Kenangan 20 Tahun Reformasi: Ketika Gedung Sate Diduduki

Konten Media Partner
12 Mei 2018 18:43 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kenangan 20 Tahun Reformasi: Ketika Gedung Sate Diduduki
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Mengenang Reformasi '98 (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)
BANDUNG, bandungkiwari – Gerakan reformasi mahasiswa 1998 sudah 20 tahun berlalu. Setiap Mei momentum reformasi diperingati, dimaknai, bahkan dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Irzal Yanuardi, satu dari ratusan ribu mahasiswa 98 yang turut memaksa Soeharto mundur, menuturkan bagaimana sepenggal gerakan mahasiswa tersebut terjadi di Bandung. Menurutnya, waktu itu kebanyakan mahasiswa masih polos-polosnya, asing dengan politik, masih belajar bagaimana berpolitik, setelah sekian lama kebebasan berpikir dan berekspresi dibelenggu Orde Baru.
“Pada saat itu, sebenarnya ada cita-cita besar terhadap negeri ini. Bahwa Kekuasan yang otoriter yang banyak melakukan penindasan di mana-mana itu memang harus dilawan dengan cara-cara yang cerdas, karena pada saat itu posisi kekuasaan itu memang kuat sekali,” kata Irzal Yanuardi.
Aktivis dari Forum Aktivis Mahasiswa Unisba (Famu) itu berbincang santai mengenai “20 Tahun Reformasi” di Kaka Cafe, Jalan Sultan Tirtayasa, Bandung, awal Mei lalu. Selain Irzal, hadir pula aktivis lainnya, Furqan AMC yang juga dari Famu, Priston Sagala (aktivis 98 GMNI), Budi Yoga (aktivis 98 dari Universitas Parahyangan).
ADVERTISEMENT
Menurut Irzal, di masa Orde Baru berkuasa, sulit membayangkan 5-10 orang berkumpul dan keluar kampus untuk berdemonstrasi. Sebab mereka akan diteror, bahkan nyawa taruhannya. Namun kondisi itu pula yang membuat sebagian mahasiswa keukeuh bergerak.
Sementara pada awal Mei 1998, tanda-tanda kekuasaan Soeharto memasuki masa senjanya sudah mulai terlihat lewat sejumlah aksi represif aparatur negaranya, dalam hal ini kekuatan militer yang mendukung penuh Orde Baru.
Di bulan yang sama, terjadi peristiwa tewasnya Moses Gatotkaca di Yogyakarta. Moses ialah mahasiswa peserta aksi yang menuntut reformasi. Dia tewas karena bentrok dengan aparat yang menghalangi unjukrasa.
Menurut Irzal, peristiwa yang menimpa Moses bersamaan dengan penculikan sejumlah aktivis. Sementara Presiden Soeharto sedang berada di Mesir. Kondisi di dalam negeri semakin sulit dikendalikan sampai meletuslah tragedi Trisakti 12 Mei yang menewaskan Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Empat mahasiswa itu kemudian dianugeragi gelar Pahlawan Reforasi.
ADVERTISEMENT
Tewasnya mahasiswa Trisakti memicu kerusuhan besar di Jakarta 13 - 14 Mei. Gerakan mahasiswa semakin meluas di sejumlah daerah di Indonesia. “Sebelumnya di Bandung itu 12 Mei itu sudah mulai duluan pendudukan DPRD Jabar di Gedung Sate,” katanya. “Setelah tanggal 15 Mei itu mahasiswa di Jakarta benar-benar bisa mengkonsolidasi diri dan akhrinya bisa menjebol gedung DPR/MPR.”
Keberhasilan gerakan mahasiswa dalam menduduki gedung lembaga negara memunculkan kejakinan akan perubahan di negeri ini segera terjadi, yaitu revolusi, meski pada akhirnya terminologi reformasi yang dipakai.
“Nah, di situlah sebenarnya mulai terjadi keyakinan-keyakinan kecil di teman-teman mahasiswa bahwa mungkin inilah titik awal sebuah gerakan revolusi, perubahan besar terjadi di negeri ini. Cita-cita kita sedang mendekati kenyataan,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Gerakan mahasiswa semakin serius merencanakan aksi, mereka mulai bermalam di kampus mereka dengan mendirikan tenda atau posko reformasi. Di saat itu, teror, intimidasi maupun provokasi tidak berhenti.
Irza mengatakan, di musim bermalam di kampus itu mahasiswa banyak isu yang beredar. Isu ini agar menghentikan aksi-aksi mahasiswa. Misalnya, isu kedatangan pasukan tentara dari luar Jawa Barat yang mengambil alih keamanan di Bandung hingga isu penculikan para tokoh yang disebut-sebut pro-reformasi.
“Tapi pada saat itu teman-teman tetap pada keyakinannya bahwa ya ini harus terus berjalan. Dan tak disangka-sangka tanggal 21 Mei Soeharto menyatakan diri mundur, tak ada yang menyangka pada saat itu, siapa pun tak ada yang menyangka,” kata Irzal.
ADVERTISEMENT
“Setelah Soeharto menytakan mundur, beberapa kawan-kawan banyak juga yang histeris, sujud syukur, akhirnya kita bisa menumbangkan juga. Tapi ada sebagian teman-teman yang justru malah waswas, jangan-jangan kita ini gagal, ini titik kegagalan dari yang dicita-citakan,” tambahnya.
Mereka yang waswas dan bertanya-tanya, kata Irzal, merasa mundurnya Presiden Soeharto hanya satu dari sejumlah cita-cita gerakan. Cita-cita yang lebih besar lainnya ialah revolusi, yakni mengganti sistem Orde Baru dengan sistem yang baru. (Iman Herdiana)