news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Banyak Kampus Dikelola Kekuasaan, Pemilihan Rektor Pun Seperti Pilkada

Konten Media Partner
3 November 2018 9:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Banyak Kampus Dikelola Kekuasaan, Pemilihan Rektor Pun Seperti Pilkada
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Menristekdikti, Johannes Gunawan, dalam Seminar Kebangsaan yang digelar Pusat Studi Pancasila - Unpar, Bandung. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Pendidikan tinggi atau kampus di Indonesia mendapat kritik tajam. Kampus diharapkan kembali ke khitohnya, yaitu membangun peradaban dan berperan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat.
“Misi pendidikan tinggi adalah mencari, menemukan, menyebarluaskan kebenaran. Pendidikan tinggi harus dikelola berdasarkan kebenaran,” kata Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Menristekdikti, Johannes Gunawan, dalam Seminar Kebangsaan yang digelar Pusat Studi Pancasila - Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Jalan Ciumbuleuit, Bandung, baru-baru ini.
Profesor yang akrab disapa Jogun itu mempertanyakan, apakah saat ini pendidikan tinggi di Indonesia sudah berdasarkan kebenaran? Faktanya, kata dia, pendidikan tinggi banyak dikelola berdasarkan kekuasaan.
Contohnya, kata dia, pengangkatan rektor sebuah pendidikan tinggi tak berbeda dengan pemilihan kepala daerah (pilkada), yakni dipilih dengan pemungutan suara. Sehingga suara terbanyak menjadi rektor. “Apakah itu kebenaran? Apakah mayoritas kebenaran?” tanyanya.
ADVERTISEMENT
Ia juga mensinyalir, pemilihan rektor atau suatu jabatan di pendidikan tinggi rawan politik uang. Hal itu jelas jauh dari sendi kebenaran. Bahkan makin menjauh dari tujuan pendidikan tinggi. Sedangkan tujuan pendidikan tinggi ialah memajukan peradaban dan meningkatkan kesejahteraan sosial.
Saat ini, kampus sibuk mengejar pemeringkatan untuk menuju status world class university. Ia menilai, pemeringkatan itu hanya sebatas rangking yang belum tentu berdampak pada peradaban dan kesejahteraan masyarakat.
Contoh lain, setiap dosen harus menulis di jurnal internasional Scopus. Jogun mempertanyakan korelasi penulisan ilmiah ini dengan peradaban dan kesejahteraan masyarakat.
Maka saat ini Dewan Pendidikan Tinggi Menristekdikti tengah merancang kebijakan agar rangking dan penulisan ilmiah di jurnal ilmiah harus terkait dengan peradaban dan kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Kalau masuk rangking harus mampu membangun peradaban dan kesejahteraan masyarakat. The ultimate gold-nya peradaban dan kesejahteraan. Tujuan pendidikan tinggi harus dikembalikan ke khitohnya, peradaban dan kesejahteraan sosial,” ungkapnya.
Itu dari sisi pendidikan tinggi. Bagaimana dengan dosen? Jogun menjawab, ada budaya yang harus tumbuh di ranah pendidikan termasuk di kampus. Budaya ini adalah pola pikir dan sikap yang harus berdasar kebenaran yang menjadi misi suci pendidikan tinggi.
Bung Karno, tutur Jogun, pada 1920 menulis peran guru di masa pembangunan. Bung Karno mengungkapkan rambu moralitas yang harus menjadi pegangan guru. Bahwa guru/dosen tak bisa mengajar kalau dia mau. Misalnya, guru/dosen tidak bisa mengajarkan keburukan menyontek atau korupsi kalau guru/dosen sendiri biasa menyontek.
ADVERTISEMENT
Menurut Bung Karno, lanjut Jogun, orang hanya bisa diajari sebagaimana dia adanya. “Kalau ajari jangan korupsi, saya (pengajar) jangan korupsi. Kalau harus junjung tinggin kebenaran, saya harus junjung tinggi kebenaran,” katanya.
Dengan kata lain, dosen atau guru harus jadi teladan bagi anak didiknya. Dosen tidak boleh bermain peran atau sandiwara. “Saya dosen hukum mengajari mahasiswa jangan melanggar hukum. Omong kosong kalau saya-nya melanggar hukum,” tandas Guru Besar Fakultas Hukum Unpar ini. (Iman Herdiana)