Akulturasi Cina-Sunda Lewat Permainan Kecapi Sisca Guzheng

Konten Media Partner
3 Agustus 2018 8:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Akulturasi Cina-Sunda Lewat Permainan Kecapi Sisca Guzheng
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Fransisca Agustin alias Sisca Guzheng. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
BANDUNG, bandungkiwari - Jemari lentik perempuan bermata sipit itu menari di atas dawai. Matanya terpejam menikmati alunan instrumen lagu lama yang bercerita tentang tanah air. Irama yang syahdu tentang Indonesia yang indah, serasi dengan kebaya encim yang dikenakannya.
ADVERTISEMENT
Nama perempuan keturunan itu Fransisca Agustin, tetapi dirinya lebih dikenali dengan nama Sisca Guzheng. Nama belakang Guzheng bagi sebagian orang Indonesia tentu asing. Namun bagi masyarakat Tionghoa dan pecinta musik tradisi tentu mengenalinya, karena Guzheng merupakan nama lain dari kecapi Tiongkok.
Guzheng atau kecapi Tiongkok merupakan salah satu alat musik warisan tradisi yang paling populer. Alat musik yang saat ini menggunakan 21 senar, sudah digunakan untuk mengiringi lagu pada masa pemerintahan dinasti Han atau Hanzi pada 206 SM sampai 220 SM.
Terlepas dari persoalan sejarah, Sisca menjadi salah satu orang yang menjaga dan melestarikan guzheng pada ranah sosial masyarakat di Bandung. Pada beberapa kesempatan baik acara formal maupun non formal, Sisca selalu memainkan alat musik ini.
ADVERTISEMENT
“Dulu milih guzheng mah karena ga sengaja. Tahun 2000 sehabis Ebtanas beres, ga ada kerjaan. Akhirnya cari les musik untuk ngisi kekosongan itu,” ucap perempuan lulusan Sastra Inggris ini.
Akulturasi Cina-Sunda Lewat Permainan Kecapi Sisca Guzheng (1)
zoom-in-whitePerbesar
Keinginan Sisca belajar alat musik sangat besar, tetapi dirinya menginginkan alat musik selain piano. Ternyata di tempat kursus musik tersebut, ada les alat musik tradisional Tiongkok yaitu guzheng. Pada saat itu menurutnya guzheng belum populer, hanya ada satu pemain guzheng di Bandung; dan mungkin juga di Indonesia.
Perjalanan bermusik Sisca pada guzheng seperti menemukan “panggung” tatkala masa pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang membuka keran kebebasan masyarakat Tionghoa. Gus Dur yang disebut bapak Tionghoa menjadi sarana besar memulai karier bermusik Sisca yang terlibat dalam perayaan Imlek pada 2001.
ADVERTISEMENT
“Jadi kebetulan, ketika itu terjadi saya udah bisa main,” katanya. Bahkan Sisca menyatakan dirinya menjadi angkatan pertama orang yang memainkan guzheng di pelbagai tempat dan d iberbagai acara seperti di mal, restoran, pernikahan atau ulang tahun.
Ketertarikan lain dirinya memainkan guzheng menurut Sisca tiada lain karena guzheng sedikit mirip piano dalam segi logika memainkannya.
“Jadi bukan mirip gitar. Agak deket sama instrumen,” ucap Sisca yang juga seorang penulis lepas di beberapa media.
Namun jujur dirinya mengakui memainkan Guzheng seperti tradisi masyarakat Tionghoa, begitu susah. Apalagi memainkan lagu klasik Tiongkok ala Dinasti Qin atau Tang yang lebih dari 1.500 tahun lalu. Hal tersebut menurut Sisca karena tiada lain dirinya lahir dan besar di Indonesia, meski dirinya adalah keturunan Tionghoa, tetapi rasa Indonesia begitu sangat kuat pada dirinya.
ADVERTISEMENT
“Seperti orang bule mainkan gamelan. Bisa cukup bagus dengan baca partitur. Tapi kalau orang tradisi dengar sambil tutup mata, mereka akan bilang ‘ada yang kurang, apa ya? Hambar’,” jelasnya.
Akulturasi Cina-Sunda Lewat Permainan Kecapi Sisca Guzheng (2)
zoom-in-whitePerbesar
Itu pula yang terjadi pada dirinya, karena bagaimanapun menurut Sisca melodi musik tradisi itu mirip sekali dengan melodi bahasa yang biasa diucapkan. Merasa diri belum mencapai rasa itu, akhirnya Sisca menarik guzheng ke akar Sunda dan Indonesia di mana dirinya merasa utuh sebagai bangsa Indonesia.
Keterikatannya memainkan guzheng dengan nuansa Sunda, selain karena dirinya mencintai gamelan pun karena panggilan pekerjaan yang menginginkan dirinya memainkan lagu atau irama yang terasa lokal. Namun di balik ketidaksengajaan itu akhirnya Sisca menemukan misi untuk menghadirkan akulturasi budaya. Dirinya ingin memperkenalkan contoh kolaborasi guzheng dengan apa pun.
ADVERTISEMENT
Ketika ditanya pengalaman menarik dari bermain guzheng, Sisca menjelaskan satu peristiwa yang tidak terlupakan.
“Pernah main guzheng untuk ulang tahun seorang kakek yang dalam keadaan sakit,” jelasnya.
Kemudian Sisca menjelaskan, kakek tersebut datang menggunakan ambulans dalam keadaan kritis sengaja keluar dari rumah sakit. Sisca bersama teman disuruh memainkan musik, sementara sang kakek berada di dalam kamarnya. Sepekan kemudian dirinya diminta lagi untuk memainkan guzheng di rumah duka, karena permintaan sang kakek ingin ditemani guzheng.
“Mainlah saya di sebelah peti mati,” ucapnya.
Akulturasi Cina-Sunda Lewat Permainan Kecapi Sisca Guzheng (3)
zoom-in-whitePerbesar
Perjalan bermusik Sisca tentu banyak hal yang bisa menjadi cerita, terutama sisi emosi yang lahir saat bermain. Itu sebabnya Sisca memiliki tafsir tersendiri ketika mengeja kata musik. Musik menurutnya memiliki makna yang luar biasa, tidak ubahnya seperti pintu yang mampu menyelami sisi karakter manusia. Ketika memainkan musik tertentu secara psikologis karakter dirinya pun berubah.
ADVERTISEMENT
“Bisa jadi manis, melankolik bahkan sangar,” imbuhnya.
Terlepas dari persoalan arti musik bagi Sisca, di tengah globalisasi seperti saat ini, di mana keseragaman menjadi nafas bersama. Tentunya menoleh kembali akar budaya setiap individu menjadi sangat penting. Hal tersebut tiada lain demi melahirkan identitas kultural yang hadir pada setiap orang.
Maka pertanyaan selanjutanya, adakah kita masih punya setitik cinta dan seutas keinginan melestarikan tradisi terutama musik yang sedang tercerabut oleh bulldozer modernitas? Bukankah melestarikan musik adalah menjaga kehidupan?
Inayat Khan, tabib musik dari India yang melahirkan buku berjudul "Dimensi Mistik Musik dan Bunyi" pernah mengatakan, “…Then every soul became for me a musical note, and all life became music.” (Agus Bebeng)
ADVERTISEMENT