news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mantan Napi Perempuan: Bebas dari Penjara tapi Masih Terkurung Stigma

Konten Media Partner
15 September 2018 13:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Napi Perempuan: Bebas dari Penjara tapi Masih Terkurung Stigma
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kegiatan narapidana perempuan di Lapas Perempuan Sukamiskin, Bandung. (Mega Dwi Anggraeni)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - “Tidak banyak mantan narapidana yang bekerja di sektor formal, meski statusnya pernah jadi karyawan perusahaan,” ucapan itu muncul dari Iyus Yusup, Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Madya, Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I, Sukamiskin, Bandung.
Ketika menjalani pekerjaan sebagai PK Muda, Iyus kerap berhubungan dengan ratusan klien yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB). Sebagian merupakan perempuan yang berusaha kembali menjalani kehidupan bermasyarakat di luar lapas.
Iyus berusaha membantu seluruh klien termasuk urusan pekerjaan. Membimbing dan mendukung mereka supaya bisa mendapatkan pekerjaan. Namun, sampai saat ini Iyus belum pernah menemukan mantan penghuni lapas perempuan yang bekerja di sektor formal.
Berdasarkan pantauannya, Iyus melihat hampir 50 persen kliennya kembali bekerja di sektor informal. Mereka merintis usaha dari awal. Sementara 40 persen kliennya tak memiliki pekerjaan dan sisanya yang kembali bekerja di sektor formal, itu pun tak bertahan lama.
ADVERTISEMENT
Para mantan narapidana yang kembali bekerja di sektor formal, biasanya pernah menyandang status kerja sebagai karyawan perusahaan. Tindak pidana yang dilakukannya pun bukan kasus narkoba, melainkan penggelapan dan penipuan. Tapi jumlah perempuan yang terjerat kasus tersebut, tak sebanyak kasus narkoba.
Berdasarkan data dari Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA, Bandung dari sekitar 400 narapidana yang ada, 70 persen atau tiga per empat penghuni blok kamarnya merupakan terpidana kasus narkoba. Latar belakang pekerjaannya beragam, tetapi mayoritas adalah perempuan pekerja malam.
Iyus pernah mendapatkan satu klien yang mendapat kesempatan bekerja kembali di bank. Namun, tak lama kemudian perusahaan mengetahui catatan hitamnya. “Setelah itu dia merasa suasana kantor jadi tidak enak, dan memutuskan untuk mengundurkan diri,” lanjut Iyus.
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor utama mantan narapidana perempuan lebih memilih berwirausaha adalah stigma yang melahirkan krisis percaya diri. Meski sebenarnya mereka mengetahui banyak perusahaan yang masih membutuhkan tenaga kerja.
Hampir setiap hari selama empat tahun, Iyus harus mendengarkan kegalauan para klien perempuannya. Tingkat kecemasan mereka meningkat ketika akan mengirimkan lamaran ke sebuah perusahaan. Padahal, mereka sudah cukup memiliki bekal keterampilan yang didapat selama menjalani masa hukuman.
“Aduh, Pak, nanti mereka tahu enggak ya aku pernah tinggal di lapas? Terus nanti gimana, ya?” kata Iyusk meniru salah satu kliennya. Dan pertanyaan itu akan terus berulang hingga akhirnya mereka membatalkan niat untuk melamar pekerjaan.
Pilihan memang selalu ada di tangan kliennya. Jika mereka bisa menjalani kehidupan baru sebagai wiraswasta, Iyus akan mengalihkan fokus perhatiannya kepada klien yang masih menganggur. Dia juga kerap memberikan masukan, dorongan, bahkan memberikan informasi ketika salah satu mitra Bapas membuka lowongan kerja tanpa memandang status mantan narapidana.
ADVERTISEMENT
Satu waktu, ada perusahaan outsourcing menghubungi Bapas. Mereka membutuhkan sejumlah tenaga kerja keamanan. Tentu saja Iyus langsung menghubungi beberapa klien yang dinilai memenuhi syarat. Mendorong mereka untuk memulai kehidupan baru dengan pekerjaan baru. Namun, hingga lowongan pekerjaan ditutup, tak ada satu pun kliennya yang melamar.
“Kadang saya bingung mereka ini maunya apa,” katanya. (Mega Dwi Anggraeni)
Baca tulisan lainnya soal Napi Perempuan di Sukamiskin: Cerita di Balik Tembok Lapas Perempuan Sukamiskin Bandung