Memantaskan "Kewarasan", Memikul Tanggung Jawab

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
26 Mei 2017 15:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Memantaskan "Kewarasan" Memikul Tanggung Jawab (Foto: Herun Ricky)
zoom-in-whitePerbesar
Memantaskan "Kewarasan" Memikul Tanggung Jawab (Foto: Herun Ricky)
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, ada fakta dan dinamika di seputar perikehidupan sosial, kemasyarakatan dan pemerintahan yang mengkhawatirkan. Di sebagiannya, ada kegagapan untuk memahami perubahan itu. Bahkan, ada kelompok dan kekuasaan yang naif, terbata-bata dan terlihat tidak sungguh-sungguh menggunakan akal budi dan nurani batinnya secara optimal dalam merespon situasi dimaksud.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, ada kewarasan yang terperdaya dan terbelenggu, tapi merasa diri sudah berada di jalan yang paling benar. Lebih dari itu, ada pihak yang pongah bicara keberagaman, tapi justru penyokong utama ketidakadilan dan menghalalkan penggusuran dengan segala cara. Mereka, sesungguh-sungguhnya, melakukan proses pemiskinan, tapi “memanipulasinya” seolah untuk kepentingan rakyat yang digusur.
Tugas dari kewarasan, menjadikan fakta di atas, justru untuk meminimalisasi menguatnya potensi polarisasi (bukan malah mengipas-ngipasi) agar tidak berubah menjadi segregasi sosial dalam sendi dan perkehidupan masyarakat. Bahkan, harus terus menerus membangkitkan nurani keberpihakan agar dapat digunakan untuk mendekonstruksi potensi yang berujung pada terjadinya mistrust dan distrust terhadap kekuasaan.
Tugas lainnya, semoga, diharapkan, tidak terjadi civil disobedience dihadapan kekuasaan. Karena, setiap kelompok akan menginisiasi tindakan sesuai kepentingan bersama. Kendati, kini tengah muncul, sinyalemen dan persepsi, negara telah gagal menunjukan fairness dan sensitivitas keadilan untuk berkhidmat, sepenuh-penuhnya, pada kepentingan kemaslahatan publik kebanyakan, kaum miskin dan kelompok dhuafa.
ADVERTISEMENT
Pada perspektif yang lebih fundamental, semoga dapat “dikendalikan” sinyalemen yang makin “meluas” bahwa sebagian kekuasaan, dipandang telah melakukan pembiaran secara berkelanjutan atas pelanggaran pembukaan konstitusi. Juga dapat “dikelola” tudingan, tengah terjadinya “sabotase” oleh kekuasaan sendiri yang secara sengaja telah “menggagalkan, setiap kehendak yang ditujukan untuk mencapai cita, tujuan dan janji, mengapa kita perlu membentuk pemerintahan dan republik ini.
Ilustrasi merawat integrasi sosial (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi merawat integrasi sosial (Foto: Pixabay)
Kewarasan makin diperlukan. Coba lihat saja, masih ada pihak sentimental serta kelompok dan kerumunan yang tak jelas penanggung jawabnya, tapi seolah merasa sedang membuat barisan kemasalahatan, misalnya: menyatakan “tolak” rekonsiliasi dan itu harga mati. Ada berbagai pernyataan naif lainnya yang “diteriakan” secara lantang dan disebarluaskan seolah sedang menyuarakan kebenaran, bahkan, memonopolinya.
ADVERTISEMENT
Ada juga rangkaian pernyataan yang berbalut tuduhan yang menegasikan toleransi suatu kelompok, sembari mengklaim kelompoknyalah yang paling benar “rasa keberagamannya”. Pihak lainnya, kendati diklaimnya sebagai “teman” tetap dihardik, diolok-olok dan dicemooh serta dianggap sebagai pelaku yang selalu membuat keonaran dan pelaku tindakan anarkis yang layak untuk “dikebumikan” dan tak pantas ada di NKRI.
Kewarasan sangat diperlukan di dalam membahas hal fundamental dalam bernegara. Ada situasi yang mengerikan, misalnya, marwah Pancasila yang seharusnya berpijak dan ditujukan bagi kepentingan kemaslahatan seluruh daulat rakyat, hendak “dibajak”, diinstrumentasi dan dimaknai secara sepihak, searah dan disempitkan keluhurannnya, hanya seperti terjadi di era Orde Baru. “Klaim” Pancasilais dilekatkan untuk dirinya tapi tidak untuk pihak lain karena berbeda pendapat dengannya.
ADVERTISEMENT
Itu artinya, di dalam narasi lainnya, marwah dasar negara Pancasila hendak digunakan untuk “menghardik, membungkam, melabelisasi dan menstigmatisasi” pihak yang berbeda. Semoga saja, sembari terus merapal doa, kelakuan itu tidak diadopsi kekuasaan dalam menghadapi pihak dan kelompok orang yang berpikiran kritis yang tengah mempersoalkan sebagian perilaku kekuasan yang tidak senonoh.
Berpijak dari kesadaran di atas, narasi Pancasilais yang mulai kembali didesakkan di dalam diskursus publik, semoga dapat “dipercakapkan” secara terbuka, tidak digunakan sebagai “alat pemukul” yang akan melumat keragaman posisi dan pendapat. Untuk tidak mengulangi kesalahan fatal di masa lalu, Pancasila harus dimaknai kemanfaatannya secara bersama, dan dipraktikan secara tanggung renteng guna membangun kehidupan yang mencerdaskan, mensejahterakan dan menjamin terwujudnya keadilan.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Hoax (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hoax (Foto: Thinkstock)
Kewarasan juga diperlukan untuk mendelegitimasi situasi mencemaskan lainnya. Kini, ada fakta yang hampir tak terbantahkan, hoax dijadikan bagian dari lifestyle, teman seiring-jalan dan kolega sejatinya sebagian kita. Bergunjing dan memfitnah dibiasakan dan dijadikan sebagai sikap dan perilaku dalam berkomunikasi dengan menggunakan berita hoax.
Jika situasi di atas tidak dikendalikan oleh kewarasan, kelak bisa saja terjadi, tindakan “terorising” pada semua pikiran kritis karena sikap dan perilaku kritis tidak hanya dianggap berseberangan tapi sudah dikualifikasi sebagai musuh dan bahkan menjadi sasaran untuk “dihajar dan digebuk”.
Pada gilirannya, situasi di atas akan memicu “kengerian” lainnya. Misalnya, kekerasan mulai dibenarkan dan dijustifikasi untuk digunakan. Yang lebih fatal lagi, penegakan hukum, disebagiannya, digunakan tidak untuk kepentingan sejatinya tapi malah digunakan untuk melegalisasi dilakukannya kekerasan dan kriminalisasi atas pikiran kritis sehingga potensial terjadi “state terrorism” yang bersekutu dengan “state captured”.
ADVERTISEMENT
Kewarasan untuk berpihak kian diperlukan karena kita tidak ingin, kelak ada kepentingan kapital yang bersembunyi atas nama pembangunan, dilindungi, dijamin, dan diberikan privilege. Disebagiannya, disediakan karpet merah. Percakapan orang pinggiran mulai mengkristal, mereka melihat indikasi yang menyakitkan, nampaknya, ada rangkaian kebijakan yang dibuat dengan sengaja dan secara sadar untuk menjustifikasi kepentingan kapital saja.
ADVERTISEMENT
Dari situ juga berkembang ketakutan, bukan tidak mungkin, akan terjadi “amensti kriminal” pada berbagai mega skandal korupsi, termasuk juga dalam kasus reklamasi. Hal ini dapat mengulang skandal tak terlupakan pada kebijakan Relase & Discharge. Cukup sudah “kebodohan” yang dilakukan atas kebijakan BLBI karena itu merupakan salah satu skandal terbesar di republik tercinta yang daya rusaknya memporak-porandakan perekonomian negara dan dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Kewarasan menjadi suatu keniscayaan dan harus dinternalisasi agar dapat menjadi karakter. Hal ini diperlukan untuk menghadapi situasi menyesatkan yang telah hadir. Kini, kian berkembang, disebagiannya, media partisan yang melawan fungsi social control yang ditujukan bagi kepentingan masyarakat kebanyakan.
Media partisan ini hanya mengamplifikasi kepentingan sesat dan sesa’at dari pihak atau kelompok yang didukungnya saja. Terjadi juga, fabrikasi informasi melalui media sosial oleh cyber army “bayaran” yang sesungguhnya berwatak nirmoral, asosial dan tuna-manfaat.
ADVERTISEMENT
Pendeknya, kini, saatnya, kita memantaskan kewarasan agar kita tidak tersesat dan terperdaya oleh fakta dan dinamika yang tengah berlangsung sehingga salah kaprah, gagal dalam memahami dan memaknai situasi yang tengah berkembang. Akibatnya, kita tidak mampu untuk mencari jalan keluar yang utuh dan menyeluruh serta mengambil sikap otentik yang solutif.
Salah satu prasyaratnya, jangan “pelihara” kemarahan. Tidak akan mungkin, opsi solusi dan jalan keluar dapat dihasilkan, jika kita terus menerus memelihara “kemarahan”. Jangan bersekutu dengan hoax dan menjadikannya sebagai life style karena menebar insinuasi, menyebarkan provokasi, melempar sinyalemen hanya akan memperkeruh perbedaan dan menajamkan ketegangan. Prasyarat lainnya, para pemimpin harus memproduksi pernyataan yang menimbulkan hikmah bukan malah memfabrikasi fitnah atau berbagai sinyalemen yang berkonotasi kekerasan.
ADVERTISEMENT
Pada konteks kebijakan, kewarasan tidak hanya akan melahirkan keramahan dan keberpihakan, tapi juga harus menghadirkan kemanfaatan dan keteladanan. Tentu saja, pada akhirnya, kewarasan akan menyebabkan mereka atau rakyat kebanyakan, tidak dibiarkan tetap berkubang kemelaratan karena disingkirkan oleh proses pembangunan, tidak “dihinadinakan” martabatnya karena dianggap mengganggu “keindahan dan kenyamanan” kota serta bukan sekedar memenuhi janji kampanye belaka.
Kewarasan adalah memberi solusi bukan menunjukan sikap jumawa dan kepongahan melakukan penggusuran rakyat pinggir kali. Kewarasan harus “memeluk erat” para nelayan karena kita berjanji tidak lagi memunggungi laut , bukan malah jadi “juru bicara” para pengembang reklamasi. Kewarasan adalah bergandeng tangan dengan pemilik kedaulatan sejati, seperti misalnya, sedulur sikep di Kendeng yang tengah melawan “kedigdayaan” pongahnya pabik semen.
ADVERTISEMENT
Semoga, tanggungjawab dapat dipikul karena secara sengaja mengajak dan ditemani kewarasan yang terus menerus dipantaskan.
DR. Bambang Widjojanto, Senior Partner di WSA Lawfirm dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti.