Catatan Akhir Tahun LBH Bandung: Tolak PLTU Batubara Petani Dikriminalisasi

Konten Media Partner
22 Desember 2018 15:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Catatan Akhir Tahun LBH Bandung: Tolak PLTU Batubara Petani Dikriminalisasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
LBH Bandung
BANDUNG, bandungkiwari – Pembangunan infrastruktur di Jawa Barat diwarnai dengan kriminalisasi pada rakyat kecil buruh tani, seperti dirilis catatan akhir tahun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung.
ADVERTISEMENT
“Ada beberapa kasus yang dihadapi satu tahun ini, pendampingan tetap pada basis-basis petani dan nelayan, beberapa kasus jadi catatan penting bagi LBH sendiri,” kata Lasma Natalia dari Divisi Tanah dan Lingkungan LBH Bandung, dalam paparan Catatan Akhir Tahun di Kaka Café, Jalan Tirtayasa, Bandung, Jumat (21/12/2012).
Kasus pertama, kata Lasma, kriminalisasi tiga buruh tani atau pejuang lingkungan di Indramayu. Kasus ini muncul akibat penolakan warga atas pembangunan PLTU II Indramayu yang dituduh memasang bendera terbalik setelah merayakan kemenangan Gugatan Pembatalan izin pembangunan PLTU II Indramayu 2 x 1000 MW.
Lasma menuturkan, kasus ini bermula pada 2017 ketika awal pembangunan PLTU. Warga terdampak pembangunan yang terdiri dari nelayan dan buruh tani melakukan penolakan. Sebab pembangunan tersebut berdampak pada ruang hidup di mana lahan penghidupan mereka berubah menjadi area PLTU.
ADVERTISEMENT
Pembangunan PLTU juga menimbulkan dampak lingkungan yang akhirnya memengaruhi kondisi pertanian maupun tempat pencaian nelayan. Meski tidak melibatkan partisipasi masyarakat, pihak PLTU justru berhasil mengantongi izin pembangunan.
Lalu pada Desember 2017, warga melakukan gugatan terhadap izin lingkungan PLTU. Warga berhasil memenangkan gugatan.
“Efek dan dampak gugatan itu, warga memenangkan tapi kemudian terjadi kriminalisasi, ada beberapa kasus yang ditangani, pertama ada 3 buruh tani yang ditangkap dan dipenjarakan/dipidanakan karena alasan penodaan terhadap bendera, petani dituduh memasang bendera merah putih terbalik padahal sudah masang benar,” katanya.
Dari kasus itu, LBH Bandung melihat ada upaya pembungkaman organisasi sipil khususnya masyarakat di Indramayu atau petani dan nelayan.
Kasus lainnya terjadi di pada pembangunan PLTU II Cierbon 1 x 1000 MW di mana izin lingkungan yang dikeluarkan berdasarkan Amdal dinilai cacat prosudural dan subtansi serta tidak partisipatif.
ADVERTISEMENT
“Di Cirebon warga melakukan gugatan terhadap pembangunan PLTU. Warga juga memenangkan gugatan di PTUN namun lagi-lagi muncul problem di mana pemerintah tetap memaksakan pembangunan dengan kemudian menerbitkan peraturan PP 13/2017,” katanya.
Sehingga meski gugatan dimenangkan warga, namun izin pembangunan PLTU kembali diterbitkan. Pembangunan tetap berjalan dikarenakan adanya peraturan nasional PP 13/2017.
Adanya peraturan nasional itu, lanjut Lasma, memperlancar pembangunan-pembangunan infrastruktur di Jabar, walaupun menabrak aturan lain yang lebih dulu ada.
Kasus lain ialah penolakan pembangunan pabrik semen di Kabupaten Sukabumi. Warga disulitkan untuk mengakses hak atas informasi IMB. Izin pendirian pabrik juga tidak partisipatif dan berdasarkan Amdal yang cacat prosudural dan subtansi.
“Selama 2 - 3 tahun masyarakat Sukabumi berjuang untuk hanya mendapatkan dokumen izin, tanpa dokumen tersebut masyarakat tak bisa melakukan gugatan. Setelah perjalanan panjang sekarang masyarakat akan menggugat terkait izin lingkungan pabrik semen. Parbik semen ini cukup memberi dampak secara sosial, lingkungan, maupun ekonomi terhadap masyarakat di Sukabumi,” ungkap Lasma.
ADVERTISEMENT
LBH Bandung juga melakukan advokasi terhadap masyarakat Antajaya terkait permasalahan dampak pertambangan hutan yang juga berdampak pada sosial, lingkungan maupun ekonomi.
Tahun ini LBH menangani konsultasi sebanyak 167 Kasus. Kasus yang ditangani oleh LBH Bandung dalam bentuk asistensi dan pendampingan baik yang masih dalam proses penanganan atau yang sudah selesai sampai putusan pengadilan (inkracht) sebanyak 75 kasus. Lima di antaranya kasus lingkungan dan tanah.
Dari kasus lingkungan dan tanah yang ditangani, Lasma menyimpulkan, adanya upaya pengebirian hak konstitusi terkait dengan kepentingan pembangunan nasinal dan ekonomi. “Banyak ruang hidup dirampas dengan alasan pembangunan infrastruktur dan ekonomi,” katanya.
Aturan yang dikeluarkan Pemerintah dinilai melanggar hak-hak ruang hidup dan menerobos aturan yang lebih dulu ada soal perizinan.
ADVERTISEMENT
Sementara pemerintah daerah dinilai sering tidak taat hukum serta melanggar aturan yang ada dengan alasan kepentingan umum, padahal ada ruang hidup masyarakat yang direbut.
LBH Bandung juga mencatat ada pelibatan aparat dalam proses pengawalan dalam pembangunan tersebut. “Kita lihat beberapa kali adanya tindakan represif dari aparat serta pelibatan aparat dalam memperlancar pembangunan yang ada,” katanya. (Iman Herdiana)