Analisa Pengamat: Mengapa Warga Bandung Dulu Lebih Kreatif?

Konten Media Partner
13 Januari 2019 20:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Hotel Savoy Homann, Jalan Asia Afrika, Bandung, salah satu bangunan bersejarah peninggalan zaman Belanda. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Bandung kota yang penuh sajung. Tapi dulu ketika belum semacet dan panas seperti sekarang ini. Bahkan kota ini kerap dilanda banjir kala musim hujan seperti sekarang.
Generasi kekinian atau milenial bisa mengenal Bandung tempo dulu lewat dokumentasi atau keterangan para tokoh saksi sejarah. Sejarah “keemasan” Bandung setidaknya masih terjadi di tahun 70-80-an, ketika suasana alam lebih mendominasi ketimbang suasana pembangunan modern.
Di sisi lain, pemerhati Bandung, T Bachtiar, meyakini ada hubungan erat kondisi alam dan daya kreativitas warganya. Bahwa orang Bandung dikenal kreatif karena terkait kondisi alamnya yang mendukung.
“Kelebihan orang Bandung rela berkorban uang, waktu, tenaga untuk nama Bandung. Padahal ga ada uang dari pemerintah. Mereka bikin sketsa, drama, lagu dan lain-lain itu pakai nama Bandung. Karena alamnya mendukung,” kata T Bachtiar, pemerhati dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, dalam sebuah diskusi di ITB, baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
Pengasuh Komunitas Geotrek tersebut menuturkan, dirinya pertama kali menginjak Bandung pada 1974 ketika kuliah di IKIP (kini Universitas Pendidikan Indonesia/UPI) Bandung. Anggota Masyarakat Geografi Indonesia ini mengatakan, waktu itu ia tinggal di Jalan Gegerkalong. Kampus UPI sendiri berada di Jalan Setiabudi, tepatnya sedikit ke atas dari Gegerkalong.
“Sore hari kalong (kelelawar) berarak, anak-anak bernyanyi. Paginya kalong-kalong tersebut pulang, ada yang tertinggal karena kesiangan,” katanya, mengisahkan kondisi alam Bandung yang tak lagi bisa dijumpai di masa kini.
Di masa lalu suhu Bandung sangat dingin. Ketika pagi-pagi keluar rumah, mulut akan mengeluarkan uap seperti merokok. “Pohonnya masih banyak, teduh dan adem. Menurut saya ini berkaitan dengan prestasi,” katanya.
Beda dengan kota yang berhawa panas di mana warganya akan sulit berkonsentrasi. “Kalau teduh, orang akan tenang belajar, bisa konsentrasi. Beda dengan panas di mana tubuh bagian dalam akan menyesuaikan dengan suhu di luar, jantung akan bekerja lebih cepat, sehingga sulit konsentrasi,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, mahasiswa di Bandung sekarang juga akan mengalami masalah konsentrasi. Contohnya mahasiswa yang tinggal di Bandung kemudian kuliah di kampus Unpad, Jatinangor, dia akan mengeluarkan energi besar ketika melewati perjalanan yang panas dan berdebu. “Karena alam yang panas tak mendukung,” katanya.
Memang sulit mengembalikan alam Bandung ke kondisi saat ini. Namun upaya meminimalkan suhu yang panas atau mengurangi banjir saat musim hujan, masih bisa dilakukan. Salah satu caranya, kata T Bachtiar, dengan menanam banyak pohon, membangun ruang terbuka hijau, dan kanal-kanal air. (Iman Herdiana)