Wow, e-KTP, Parlemeniesta?

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
10 Maret 2017 13:56 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi korupsi e-KTP. (Foto: (Istimewa))
Sepanjang siang, Kamis, 9 Maret 2017, kita dibuat takjub dan tercengang. Dakwaan korupsi e-KTP yang dibacakan Jaksa KPK menjelaskan dengan sangat lugas—berapa banyak jumlah uang rakyat yang dijadikan bancakan”, siapa saja yang berpesta pora, dan bagaimana prosesi fiesta dilakukan.
ADVERTISEMENT
Kala itu, dipastikan, uang tabu yang diharamkan, diterima dengan “khusyuk” oleh para pedansa kejahatan, di sebagiannya mereka, lalu hanyut bergendang dan berdendang.
Ada banyak hal menarik dari dakwaan yang dirumuskan. Misalnya, korupsi e-KTP patut disebut sebagai mega-akbar korupsi karena jumlah persentase perampokan atas uang rakyat itu—termasuk yang terbesar—mencapai sekitar 47% dari nilai proyek yang sudah dibayarkan atau Rp 2.314 triliun dan nilai proyek sebesar Rp 5.9 triliun yang berubah menjadi Rp 5.59 triliun dan yang sudah dibayarkan sebanyak Rp 4.917 triliun. Padahal, di banyak korupsi lainnya, fee proyek yang digasak koruptor, biasanya, hanya sekitar 20% dari nilai proyek.
Korupsi e-KTP, dilakukan secara sistematik dan terstruktur, jauh sejak awal ketika program ini baru direncanakan. Tiga pilar kejahatan: birokrat tidak amanah, konglomerasi hitam, politisi busuk—kombinasi dari oligarki dan politik kartel yang bersekutu merencanakan perampokan uang rakyat melalui korupsi.
ADVERTISEMENT
Mereka tentu bukan sekadar broker proyek. Dipastikan, E-Procurement dalam proyek e-KTP, tidak akan ada gunanya
Di dalam dakwaan dirumuskan, ada mark-up atas biaya proyek—sekitar 49% atau Rp 2.558 trilun yang akan dibagi-bagi ke pejabat Kemendagri (7%), Komisi II DPR (5%), Andi Agustinus alias Andi Narogong sebanyak Rp 574 miliar (11%), Anas Urbaningrum dan Nazaruddin sebesar Rp 574 miliar dan keuntungan pelaksana sebesar Rp 783 milar (15%).
Badan anggaran (Banggar) yang kerap disinyalir sebagai salah satu sumber “mata air” terjadinya “transaksi kejahatan” mendapatkan legitimasi melalui kasus korupsi e-KTP ini. Ternyata, Pimpinan Banggar mendapatkan bagian cukup besar. Itu sebabnya tidak mengherankan, santer terdengar, bahwa siapapun yang dapat menjadi Pimpinan Banggar, dipastikan bukan orang “sembarangan”—harus punya kedekatan tertentu dengan Ketua Fraksi yang merupakan kepanjangan tangan dari partai.
ADVERTISEMENT
Apakah penempatan di Banggar selalu menjadi perebutan di kalangan anggota dewan tertentu? Sulit untuk menyangkalnya. Lihat saja, Surat Dakwaan merumuskan indikasi pembagian dan penerimaan uang pada Pimpinan Banggar, yaitu:
Dakwaan korupsi e-KTP yang menyebut Banggar DPR. (Foto: (Istimewa))
Pihak penerima “uang jadah”, ternyata sangat “berjibun” sehingga korupsinya layak disebut sebagai korupsi berjamaah. Lihat saja, nyaris semua anggota parlemen di Komisi II dari seluruh partai mendapatkan dana “haram” yang mestinya ditabukan untuk diterimanya.
Indikasinya, ada sekitar 37 anggota Komisi II lainnya, seluruhnya berjumlah USD 556 ribu dan masing-masing mendapatkan uang USD 13-18 ribu. Selain itu, indikasi uang mengalir juga ke sebagian Ketua Fraksi, Pimpinan Banggar, Pimpinan DPR dan Sekretariat DPR. Belum lagi, di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), auditor BPK, fungsional Dirjen Anggaran dan Sekretariat Kabinet.
ADVERTISEMENT
Ada 3 kategori politisi dan pihak lainnya yang disebut di dalam rumusan dakwaan e-KTP, yaitu:
Pertama, nama-nama yang memang selalu saja disebut terlibat di dalam banyak kasus yang berindikasi korupsi, namun selalu berhasil dibawa muka persidangan, seperti Setya Novanto, Olly Dondokambey, Mirwan Amir;
Kedua, ada nama-nama yang disinyalir terlibat, seperti Chairuman Harahap, Melchias Marcus Mekeng, dan Anas Urbaningrum;
Ketiga, ada banyak nama lain yang selama ini dianggap punya kemampuan untuk menjaga integritas dan kredebilitasnya tapi terjerembap dalam dugaan kubangan korupsi, misalnya Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Ganjar Pranowo, Tamsil Linrung, Agun Gunandjar Sudarsa, Taufiq Effendi, Teguh Juwarno, Arif Wibowo, Ade Komarudin, Yasonna Laoly, Jafar Hafsah, Khatibul Umam Wiranu, dan Ignatius Mulyono.
ADVERTISEMENT
Pada pelaksanaannya, ada perbedaan metode pemadanan atas identifikasi dan verifikasi data. Kerangka Acuan Kerja (KAK) mengharuskan penggunaan dengan sidik jari, namun dalam praktiknya digunakan iris, sehingga ketunggalan e-KTP tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Bea Cukai rilis KTP dan NPWP dari Kamboja (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Yang sangat mengerikan, rencana kejahatan korupsi ini dilakukan begitu teliti. Lihat saja hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan printer. Ada penguncian spesifikasi yang terletak di printer dan ribbon-nya sehingga user tidak dapat menggunakan printer lain dan harganya dikendalikan vendor.
Begitu juga dengan chip yang digunakan tidak bersifat terbuka seperti yang diisyaratkan, sehingga menyebabkan ketergantungan atas produk tertentu.
Jejak kasus korupsi e-KTP masih “menyandera” Kemendagri hingga saat ini bila beberapa perlengkapan di atas masih dikendalikan vendor. Pendeknya, terjadi komodifikasi kewenangan dari politisi, lembaga parlemen, dan Kemendagri serta menjadikan jabatan dan insitusi negara menjadi bagian dari super store—tempat transaksi kejahatan yang dilegalisiasi.
ADVERTISEMENT
Wow, rupanya ada pesta di proyek e-KTP. Parlemeniesta kah?
-DR. Bambang Widjojanto, partner di WSA Lawfirm dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti