Ketika Agama Jadi Kedok untuk Membalas Sakit Hati

Konten Media Partner
25 April 2019 9:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pementasan teater "Hutbah Munggaran di Padjadjaran" oleh Komunitas 7 Damar di gedung Rumentang Siang, Jalan Baranang Siang, Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
zoom-in-whitePerbesar
Pementasan teater "Hutbah Munggaran di Padjadjaran" oleh Komunitas 7 Damar di gedung Rumentang Siang, Jalan Baranang Siang, Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.”
ADVERTISEMENT
Kalimat tersebut pernah Soekarno ucapkan saat pidato peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi pada 1966 lalu.
Sejarah itu pula yang hadir di gedung Rumentang Siang, Jalan Baranang Siang, Bandung, Selasa (23/4), saat Komunitas 7 Damar mementaskan teater yang berjudul "Hutbah Munggaran di Padjadjaran".
Pementasan teater yang berlatar kehidupan masa kerajaan hasil karya Prof. Yus Rusyana yang disutradara Asep Supriatna tersebut menceritakan penyebaran agama Islam di Kerajaan Padjadjaran.
Lakon ini mengisahkan Kéan Santang Aria putra Prabu Siliwangi, yang pulang dari Mekah dan telah memeluk Islam sebagai agamanya.
Konflik berawal dari surat Kéan Santang yang mengajak ayahnya bersama seluruh rakyat untuk memeluk Islam.
Sang Prabu sendiri dalam kenyataannya tidak menghalangi bahkan melarang Kéan Santang memeluk agama baru (Islam). Namun perang sudah tidak bisa dihindari, maka terjadilah perang antara prajurit Padjadjaran dan prajurit Kéan Santang.
Dalam peperangan tersebut Kéan Santang berpesan kepada prajuritnya untuk menaati aturan perang dalam agama Islam. Tidak merusak kota dan membunuh warga sipil.
ADVERTISEMENT
Namun dalam kondisi peperangan selalu menghadirkan manusia yang mencari keuntungan untuk diri sendiri; salah satunya adalah Jaya Antea.
Jaya Antea berada dipihak Kéan Santang, bahkan mengganti namanya menjadi Al-Kowanah untuk mendapatkan tempat di hati Kéan Santang.
Agama dijadikan kedok oleh Jaya Antea untuk membalas kesakitan hati kepada Padjadjaran. Demi kekuasaan politiknya menguasai Padjadjaran dan memperistri Purnamasari.
Tindakan Jaya Antea berhasil memprovokasi prajurit dengan melakukan kerusuhan, pembakaran dan pembunuhan terhadap warga sipil.
Melihat perang di luar aturan agama Islam, Kéan Santang murka dan menghukum Jaya Antea. Bagi Kéan Santang perang harus tetap berlandaskan aturan agama Islam yang dipeluknya.
Meski pada dasarnya perang tersebut bukan perang agama yang terjadi, melainkan terkait urusan kekuasaan. Hal tersebut terkait karena Sang Prabu maupun rakyat Padjadjaran saat itu tidak menolak hadirnya Islam sebagai agama baru di Padjadjaran.
ADVERTISEMENT
Pementasan ini pun diakhiri dengan khutbah Islam perdana di tanah Padjadjaran oleh Kéan Santang yang diikuti masuknya rakyat Padjadjaran ke dalam Islam. (Agus Bebeng)