Survei Abal-abal, Lalu?

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
18 April 2019 16:10 WIB
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi survei abal-abal. sumber: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi survei abal-abal. sumber: pixabay
ADVERTISEMENT
Institusi survei memperoleh predikat baru karena kini mulai dijuluki sebagai Lembaga “Survei Abal-abal” oleh sebagian publik. Tudingan itu makin menguat pasca pengumuman hasil quick count pemilihan presiden 2019 yang baru lalu. Tudingan itu tentu bukan tanpa sebab, belum lekang dari ingatan publik atas hasil survei pemilihan gubernur di tahun-tahun sebelumnya bak bumi dan langit, berjarak sangat signifikan.
ADVERTISEMENT
Sebut saja, misalnya, pemilihan Gubernur di Jawa Tengah dan Jakarta. Pada Pilgub Jawa Tengah, Juni 2018, seluruh hasil survei yang dilakukan sebelum pemilihan meleset sangat jauh, jika dibandingkan dengan hasil real count dari KPU.
Tidak ada yang menyangka, hasil rekapitulasi KPU menyatakan bahwa Sudirman Said-Ida Fauziyah mendapatkan 41,22% dengan perolehan 7.267.993 suara serta pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maimoen Zubair dinyatakan sebagai pemenang hanya dengan perolehan suara sebesar 10.362.694 suara atau 58,78%.
Padahal sejak semula, institusi pembuat survei, sebut saja, LSI dari Denny JA menyatakan bahwa elektabilitas pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah hanya 13,0% saja. Survei dilakukan pada 7-13 Juni 2018 dengan metode sampling multi stage random sampling dan dilakukan dengan wawancara. Itu artinya, ada perbedaan hasil survei sebesar lebih dari 300%.
ADVERTISEMENT
Ada persepsi, diduga, survei telah dengan sengaja menghancurkan elektabilitas Sudirman-Ida dengan men-downgrade hasil survei. Muskil tapi faktual dan konkret terjadi. Itu sebabnya, sebagian kalangan menuding, ada indikasi, transaksi dan pelacuran intelektual tengah terjadi sangat kasat mata melalui proses survei.
Pada kasus Pilgub Jateng, bukan hanya LSI saja yang diduga melakukan perbuatan seperti di atas. Hal serupa juga dilakukan oleh SMRC, Sudirman Said-Ida Fauziah yang diprediksi hanya mendapatkan 22,6%; sedangkan Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maimoen diprediksi mendapatkan 70,1%.
Tentu saja, lembaga survei Charta Politika dan Litbang Kompas juga terlibat karena membuat prediksi yang bertolak belakang dengan kenyataan. Kala itu, Sudirman Said–Ida Fauziah diperkirakan hanya akan memperoleh 13,6% dan sebesar 15% suara saja oleh Charta dan Litbang Kompas. Sedangkan Ganjar Pranowo-Yasin Zubair diprediksi mendapatkan 70,5% oleh Charta Politika dan 76,6% oleh Litbang Kompas.
ADVERTISEMENT
“Pelacuran Intelektual” melalui survei, diduga, juga terjadi dalam Pilgub DKI Jakarta di tahun 2017. LSI, lembaga besutan Denny JA sebelum pilgub merilis hasil surveinya dan menegaskan bahwa pasangan Anies-Sandi berada di posisi buncit dengan perolehan suara 21,4%. Pasangan Agus-Sylvi unggul dengan 36,7%, disusul pasangan Ahok-Djarot hasil 32,6%.
Apa lacur yang terjadi, hasil rekapitulasi putaran pertama Pilgub DKI, prediksi Denny JA melalui Lembaga survei LSI keliru total sepenuhnya. Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono–Sylviana Murni hanya dapatkan 17.02% atas 937.950 suara, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat memperoleh 42,99% atau 2.364577 suara, sedangkan Anies-Sandiaga Uno memperoleh 39,95% atau setara 2.197.33 suara.
Di putaran kedua Pilgub DKI Jakarta, Charta Politika melakukan perilaku tak senonoh serupa dengan Lembaga survei di atas. Charta memprediksi bahwa Ahok-Djarot akan mendapatkan 47,3% suara dan elektabilitas Anies-Sandi hanya sekitar 44,8% saja. Pada kenyataannya, KPU menetapkan bahwa pasangan Anies-Sandi memperoleh 57,96% suara; sedangkan Basuki-Djarot hanya 42,04% saja.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kedua pengalaman di atas, publik tak mau begitu saja menerima hasil quick count yang dilakukan oleh Lembaga survei di Pilpres 2019 yang baru saja berlangsung. Ada persepsi dari publik, Lembaga survei diduga telah dengan sengaja melakukan upaya yang mendekonstruksi elektabilitas lawan dari setiap klien yang membayarnya.
Itu sebabnya, tak berlebihan, publik mencurigai perbuatan SMRC atas survei yang dilakukannya itu tak beda jauh dengan dua pengalaman sebelumnya di pilgub Jateng dan Jakarta. SMRC, misalnya, 12 April 2019, masih menyimpulkan melalui prediksinya, elektabilitas Prabowo-Sandiaga masih dikisaran 37% yang naik dari angka 31,8% di bulan Februari 2019.
Hal serupa juga seperti yang dilakukan oleh LSI Denny JA yang secara konsisten menyatakan, Jokowi-Maruf elektabilitasnya 52,2%, unggul secara konsisten di atas dua digit sejak Agustus 2018, sementara Prabowo-Sandi hanya sebesar 29,5% saja. Kendati seminggu sebelum pencoblosan, LSI menyatakan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf meningkat dan berada di rentang 55,9 - 65,8%. Adapun lawan mereka, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berada di rentang 34,2 - 44,1%
Cover Collection: Quick Count. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Survei quick count atas hasil pemungutan suara Pilpres tentu beda dengan survei sebelum Pilpres dan juga tak bisa digunakan sebagai sepenuh-penuhnya atas real count yang kelak dihitung dan ditetapkan oleh KPU. Tapi dampak atas perilaku “tak senonoh” yang dapat dikategorikan bersifat “koruptif” oleh sebagian Lembaga survei ketika “memenangkan” klien yang membayarnya pada survei sebelum Pilpres masih membekas, ditambah lagi pengalaman di pilgub Jawa Tengah dan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Agar dugaan survei abal-abal tidak berimbas secara langsung pada hasil pemungutan suara serta integritas hasil suara, maka diperlukan suatu upaya yang dapat menghadirkan perilaku yang bersifat: kejujuran, transparansi, akuntabilitas dan responsifitas. Hal ini harus dilakukan pada semua pihak. Khusunya KPU, Bawaslu, dan Lembaga negara terkait, serta setiap peserta kontestasi.
Pilihannya menjadi sangat sederhana, diusulkan untuk melakukan beberapa hal, yaitu antara lain: kesatu, hasil scanning formulir C1 harus segera ditampilkan dalam seluruh rekap penghitungan suara di setiap tahapan penghitungan; kedua, kecepatan meng input data dengan basis teknologi harus dilakukan, menjadi keniscayaan & tak terelakkan; ketiga, selesaikan setiap informasi pelanggaran dan indikasi kecurangan secara tuntas dan terbuka dengan pemberian sanksi yang tegas.
ADVERTISEMENT
Yang juga sangat penting diperhatikan, fungsi watchdog yang mengawal pemilu serentak ini, khususnya dalam proses penghitungan suara atas dokumen C1 yang harus dilakukan secara terbuka. Pada konteks ini, ada berbagai inisiatif dari masyarakat, baik berupa Lembaga maupun pihak yang mengorganisir aplikasi untuk pemilu serentak ini perlu diefektifkan dan didayagunakan, seperti: KawalPemilu dan Network for Democracy dan Electoral Integrity (Netgrit) mengumumkan gerakan KawalPemilu-Jaga Suara 2019 (KPJS 2019) dan juga aplikasi ayojagatps.com yang memudahkan pengawalan suara.
Last but not the least, Tim Pemenang Pemilu masing-masing kontestan dan partai harus terlibat dan menjadi bagian penting dalam seluruh proses di atas sehingga setiap suara dapat diintegrasikan satu dan lainnya secara cermat dan akurat sehingga dapat menghadirkan hasil pemungutan suara yang punya integritas.
ADVERTISEMENT
DR. Bambang Widjojanto