Foto: Pementasan 'Monolog Wanodja Soenda'

Konten Media Partner
29 Januari 2020 17:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Maudy Koesnaedi mementaskan tokoh Raden Ayu Lasminingrat dalam 'Monolog Wanodja Soenda' di Bandung, Selasa (28/1). (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)
zoom-in-whitePerbesar
Maudy Koesnaedi mementaskan tokoh Raden Ayu Lasminingrat dalam 'Monolog Wanodja Soenda' di Bandung, Selasa (28/1). (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Pada panggung sederhana di Hotel Savoy Homann Bandung, tiga wanita Sunda yang hidup berpuluh tahun kebelakang hadir kembali, Selasa (28/1) sore itu. Di balik tubuh dibalut kebaya, sanggul yang menghias kepala, diiringi suara khas alat musik Sunda, suara mereka lantang menantang jaman.
ADVERTISEMENT
Semangat perlawanan yang hadir pada era kolonialisme disuguhkan dalam pementasan 'Monolog Wanodja Soenda' yang diselenggarakan The Lodge Foundation bekerjasama dengan Mainteater Bandung.
Sita Nursanti yang menjadi sosok Raden Dewi Sartika dalam 'Monolog Wanodja Soenda' di Bandung, Selasa (28/1). (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)
Pada pementasan itu hadir beberapa sosok wanita Sunda yang telah memberikan sumbangsihnya yang luar biasa kepada bangsa. Ada Raden Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat dan Emma Poeradiredja, yang menghadirkan suasana Bandung era 1930-an. Monolog ini mengisahkan tentang semangat perlawanan dari para wanita Sunda di era Hindia Belanda yang telah berkiprah di bidang politik, pendidikan dan seni budaya.
Rieke Diah Pitaloka memerankan Raden Emma Poeradiredja dalam 'Monolog Wanodja Soenda' di Bandung, Selasa (28/1). (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)
Sebelum pementasan dimulai, Inayah Wahid, yang melakoni tugas sebagai narator menggiring imajinasi penonton pada setiap monolog yang dimainkan. Tidak lama berselang Rieke Diah Pitaloka memulai cerita dengan memerankan Raden Emma Poeradiredja. Kemudian hadir Sita Nursanti yang menjadi sosok Raden Dewi Sartika, terakhir Maudy Koesnaedi yang mementaskan tokoh Raden Ayu Lasminingrat.
Maudy Koesnaedi mementaskan tokoh Raden Ayu Lasminingrat dalam 'Monolog Wanodja Soenda' di Bandung, Selasa (28/1). (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)
Satu demi satu para tokoh itu hadir kembali. Seolah mengingatkan jejak yang hilang ditelan jaman. Panggung yang memanjang dan dibagi menjadi tiga ruang para tokoh itu mulai terisi. Raden Emma Poeradiredja muncul ke permukaan sebagai salah satu pejuang dan tokoh pergerakan perempuan Sunda.
ADVERTISEMENT
Berbagai jalur aktivisme dia geluti, kongres demi kongres dia ikuti demi memperjuangkan hak-hak wanita saat itu. Perjuangan panjang yang ia jalani, mengantarkan ia menjadi perempuan pertama yang duduk di dewan Kota Bandung dan menjadi salah satu dari empat wanita yang terpilih menjadi anggota Dewan Rakyat.
Sita Nursanti yang menjadi sosok Raden Dewi Sartika dalam 'Monolog Wanodja Soenda' di Bandung, Selasa (28/1). (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)
Pun halnya dengan Raden Dewi Sartika. Keprihatinannya melihat kaum wanita yang selalu dipandang rendah di era penjahan Hidia Belanda, membuat Raden Dewi Sartika bertekad untuk mendirikan sekolah bagi para anak-anak perempuan Pasundan. Walau sempat didatangi oleh pemerintah Kolonial Belanda, Dewi Sartika tidak gentar mewujudkan mimpinya untuk memberikan penghidupan yang lebih layak bagi wanita Indonesia terutama wanita Sunda. Sakola Istri di Paseban Wetan Bandung menjadi saksi perjuangan Raden Dewi Sartika sebagai tokoh perintis pendidikan wanita Indonesia.
Rieke Diah Pitaloka memerankan Raden Emma Poeradiredja dalam 'Monolog Wanodja Soenda' di Bandung, Selasa (28/1). (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)
Tidak tertinggal seorang tokoh dari Garut yang mungkin saat ini terlupakan oleh generasi muda yakni Raden Ayu Lasminingrat. Satu sosok inspiratif dengan kemampuan baca tulisnya yang tinggi pada saat itu menyadur berbagai buku barat kedalam Bahasa Sunda. Tentunya untuk menambah wacana keilmuan sekaligus untuk dipelajari wanita di tanah pasundan saat itu.
ADVERTISEMENT
Berbagai karya tulis dan sekolah yang ia dirikan menjadi saksi bisu mengenai jasanya. Lasminingrat adalah tokoh emansipasi wanita pertama di Indonesia. Bahkan beberapa kalangan menyebutnya sebagai ibu literasi.
Maudy Koesnaedi mementaskan tokoh Raden Ayu Lasminingrat dalam 'Monolog Wanodja Soenda' di Bandung, Selasa (28/1). (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)
Pementasan yang sederhana itu tentu hanya kilasan perjalanan para tokoh wanita Sunda yang tidak akan selesai dijelaskan kepada khalayak saat ini hanya dalam durasi puluhan menit. Namun perantara para penulis naskah monolog yakni: Endah Dinda Jenura, Wida Waridah, Zulfa Nasrulloh dan Faisal Syahreza menjadi jembatan yang menghubungkan perjalanan mereka pada penonton saat ini.
Naif memang jika kita selalu menyanjung tokoh dari Barat, sementara tokoh-tokoh lokal yang memberikan kontribusi pada perkembangan bangsa memang selalu terlupakan. Api sejarah memang harus selalu menyala dengan cara apapun termasuk seni teater di dalamnya. Melalui pementasan monolog tersebut kita ditampar dan dipertanyakan ulang, peran setiap individu untuk lingkungan dan lebih luas tentunya untuk negara tercinta. (Agus Bebeng)
ADVERTISEMENT