Melihat Lagi Wajah Hukum Kekuasaan

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
22 Maret 2017 14:08 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi keadilan (Foto: Istimewa)
Setelah lebih dari 2 (dua) tahun berkutat dengan masalah ekonomi kini tiba saatnya pemerintahan Presiden Joko Widodo berkonsentrasi yang sepenuh-penuhnya kepada soal penegakan hukum untuk menunjukkan wajah hukum sesungguhnya dari kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Asumsi dasarnya sangat jelas: tidak akan ada pertumbuhan ekonomi tanpa jaminan kepastian hukum. Indonesia adalah negara hukum.
Tidak hanya itu, penegakan hukum ini ada alasan konstitusionalnya. Pemerintahan dibentuk karena kita ingin mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia–selain mencerdaskan kehidupan bangsa.
Begitu janji “keramat” para pendiri bangsa yang menjadi ruh spiritualitas atas pembentukan negara dan pemerintahan Indonesia sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam pembukaan konstitusi, UUD 1945.
Dalam konteks ini, dimensinya tak sekadar terjadinya proses pertumbuhan ekonomi tapi harus berwujud pada kesejahteraan sosial sebagai makna substantifnya.
Bukan sekadar terjadinya kepastian hukum tapi penegakan hukum yang berpijak dan berpucuk pada nilai dan rasa keadilan bagi sepenuh-penuhnya kemaslahatan publik untuk “daulat rakyat” dan “daulat kemanusiaan”.
ADVERTISEMENT
Refomasi seyogianya dijadikan “moment of truth” untuk melakukan “turning point” guna mewujudkan secara konkret janji suci proklamasi. Janji itu berupa kepastian hukum, penegakan hukum, dan keadilan.
Nyaris sepanjang hidup kemerdekaan, ketiganya disingkirkan: dibuat tidak berdaya dan bahkan terus menerus “dihajar” kekuasaan. Sebagian besarnya dilakukan oleh kekuasaan untuk dan atas nama pembangunan untuk “mengamankan” pertumbuhan ekonomi.
Ada hal penting yang dapat dijadikan momentum dasar untuk segera mendorong perhatian dan konsentrasi pada isu kepastian hukum, penegakan hukum, dan keadilan.
Jika hal penting yang akan diuraikan di bawah, tidak dapat dijadikan momentum dan pintu masuk reformasi hukum maka pemerintah sudah dapat dikualifikasi menggagalkan sendiri program penting dari Nawacita.
ADVERTISEMENT
Publik mahfum dan masih hafal bahwa reformasi hukum dijadikan bagian penting dalam program Nawacita Presiden Jokowi. Dalam Nawacita ditegaskan sangat eksplisit: kehadiran negara ditujukan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh warganegara Indonesia–tertulis dalam butir pertama Nawacita.
Ada pula butir Nawacita keempat yang menegaskan kembali dengan sangat eksplisit bahwa “menolak negara lemah” dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Dua tahun lebih pemerintahan telah menjalankan mandat dari rakyat dan sepantasnya, janji itu sudah dapat ditagih dan bahkan dipertanyakan. Ada berbagai kasus yang kini mendera, menyandera dan bahkan menghina rasa keadilan rakyat.
ADVERTISEMENT
Tak pantas rasanya jika para pencari keadilan harus terus menerus “mengais” keadilan bak pemulung. Padahal, merekalah pemilik sejati bangsa di mana muara kesejahteraan dan keadilan harus ditujukan.
Adapun beberapa kasus yang dapat dijadikan momentum untuk mewujudkan kepastian hukum, penegakan hukum, dan keadilan yang bermartabat dan terpercaya dimaksud sebagai berikut:
Pertama, penegakan hukum dan keadilan kasus Kendeng secara utuh dan menyeluruh. Kasus ini dapat dijadikan sebagai momentum perwujudan penegakan hukum. Belum lama ini, Patmi meninggal dunia.
Patmi merupakan wanita Kendeng luar biasa yang gigih menolak keras pembangunan pabrik semen melalui aksi memasung diri dengan semen di depan Istana Merdeka.
Kerabat menangis di samping jenazah Patmi. (Foto: Antara/Yusuf Nugroho)
“Aksi cor kaki” adalah upaya dan refleksi dari para petani yang berulangkali–tanpa henti–diperlakukan “tidak senonoh” oleh kekuasaan dan “dimakzulkan” keadilannya.
ADVERTISEMENT
Mereka berjuang melalui hukum hingga ke puncak tertinggi kekuasaan kehakiman. Mereka dimenangkan MA. Tapi kemudian “disabotase” secara sengaja dan sistemik. Substansi keadilan “dipecundangi”.
Jika alasannya karena di daftar nama penolak pendirian pabrik semen ada di antaranya ultraman, power ranger, Syaiful Anwar tinggal di Manchester, Sudi Rahayu, tinggal di Amsterdam, pekerjaan touring, musisi, maka alasan itu sesungguhnya tidak akan mengubah pertimbangan hukum Hakim Agung yang dijadikan legal reasoning Putusan MA.
Belum lagi, tersiar kabar, adanya berbagai bentuk kekerasaan dan kriminalisasi yang ditujukan kepada para petani Kendeng yang tidak setuju pendirian pabrik semen dan juga para pendampingnya.
Jika informasi itu fakta yang tak terbantahkan, seyogianya tidak boleh lagi ada kekerasaan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat keamanan dan kekuasaan lainnya.
ADVERTISEMENT
Jangan ngapusi, stop dan sudahi saja segala bentuk kekerasan, kriminalisasi, manipulasi dan distorsi informasi karena hanya akan memperburuk wajah hukum dari kekuasaan dan melukai rasa keadilan masyarakat.
Demo Tolak Pabrik Semen di Kendeng (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Kedua, labirin penegakan hukum Indonesia dibuat gegeran dan terkesima dengan kasus e-KTP. Nggak kira-kira, nilai yang dikorupsi, diduga, sekitar 49 persen dari nilai proyek.
Jika kasus ini dijadikan “pintu masuk” untuk melakukan revitalisasi atas segenap upaya di dalam pemberantasan korupsi agar menjadi lebih sistemik dan terstruktur, akan punya dampak yang luar biasa.
Yang dibutuhkan oleh pemerintahan adalah membangun infrastruktur dasar pemberantasan korupsi. Pada konteks itu, dibutuhkan Single Identity Number (SIN) bukan sekadar e-KTP. Tentu kita tidak hendak hanya mengatasi persoalan kependudukan dan pencatatan sipil saja.
ADVERTISEMENT
SIN dapat dijadikan sebagai instrumen penting dalam pemberantasan korupsi karena korupsi bisa dieliminasi jika ada identitas yang terintegrasi sehingga dapat dilacak secara cepat, sahih, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa data yang bisa diintegrasikan SIN antara lain identitas seseorang, penghasilan, aset dan kekayaannya, serta besaran pajak yang dibayarkan.
Kasus Korupsi e-KTP. (Foto: Antara)
Bukankah pada saat ini kurang dari 1 persen orang di Indonesia menguasai lebih dari 50 persen sumber daya alam dan aset publik lainnya? Tapi coba dilihat dan dilacak apakah mereka sudah membayar pajak sesuai dengan aset dan kekayaan yang dimiliknya?
Upaya penghindaran pajak yang “berbau” kejahatan pajak juga mulai dapat dilacak. Atau, ada banyak pejabat publik, kekayaannya tidak dilaporkan secara benar dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) karena kekayaan yang luar biasa itu kesulitan dibuktikan asal-usulnya dan dipastikan berasal dari penghasilannya yang sah.
ADVERTISEMENT
Pendeknya, kasus e-KTP harusnya dijadikan dasar oleh pemerintahan Jokowi untuk mendorong percepatan pembuatan SIN bukan menindaklanjuti proyek e-KTP yang berindikasi korupsi.
Faktanya, hingga hari ini Kementerian Dalam Negeri masih disandera korupsi. Salah satu indikatornya adalah ada beberapa peralatan yang berkaitan dengan e-KTP, diduga, masih terkait korupsi.
Lihat saja, misalnya, pada printer yang digunakan untuk pencetakan e-KTP, ada penguncian spesifikasi yang terletak di printer dan ribbon-nya sehingga user tidak dapat menggunakan printer lain.
Keseluruhan harga, diduga keras, hingga kini, masih dikendalikan vendor. Begitu juga dengan cip yang digunakan, tidak bersifat terbuka seperti yang disyaratkan sehingga menyebabkan ketergantungan atas produk tertentu.
Ketiga, ada program Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) yang pernah diluncurkan pemerintahan pada Oktober 2016. Seperti biasa, program ini seperti tidak pernah terdengar lagi kelanjutannya. Jika tidak segera dievaluasi dan dilakukan revisi yang lebih fundamental maka program ini berpotensi menjadi back fire terhadap kepercayaan publik akan keseriusan pemerintahan dalam memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
Tim Saber Pungli menjadi sesuatu yang menarik dan potensial menjadi keren kendati banyak dicemooh tak akan mungkin dapat efektif.
Saber Pungli difokuskan memantau sektor pelayanan publik dari Aceh hingga Papua, mulai dari pembuatan KTP, SKCK, STNK, SIM, BPKB, izin bongkar muat barang di pelabuhan, hingga sejumlah izin di berbagai kementerian lainnya.
Leading sector Saber Pungli terdiri atas Polri, Kejaksaan Agung, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi di bawah koordinasi Menkopolhukham.
Tim Saber Pungli juga akan mengkaji apakah ada aturan yang mendukung terjadinya pungli, menyisir regulasi yang dobel, tumpang tindih, regulasi yang tidak efektif sehingga regulasi izin itu menjadi sederhana, praktis, mudah, dan tidak memberikan peluang pungli.
ADVERTISEMENT
Barang bukti pungli di Pelabuhan Samarinda (Foto: Istimewa)
Ada himbauan simpatik yang dikemukakan Presiden, masyarakat diharapkan terlibat aktif melalui berbagai sarana dan fasilitas yang disediakan untuk mensukseskan gerakan saber pungli.
Hal ini dapat dimaklumi karena, dipastikan, tidak akan pernah suatu keberhasilan dapat dilakukan tanpa keterlibatan publik secara genuine dan autentik. Presiden menyatakan “dengan keterlibatan aktif seluruh lapisan masyarakat, gerakan saber pungli niscaya akan berhasil”.
Imbauan itu akan bermakna, jika saja, sinyalemen keberpihakan atas kasus hukum yang dimenangkan oleh masyarakat Kendeng dapat dieksekusi secara substantif, bahkan di stponya berbagai indikasi kekerasan dan kriminalisasi, yang seolah, menjadi bagian tak terpisahkan dari watak dan karakter kekuasaan. Atau, kasus e-KTP dijadikan upaya untuk membangun infrastruktur pencegahan korupsi guna mengakselerasi percepatan pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Secara jujur harus diungkapkan, ada ambiguitas dan ambivalensi yang dilakukan oleh kekuasaan sebagaimana tertangkap secara kasat mata oleh publik. Di tengah desakan untuk terus melakukan pemberantasan korupsi secara progresif, nyatanya, KPK terus menerus disandera dengan usulan revisi atas UU KPK.
Tindak pidana korupsi hanya dijadikan kejahatan biasa dan bukan kejahatan luar biasa di dalam revisi KUHP. Sebagai catatan, KPK merupakan salah satu champion pemberantasan korupsi.
Belum lagi atas adanya diskriminasi perlakuan. Adanya kesimpulan sepihak yang menyatakan, ketidakmampuan penyerapan anggaran dari kementerian dan pemerintahan daerah disebabkan oleh adanya “ketakutan” atas penyelenggara negara pada tuduhan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum.
Pernyataan itu seolah menjadi excuse, semua aparatur pemerintahan telah menjalankan tugas, kewajiban serta menggunakan kewenangannya secara perform, tidak ada lagi melakukan abuse of power.
ADVERTISEMENT
Di sisi lainnya, juga harus diakui, masih kerap ditemukan, adanya penegak hukum nakal yang terus “bermain-main” dengan persoalan penegakan hukum.
Pertanyaannya, apakah lembaga penegakan hukum dimaksud telah melakukan upaya yang optimal untuk melakukan "Saber Pungli" atas dirinya sendiri?
Tentu saja, di sisi publik mempertanyakan mengapa atas kasus-kasus yang dimenangi masyarakat, misalnya saja: reklamasi dan juga Kendeng, tidak segera diekseksui dan bahkan secara nyata-nyata, pemerintahan seolah justru mengingkarinya.
Fakta ini dilihat dengan sangat jelas oleh masyarakat sebagai suatu tindakan yang bersifat diskriminatif dan standar ganda dari kekuasaan. Pada situasi seperti ini, apakah mungkin mengharapkan partisipasi publik secara luas pada setiap upaya pemberantasan korupsi?
Wajah hukum kekuasaan telah dihancurkan sendiri oleh sebagian dari unsur aparat pemerintahan secara sengaja dan terus menerus dengan menampilkan sikap dan perilaku yang tidak konsisten, diskriminatif, ambigu, dan standar ganda dalam upaya penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
ADVERTISEMENT
Jika segala sikap dan perilaku di atas tidak segera diselesaikan maka akan tumbuh ketidakpercayaan publik atas kesungguhan pemerintahan memberantas korupsi. Lebih dari itu, stigma ihwal pemerintahan yang tidak bermartabat dan tidak dapat dipercaya justru memperoleh landasan legitimasinya.
Yang sangat dikhawatirkan, sulit untuk mengubah persepsi publik bila rakyat sudah terlanjur meyakini bahwa pemerintahan saat ini tidak berbeda dengan pemerintahan lain karena tidak pernah serius memberantas korupsi.
Pemerintahan juga bisa dicap tidak dapat dipercaya dan tidak bermartabat. Wajah hukum dari kekuasaan dipersepsi tak akan mampu mewujudkan keadilan secara paripurna dan autentik.
ADVERTISEMENT
DR. Bambang Widjojanto Partner di WSA Lawfirm dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti.