunikasi, riset dan teknologi, energi sumber daya mineral dan investasi) serta sektor infra struktur dasar, seperti: perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, perdagangan, perindustrian. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan profesi pengusaha untuk mempunyai jabatan rangkap lainnya.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang perlu ditangani dalam kaitannya dengan 80 persen kasus korupsi melibatkan swasta, apakah mekanisme pengendalian konflik kepentingan dapat ditegakkan secara konsisten, bagi pengusaha yang jadi anggota parlemen maupun pejabat di kementerian. Faktanya, salah satu akar dan penyebab utama korupsi adalah konflik kepentingan.
Sejauh mana budaya “disclaimer” dilakukan secara kaffah atas semua tindakan yang potensial menimbulkan konflik kepentingan ketika anggota parlemen yang swasta atau menteri yang pengusaha menjalankan kewenangannya.
Masalah di atas bukan khas Indonesia. Amerika mencoba mengendalikannya dengan mengundangkan Foreign Corrupt Practice Act (FCPA) untuk melarang orang dan perusahaan Amerika memberikan suap pada otoritas pemerintah negara lain untuk keperluan bisnisnya. Ada banyak perusahaan dijatuhi hukuman denda karena melakukan penyuapan termasuk kepada otoritas Indonesia antara lain di dalam kasus Alstom, Marubeni, Diebold, Allianz SE, Pfizer, Innospec, dan Monsanto.
ADVERTISEMENT
Alstom, perusahaan listrik dan transportasi, membayar denda senilai USD 772,290,000 atas kasus yang melibatkan suap puluhan juta dollar di seluruh dunia termasuk di Indonesia, Arab Saudi, Mesir dan Kepulauan Bahama. Di Indonesia, Alstom, Alstom Prom, dan Alstom Power menyuap anggota parlemen dan pejabat tinggi PLN sebagai imbalan untuk memenangkan kontrak terkait penyediaan listrik senilai USD 375 juta.
Berpijak dari uraian di atas, tidak ada pilihan lain, swasta menjadi begitu strategis untuk terlibat dan menjadi bagian penting sebagai agent on anticorruption movement.
Selamat Hari Anti Korupsi, 9 Desember 2018.
DR. Bambang Widjojanto.
Dosen di Universitas Trisakti dan UI