Cerita di Balik Tembok Lapas Perempuan Sukamiskin Bandung

Konten Media Partner
12 September 2018 12:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cerita di Balik Tembok Lapas Perempuan Sukamiskin Bandung
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lapas Perempuan Kelas IIA, Sukamiskin, Bandung. (Mega Dwi Anggraeni)
BANDUNG, bandungkiwari - Sriiing… sriiiing… sriiiing... terdengar suara mesin di sudut ruangan berbentuk huruf L. Di dalamnya terdapat sekitar enam perempuan, masing-masing duduk di belakang mesin jahit sembari menekuni jahitannya, di antaranya ada yang menjahit seprai, furing tas, sampai seragam Bhayangkari.
ADVERTISEMENT
Setiap pagi sampai sore, ruangan berbentuk kubus itu diisi para penghuni Lapas Perempuan Kelas IIA, Sukamiskin, Bandung, terutama mereka yang tertarik membuat pola dan menjahit. Biasanya para penjahit berseragam biru muda itu mendapat pesanan jahitan dari luar lapas.
Menjahit merupakan salah satu pembinaan kemandirian yang diberikan lapas untuk para penghuninya. Mereka yang tertarik dan berminat mengembangkan bakat bisa datang ke pos kerja menjahit setiap pagi.
Berbagai alat dan kebutuhan menjahit pun tersedia lengkap di sana. Mulai dari mesin jahit, benang, sampai berbagai bentuk kancing, serta ada lebih dari lima mesin jahit yang bebas digunakan selama jam kerja.
Selain pos kerja menjahit, ada juga pos kerja kecantikan, bentuknya serupa salon-salon di luar lapas hanya saja ukurannya lebih kecil. Ruangan itu hanya mampu menampung tiga kursi, tiga meja rias, dan tiga cermin. Meski begitu, perlengkapan salon dan kecantikannya cukup lengkap, dari gunting dan sisir, pengering rambut sampai perlengkapan mewarnai rambut.
ADVERTISEMENT
Letak pos kerja yang satu itu berada tepat di samping pos kerja menjahit. Siapa pun penghuni lapas yang tertarik 'bermain' dengan berbagai produk kecantikan atau bereksperimen dengan model rambut, bisa berkunjung ke pos ini.
Di samping pos kerja kecantikan, terdapat ruangan yang ukurannya tiga kali lebih luas dengan dindingnya bercat biru muda. Di dalam ruang itu terdapat berbagai lukisan pemandangan, bunga, dan foto keluarga yang menggantung hampir menutupi seluruh dinding. Ini adalah pos kerja lukis.
Ilustrasi melukis (Foto: rawpixel via Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi melukis (Foto: rawpixel via Pixabay)
Warna-warnanya menarik mata: merah, kuning, biru, hijau, dan putih. Pos ini hanya diisi oleh empat orang pada hari itu. Semua larut dalam imajinasi, mata terpaku pada lukisan setengah jadi di hadapan para pelukis berseragam itu. Sesekali kuas di tangan kanan mereka bergerak lambat di atas kanvas, memenuhi setiap sudut dengan warna yang selaras.
ADVERTISEMENT
Keluar dari bangunan tiga pos tersebut dan melintasi lapangan berlantai semen, terdapat pos kerja khusus untuk para penghuni lapas yang suka 'bermain' tanah, air, dan tumbuhan hijau. Lokasinya terletak di belakang salah satu blok kamar. Di sana, berbagai tanaman hias tumbuh subur, beberapa hasil perkebunan seperti terong, jagung, dan tomat pun tampak mulai siap dipanen.
Ada lebih dari sepuluh perempuan penghuni lapas yang bekerja di kebun tersebut. Tanpa memedulikan sinar matahari yang menyengat, mereka tetap asyik mencukil tanah, menanam, menyiram tanaman, dan membersihkan kolam.
Aktivitas itulah yang rutin dilakukan oleh sebagian warga binaan penghuni lapas. Setiap pukul 08.00 WIB mereka mulai keluar kamar, bersiap memasuki pos kerja masing-masing. Mereka baru kembali ke kamar tepat pukul 17.00 WIB.
ADVERTISEMENT
“Di luar aktivitas ini, biasanya kami juga mengadakan pelatihan dengan pihak ketiga,” ucap Kepala Seksi Kegiatan Kerja, Inna Imaniati, kepada Bandung Kiwari di sela kegiatan kerja, beberapa waktu lalu.
Cukup banyak pembinaan kemandirian yang diberikan Lapas Perempuan untuk seluruh warga binaannya. Beberapa juga menyertakan sertifikat untuk para peserta, terutama pelatihan yang digelar pihak ketiga. Harapannya, kata Inna, pelatihan dan sertifikat itu bisa menjadi bekal untuk para narapidana, warga binaan, dan tahanan saat mereka menghirup udara bebas.
Bukan itu saja, lapas juga menyediakan kejar paket A sampai C, khusus untuk para penghuni lapas yang ingin menyelesaikan pendidikannya. Biasanya kelas digelar setiap Selasa, sedangkan ujiannya digelar per semester.
Namun, tidak semua penghuni lapas memiliki kesadaran dan mau berpartisipasi dalam berbagai program pembinaan kemandirian. Inna pun selalu kesulitan mengajak mereka mengikuti kegiatan, padahal hasil seluruh program pembinaan tersebut bisa menjadi nilai jual ketika mereka melamar pekerjaan selepas menjalani masa hukuman.
ADVERTISEMENT
“Mereka kan tinggal duduk manis, dapat ilmu, dapat sertifikat juga. Tapi, ya begitu, susah sekali mengajak mereka,” imbuhnya.
Ilustrasi perempuan menulis (Foto: tanvimalik)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan menulis (Foto: tanvimalik)
Dia menceritakan salah satu peristiwa yang tetap melekat dalam ingatannya. Saat itu, kata dia, salah satu pihak ketiga mengadakan pelatihan shibori yaitu teknik menghias kain ala Jepang. Caranya dengan mengikat kain berwarna putih polos dan mencelupkannya ke adonan pewarna indigo.
Hasil ikatan atau lipatan itulah yang nantinya akan menjadi corak pada kain. Biasanya kain shibori memiliki nilai jual tinggi, terutama ketika sudah menjadi produk fashion.
Penyelenggara kegiatan itu, kisah Inna, meminta pihak lapas mengajak 100 peserta. Tetapi Inna tak mampu memenuhi kuota itu, padahal dia sudah berusaha mengajak seluruh penghuni lapas untuk ikut pelatihan membuat shibori.
ADVERTISEMENT
Inna tentu tidak memiliki hak untuk memaksa para narapidana di lapas tersebut untuk membekali diri dengan keterampilan atau mengikuti seluruh pelatihan. Semua keputusan untuk mengikuti kegiatan itu, kata dia, adalah hak masing-masing narapidana. Walaupun, tentu pihak lapas berupaya mengubah mereka dengan bimbingan kepribadian.
Sebelum mendapatkan bimbingan kemandirian, seluruh narapidana memang wajib mengikuti bimbingan kepribadian. Berbagai kegiatan bimbingan kepribadian diberikan sejak masa pidana hingga setengah masa pidana. Diharapkan, bimbingan itu bisa mengubah mental, pribadi, fisik, dan rohani narapidana itu.
“Kami cuma bisa berusaha semaksimal mungkin supaya saat bebas nanti, mereka bisa menjalani hidup yang lebih baik dan tidak melakukan kesalahan yang sama,” kata Inna.
Kendati demikian, dia tak menutup mata bahwa stigma masyarakat masih membayangi hidup para calon mantan narapidana itu. Stigma itu membuat sebagian mantan narapidana kembali menghabiskan separuh hidup di balik jeruji penjara.
ADVERTISEMENT
Namun, Inna yakin bahwa dengan memiliki kemampuan dan berbagai sertifikat pendukung, maka masih ada perusahaan yang mau menerima karyawan meski menyandang status mantan narapidana. (Mega Dwi Anggraeni)