Jaksa KPK Sebut Ada Peran Korporasi dalam Kasus Suap Meikarta

Konten Media Partner
22 Februari 2019 16:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi persidangan. (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi persidangan. (Pixabay)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada peran korporasi dalam kasus suap perizinan proyek Meikarta. Pihak KPK pun menunggu tindak lanjut majelis hakim untuk pengembangannya.
ADVERTISEMENT
Jaksa KPK I Wayan Riana mengungkap proyek tersebut digarap pengembang PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) yang merupakan anak usaha dari PT Lippo Cikarang. Hal ini disampaikan dalam persidangan yang menghadirkan empat terdakwa pemberi suap yakni Billy Sindoro, Henry Jasmen, Fitra Djaja Purnama dan Taryudi, jaksa KPK I Wayan Riana
Dalam surat tuntutan, jaksa menyebutkan tentang kesaksian Ju Kian Salim selama di persidangan. Ia merupakan Town Management PT Lippo Cikarang sejak tahun 2016 dan direktur di PT MSU.
"(Ju Kian Salim) menerangkan pada pokoknya bahwa yang bertanggung jawab terhadap pengeluaran uang terkait dengan Meikarta adalah semua direksi PT Lippo Cikarang dan PT MSU," kata jaksa saat memaarkan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Bandung, Kamis (21/2) malam.
ADVERTISEMENT
Juga disebutkan bahwa PT Lippo Cikarang melalui PT MSU berperan secara bersama-sama dengan para terdakwa tersebut.
Keterangan Ju Kian Salim menurut jaksa sesuai dengan bukti berupa dokumen pengeluaran PT MSU. Bukti pengeluaran uang itu yang diyakini sebagai sumber duit suap.
"Persesuaian keterangan saksi Ju Kian Salim dengan dokumen pengeluaran PT MSU tanggal 14 Juni 2017 tersebut semakin menguatkan bahwa PT Lippo Cikarang melalui PT MSU adalah sumber uang yang diberikan kepada Neneng Hassanah Yasin dan beberapa dinas terkait perizinan Meikarta," kata jaksa.
Jaksa menyebut seluruh pemberian itu berjumlah Rp16,1 miliar dan SGD 270 ribu. Uang itu diberikan ke Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin dan jajarannya di Pemkab Bekasi untuk pengurusan perizinan proyek Meikarta.
ADVERTISEMENT
Dalam tuntutan Jaksa, Billy dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan. Billy diyakini telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara Henry dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan Fitra Djaja dan Taryudi dituntut 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Setelah sidang, I Wayan menjelaskan pihaknya akan menganalisis keterlibatan korporasi dalam kasus Meikarta sekaligus menunggu putusan majelis hakim.
ADVERTISEMENT
"Kalau misalnya majelis memutuskan permintaan kami kan tadi bersama-sama dengan koorporasinya juga. Nanti kalau misalnya diputuskan, kami laporkan ke pimpinan dan nanti ditindak lanjut internal," katanya.
Menurut dia, korporasi tetap diuraikan dalam unsur Pasal 55. "Tadi ada keterangan Ju Kian Salim yang kita kaitkan dengan barang bukti Rp3,5 miliar. Kemungkinan itu kita analisa koorporasi bersama-sama dengan para pelaku. Kita tunggu putusan hakim," ujarnya.
Menurut I Wayan, sebagian besar pemberian itu diberikan setelah izin Meikarta keluar. Pada saat IPPT keluar, proses perizinan diambil alih oleh tim pusat. Ketuanya adalah terdakwa Billy Sindoro yang disebutnya merekrut Henry, Fitra dan Taryudi. "Terdakwa (Billy) ini di belakang layar mengatur pemberian-pemberian ini," katanya. (Ananda Gabriel)
ADVERTISEMENT