Dongeng Tukang Buku Bandung, Bertemu Pramoedya hingga Dagang di Instagram

Konten Media Partner
7 Juli 2018 14:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dongeng Tukang Buku Bandung, Bertemu Pramoedya hingga Dagang di Instagram
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kelindan Buku di Unpar, Bandung. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari.com)
BANDUNG, bandungkiwari – Bicara sejarah literasi di Bandung tak lepas dari para pedagang buku. Ada yang bertahan, tak sedikit yang tumbang di tengah banjirnya informasi dewasa ini.
ADVERTISEMENT
Deni Rachman—dikenal Deni Lawang—salah satu pedagang buku di Bandung yang mengisi dongeng perbukuan di Bandung. Deni memilih bertahan dengan bisnis buku-buku klasiknya sambal rajin mencatat peristiwa literasi di Bandung sejak zaman Orde Baru, reformasi, hingga era teknologi kini.
“Disebut dongeng menarik. Kalau disebut kolektor berlebihan,” kata Deni Rachman, saat membuka ceritanya bertema “Bandung, Dongeng Dari Tukang Buku” yang merupakan pertemuan rutin Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage), di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jumat 29 Juni 2018 lalu.
Dengan pendekatan dongeng, ia menceritakan memoar masa kecilnya di Sukabumi, tepatnya di kawasan perkebunan teh, cengkeh, dan karet bernama bernama Sangiang. Perkebunan eks ini terletak di kawasan Palabuhan Ratu Sukabumi, di kaki Gunung Halimun.
ADVERTISEMENT
Di sana cuma ada satu SD Inpres yang diajar tiga orang guru termasuk kepala sekolah. Sedangkan jarak ke SMP yang berada di kota Cisolok, Palabuhanratu, harus ditempuh perjalanan 1-2 jam.
Deni kecil tidak mudah mengakses buku sebagaimana anak-anak lainnya yang tumbuh di zaman rezim otoriter Orde Baru. Akses menuju toko buku cuma ada di pelabuhan yang jarak tempuhnya dua jam itu. Beruntung SD-nya masih memiliki perpustakaan kecil. Perpustakaan ini menyediakan sejumlah buku proyek Orde Baru terbitan Pustaka Jaya, ada juga produk majalah peninggalan Orde Lama, yakni majalah mingguan Si Kuncung—terbit 1956 didirikan Sudjati S.A.
Majalah Si Kuncung berisi cerita petualangan. Anak-anak zaman itu yang membaca majalah Si Kuncung, mengkhayalkan petualangan ala Si Kuncung. Begitu juga Deni dan kawan-kawannya. Terlebih waktu sekolah lebih banyak diisi bermain. “Di sana ada tanah berundak untuk lapangan upacara dan bermain gatrik saat jam istirahat dan satu bangunan kecil perpustakaan,” cerita Deni.
ADVERTISEMENT
Sejak kecil, ia gemar mengumpulkan barang-barang yang dianggapnya menarik. Hobi ini meningkat ketika memasuki SMP di Pelabuhanratu. Sejak itu ia mulai suka perangko. “Dulu saya tak pernah jajan. Uang jajan dibelikan perangko. Kalau ada yang kirim surat ke sekolah saya stop untuk minta prangkonya,” tuturnya.
Ia juga gemar mengoleksi kaset-kaset Iwan Fals yang diwarisi dari ayahnya, salah satunya album “Celoteh Camar Tolol dan Cemar”. “Dari situ bibit protes mulai muncul,” katanya.
Setamat SMP, ia diterima di SMA 1 Bandung. Kegemarannya mengumpulkan perangko semakin terbuka mengingat Bandung gudangnya perangko, yakni di Jalan Cilaki, Jalan Banda, hingga Banceuy. Bandung juga dikenal sebagai gudang buku. Buku tebal dan serius pertama yang ia baca masa SMA ialah “Di Bawah Bendera Revolusi” Jilid 1 yang ditulis Sukarno.
ADVERTISEMENT
Bagi Deni dan anak-anak kampung umumnya, sekolah di Bandung adalah impian. Terlebih masuk ke SMA 1 Bandung yang konon Sutan Syahrir juga belajar di sana.
Dongeng Tukang Buku Bandung, Bertemu Pramoedya hingga Dagang di Instagram (1)
zoom-in-whitePerbesar
Deni Rachman (kanan) di acara “Bandung, Dongeng Dari Tukang Buku” yang digelar dalam pertemuan rutin Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage), di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jumat 29 Juni 2018 lalu. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari.com)
Hobi filatelinya terus berjalan. Lewat perangko ia bisa berkenalan dengan orang-orang di pelbagai penjuru dunia, hal yang kini mudah dilakukan lewat email, Facebook, Instagram, Twitter dan media sosial lainnya.
“Suka perangko nggak jauh dengan Sahabat Pena, sekang mungkin email. Saya dapat link ke daerah Balkan pecahan Yugoslavia. Surat saya disebarkan agen Sahabat Pena di sana, saya sampai dapat surat dari Italia, Kroasia, Meksiko,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Mengirim surat dan saling tukar foto dengan Sahabat Penan di negeri menjadi pengalaman yang mewah. Ia sempat mengirim foto artis Maudi Koesnaedi ke Kroasia, lalu Sahabat Penanya di sana membalas dengan mengirimkan foto bintang porno.
Indonesia kemudian dilanda krisis moneter 1998. Harga-harga melambung tinggi, termasuk harga perangko. Semua orang menjerit. Harga prangko ke Kroasia meroket dari Rp2.000 menjadi Rp15.000. Harga kaset yang awalnya Rp15.000 menjadi Rp30.000 sampai Rp50.000.
Para Sahabat pena sempat menyiasati kenaikan harga perangko dengan saling kirim kartu pos yang harganya lebih murah. Namun mengirim pesan lewat kartu pos berbeda dengan surat. Kartu pos lebih terbuka sehingga mudah dibaca orang lain, berbeda dengan surat yang lebih personal.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, Deni tak lagi melanjutkan surat-menyuratnya ke luar negeri. Ia harus merelakan kehilangan banyak jaringan atau Sahabat Pena. Ketika zaman surat mulai digantikan internet, ia sempat melacak keberadaan Sahabat Penanya melalui Facebook. Tapi mereka tak berjejak.
Krisis moneter juga membuat hobi filatelinya berhenti. Tapi ada hobi baru yang tumbuh sejak reformasi, yaitu buku. Reformasi 1998 melahirkan banjir buku. Buku-buku yang dilarang Orde Baru seakan keluar dari “persembunyiannya”, terutama buku-buku kiri terbitan penerbit Yogyakarta.
Ia mulai menyambangi pusat-pusat perdagangan buku di Bandung, antara lain perpustakaan di Gedung Merdeka, tepatnya di Cikapundung Timur (kini Jalan Sukarno). Di sana para pemburu buku menyalurkan hasrat membacanya, sekalian main ke Alun-alun dan sejumlah lapak buku bekas yang berjejer di Jalan Cikapundung dan Jalan Dewi Sartika. Harga buku bekas waktu itu antara Rp5.000-Rp10.000.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana pemburu buku lainnya, awalnya Deni membeli semua jenis buku, semuanya ingin dibeli dan dimiliki. Belakangan ia sadar, perlu batasan dalam mengoleksi buku. Hal ini terkait dengan perawatan juga. Tidak mudah merawat buku lawas yang memerlukan perlakuan khusus, misalnya perlu ruang dengan suhu 20 derajat.
Salah hal lain yang membuat perlunya pembatasan mengoleksi buku ialah terbatasnya jumlah buku. Ia yakin buku-buku terbitan tahun 40-an ke bawah sudah habis di tangan kolektor. Sehingga sulit untuk mengoleksi buku terbitan tahun tersebut. Berbeda dengan buku terbitan tahun 50-an yang diyakini jumlahnya masih banyak di toko-toko buku bekas seperti Jalan Cikapundung, Dewi Sartika, Palasari, Cihapit dan Pasar Cihaurgeulis (Suci). Maka ia pun memilih mengoleksi buku terbitan tahun 50-an.
ADVERTISEMENT
Kegemarannya pada buku terus berlanjut hingga kuliah. Namun berkat buku juga kuliahnya di jurusan kimia tidak berlangsung lama. Ia tidak puas dengan lingkungan kampus yang enggan mereformasi diri. Setelah reformasi bergulir, menurutnya mahasiswa waktu masih menjalankan praktik yang bertentangan dengan reformasi, antara lain, masih adanya ospek atau perpeloncoan, senioritas juga masih tinggi.
“Saya cabut dari kampus, mulai kenal teman-teman dari dagang buku,” katanya.
Tahun 2000-an, ia mulai bergaul dengan komunitas, salah satunya Toko Buku Kecil (Tobucil) yang menempati Trimatra, Dago. Tobucil memiliki suasana yang nyaman, buku-bukunya disusun di atas rak dari batang pohon. “Buku-bukunya bagus yang tidak ditemukan di zaman Orde Baru, dari kiri, kanan, tengah, bagus semua,” katanya.
ADVERTISEMENT
Tobucil merupakan toko buku alternatif yang banyak menginspirasi para pegiat literasi. Di sana terdapat sejumlah klab baca dan nulis. Deni memilih aktif di Klab Baca Pramoedya yang rutin menggelar membaca bareng-bareng (tadarusan) buku karya Pramoedya Ananta Toer sampai ia turut mendirikan Pramoedya Institute.
Pramoedya Institute pernah bekerja sama dengan harian Radar Bandung untuk membuka rubrik sastra bernama Senandika—nama rubrik sastra yang kini dipakai Tribun Jabar. Selama setahun ia dan kawan-kawan mengisi rubrik sastra di grup Jawa Pos itu, menampilkan karya sastra anak kuliahan sampai yang sudah bekerja.
Kekagumannya pada Pramoedya juga medorongnya bermain ke rumah sastrawan tersebut. Ia sempat bertemu Pramoedya dan keluarganya. Di rumah Pramoedya ia menemukan gunting kusam yang dibalut kain putih, gunting yang biasa dipakai Pramoedya untuk membuat kliping koran. Kliping tersebut kemudian menjadi bahan novel Bumi Manusia yang masyhur itu, juga Arok Dedes.
ADVERTISEMENT
Deni juga menggeluti perdagangan buku secara konvensional. Ia sempat membuka lapak buku di pasar Gasibu. Tahun 2.000-an, Gasibu menjadi salah satu pusat PKL terbesar di Bandung. Sebelum menggelar lapaknya, para PKL harus menunggu ibu-ibu selesai senam pagi.
Jika PKL lain biasa menjual buku-buku agama, Deni justru menyajikan buku-buku sastra, misalnya karya-karya Seno Gumira Ajidarma. Buku sastra tersebut ia dapat dari pasar buku Palasari. Waktu itu sentral-sentral buku di Bandung sedang marak-maraknya sastra “lendir” mengingat isinya yang mengulas konten-konten dewasa.
Dongeng Tukang Buku Bandung, Bertemu Pramoedya hingga Dagang di Instagram (2)
zoom-in-whitePerbesar
Kelindan Buku di Unpar, Bandung. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari.com)
Bisnis Deni mengalami kemajuan yang cukup menjanjikan. Sejak 2001, ia membuka toko buku LawangBuku yang kemudian menjadi LawangBuku Distributor (2004). Namun sekitar 2009, perekonomian Indonesia kembali dilanda krisis yang berimbas pada bisnis buku. LawangBuku dan toko buku lainnya yang menjamur di Bandung, turut terkena handaman badai krisis ini.
ADVERTISEMENT
Beberapa penerbit besar dan kecil, toko-toko buku besar dan alternatif termasuk yang di Yogyakarta, banyak mengalami gulung tikar. Bahkan Gramedia mulai membuat sistem mengencangkan ikat pinggang buat para distributor buku. Sebagai distributor, LawangBuku pun kelimpungan.
“Saya ketika membuat agen literasi Dipan Senja sempat mendata Peta Buku Bandung 2005 ada sekitar 40-an titik komunitas buku, perpustakaan, dan toko buku alternative. Banyak yang tutup dan sebagian menghilang tiada kabar,” katanya.
Dari sekian banyaknya toko buku alternatif di Bandung, tinggal beberapa saja yang bertahan, antara lain Kineruku, Tobucil, dan Ultimus. “Yang lainnya berguguran. Penerbit-penerbit Yogya-Bandung banyak yang tutup,” katanya.
Di luar krisis ekonomi global, manajemen internal menjadi alasan utama penyebab tutupnya usaha buku ini. Deni sempat banting stir mengelola EO dalam bentuk program Kuliah Publik dan beberapa lokakarya pendidikan.
ADVERTISEMENT
Pada 2010 muncul harapan baru seiring kemunculan media sosial Facebook. LawangBuku mulai berdagang secara daring, lalu menyewa kios di Balubur Toserba (Baltos) Bandung. Namun lima tahun berselang, ekonomi global kembali dilanda krisis, kali ini penyebabnya jatuhnya harga minyak dunia.
Gelombang perdagangan yang lesu melanda semua komoditi. Pendapatan LawangBuku melesu sampai akhirnya terpaksa tutup. Sebelumnya, toko Reading Light yang terkenal menyediakan buku-buku antik di Bandung, lebih dulu tutup. Pengumuman tutupnya Reading Light yang dramatis bikin gempar pegiat literasi Bandung.
Namun, ada krisis tak menyurutkan harapan. Munculnya Instagram dan marketplace seperti BukaLapak, Tokopedia, memberi napas baru bagi para penjual buku.
“Respek dari pelanggan dan pemerhati LawangBuku pun sangat istimewa,” kata Deni. “Setelah tutup di Baltos, LawangBuku lalu bermodal gadget. Alhamdulillan di Instagram kini jalan.”
ADVERTISEMENT
Deni juga menerima tawaran kawan-kawannya di kampus untuk mengisi lapak buku, ada juga yang menawarkan tempat untuk kios buku. Akhirnya LawangBuku menerima tawaran dari KKBM Unpar dengan membuka Toko Kelindan Buku (sebelumnya Kelana Buku). LawangBuku sendiri saat ini tetap berdagang secara daring dan di event-event buku.
Selama jatuh bangun sebagai tukang buku, Deni mengaku banyak memetik pelajaran dari pendahulunya. Salah satu pelajaran penting ia dapat dari seorang penjual buku di Pasar Cuci. Pak Dayat, namanya. Dia lulusan UGM yang berjualan buku sambil menjadi editor.
Pak Dayat, cerita Deni, bisa menghabiskan waktu seharian untuk menyusun buku secara tematik. Namun jalan hidup literasi Pak Dayat sangat sulit. “Pak Dayat lebih dari pedagang buku. Hidupnya sangat sulit sampai meninggal dunia,” katanya.
ADVERTISEMENT
Salah satu pelajaran dari Pak Dayat, kata Deni, bahwa kolektor buku harus memulai koleksinya berdasarkan tema. “Tematik ini menjadi pembenaran untuk berhenti membeli buku dengan segara nafsu,” katanya.
Karena itulah Deni kini fokus mengoleksi buku terbitan tahun 40 ke atas, khususnya buku sejarah tentang Bandung. (Iman Herdiana)