Hari Pers Dunia, Kekerasan kepada Jurnalis di Jawa Barat Masih Marak

Konten Media Partner
3 Mei 2018 20:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Aksi menolak kekerasan terhadap jurnalis di Bandung, beberapa waktu lalu. (Foto: Iman H/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – 3 Mei menjadi momen penting bagi kebebasan pers (World Press Freedom Day). Lalu, bagaimana dengan kondisi kebebasan pers saat ini?
Di Jawa Barat, kebebasan pers masih menyimpan catatan suram. Kekerasan yang menimpa jurnalis masih marak.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandung mencatat, dalam kurun waktu setahun terakhir, tercapat 11 laporan kasus kekerasan yang menimpa jurnalis.
Ketua AJI Bandung Ari Syahril Ramadhan mengatakan, dari total kasus kekerasan di Jawa Barat, empat kasus terjadi di Kota Bandung. Ari Syahril mengatakan beberapa kasus di antaranya dalam proses hukum.
"Kalau yang masih diproses di polisi seperti di Sumedang, itu kasus intimidasi terhadap jurnalis. Di sana yang waktu itu meliput kasus kekerasan dilakukan oleh masyarakat sudah lapor ke polisi. Tetapi sampai sekarang masih lidik statusnya," kata Ari Syahril Ramadhan di Jalan Batik Jogja, Bandung, Kamis (3/5).
ADVERTISEMENT
Selain itu, tahun ini juga terjadi kekerasan terhadap pers mahasiswa (persma). Kejadiannya di Balai Kota Bandung. Persma tersebut dipukul anggota polisi, gambar foto hasil liputannya diminta dihapus.
Kasus persma, sambung dia, juga masih dalam tahap lidik karena kejadiannya baru dua bulan lalu.
Ari menjelaskan, sebagian besar kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya diselesaikan dengan cara musyawarah dan korban tidak berani melapor ke kepolisian.
Menurutnya, faktor utama terjadinya kekerasan terhadap jurnalis ialah masih kurangnya pemahaman soal Undang-Undang Pers baik oleh kepolisian, tentara, instansi pemerintah, dan kelompok masyarakat.
Namun dari beberapa kasus, terdapat pula kesalahan prosedur saat melakukan peliputan oleh jurnalis. "Seperti tidak memakai Id Card (kartu tanda pengenal) atau tidak memperkenalkan diri sebagai jurnalis," ujar Ari.
ADVERTISEMENT
Namun, Ari menjelaskan soal kesalahan prosedur saat melakukan peliputan oleh jurnalis pada sekarang ini jarang terjadi. Sebab, hampir seluruh kejadian kekerasan yang menimpa jurnalis bukan karena kode etik di lapangan.
Ari berharap, faktor penghambat kebebasan terhadap pers seperti ketidaktahuan instansi pemerintah terhadap Undang-Undang Pers dapat diminimalisir, sehingga tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis yang bertugas.
Kelompok masyarakat juga perlu diedukasi tentang kinerja jurnalis yang dilindungi oleh hukum. “Jurnalis sendiri dituntut agar tetap independen dan beretika saat melaksanakan tugasnya,” kata Ari.
Di sisi lain, Ari juga menyoroti perusahaan media yang seharusnya tidak mencampuradukan kerja redaksi dan bisnis. Hal ini penting karena terkait kerentanan terhadap jurnalis itu sendiri, baik berupa pelanggara kode etik maupun memancing kekerasan.
ADVERTISEMENT
Data yang dihimpun AJI mengungkapkan, kekerasan yang menimpa jurnalis dari 2006 sampai 3 Mei 2018 mencapai 679 kasus. Periode 5 Mei 2017-5 Mei 2018 sebanyak 99 kasus.
Rinciannya, 25 kasus kekerasan terbanyak dilakukan oleh anggota kepolisian, 20 oleh warga, 17 pejabat pemerintah, sembilan kasus dilakukan tentara, delapan kasus oleh ormas serta Satpol PP dan enam kasus oleh kelompok tak dikenal. (Arie Nugraha)