Komunitas Literasi Bandung: Razia Buku Razia Peradaban

Konten Media Partner
26 Januari 2019 10:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komunitas Literasi Bandung: Razia Buku Razia Peradaban
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Trotoar Gedung Sate menjadi lapak buku di aksi Kamisan Bandung. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Para pecinta literasi di Bandung yang sehari-hari bergelut dengan buku di ruang-ruang kerja mereka, di kamar, di perpustakaan, dan ruang-ruang diskusi, harus turun ke jalan menyikapi razia yang diikuti penyitaan buku.
Razia yang dilakukan aparat negara di sejumlah toko buku menyesakkan dada pecinta buku. Buku apa pun jenisnya, merupakan hasil kerja intelektual untuk dipelajari dan dibaca, bukan dirazia, disita, apalagi kalau sampai dibakar.
Melalui aksi Kamisan di depan Gedung Sate Bandung, para pecinta literasi itu turun ke jalan. Mereka berorasi, meski tak biasa berorasi, menentang razia dan penyitaan terhadap buku yang membawa dalih tak masuk akal tentang ketakutan akan penyebaran ajaran komunisme atau paham PKI.
Aksi ini diikuti anak muda pegiat literasi dari berbagai komunitas maupun individu, dosen, penulis; juga komunitas Asia Afrika Reading Club, Perpustakaan Jalanan Bandung, Komunitas Ruang Hidup, IPT 1965 Bandung, Perpus Banjaran, Metaruang.
ADVERTISEMENT
Komunitas tersebut merupakan wadah pecinta buku yang otonom dalam melakukan gerakan literasi di Bandung, tanpa dibiayai sepeser pun dari pemerintah.
Komunitas Literasi Bandung: Razia Buku Razia Peradaban  (1)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Kamisan Bandung menolak razia dan penyitaan buku oleh aparat negara. (Iman Herdiana)
Mereka juga menggelar lapak buku di depan gerbang Gedung Sate yang terkunci rapat. Acara diwarnai penampilan musik akustik. Semua rangkaian acara Kamisan tersebut menyuarakan perlawanan terhadap penyitaan buku oleh aparat negara.
Mereka menyuarakan “Terus rawat kewarasan, Lawan pembodohan”, mengusung tagar #LawanPenyitaanBuku #JanganBakarBuku #BukuItuDibacaBukanDisita, dan lain-lain.
“Ini aneh sekali, ini era digital, bukan era mesin tik. Kalaupun buku disita, kita masih bisa mendownload,” kata Wim Tohari Daniealdi, akademisi, yang turut menigkuti aksi Kamisan Bandung, Kamis lalu (24/1/2019).
ADVERTISEMENT
Wim menjadi orator pertama dalam aksi Kamisan yang diikuti puluhan pemuda yang sebagian memakai payung hitam – ciri khas dari aksi Kamisan yang awalnya dilakukan untuk menolak lupa pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir yang dalangnya hingga kini masih berkeliaran.
Sebagai pecinta literasi, Wim mengaku tidak biasa berorasi. Tetapi munculnya razia buku yang bertentangan dengan peningkatan budaya baca yang justru didengungkan pemerintah, membuat Wim merasa terpanggil.
Menurutnya, timbul tenggelamnya suatu peradaban tergantung dari buku. Jika buku disita dan dimusnahkan, akan sulit membangun peradaban. “Setiap peradaban dibangun dari tumpukan buku,” ucapnya.
Di masa lalu, bangsa Mesir memiliki pusat peradaban yang terdata di perpustakaan Alexandria. Ketika perpustakaan ini hancur dan dibakar, hingga kini Mesir tak sanggup lagi bangkit sebagai negara maju.
ADVERTISEMENT
Begitu juga ketika peradaban pindah ke Bagdad, Irak, di mana buku menjadi sumber rujukan utama. Namun ketika Bagdad diserbu bangsa Mongol yang menghancurkan buku dan perpustakaan, kini Bagdad menjadi bagian dari negara yang nyaris gagal.
Peradaban kini berpindah ke barat, Amerika dan Eropa. Mereka berhasil menimba buku dari khasanah timur dan Yunani. Lewat buku mereka bangkit dan dengan buku mereka mencapai peradaban.
“Siapa pun yang menghancurkan buku itu upaya menghancurkan peradaban, menghancurkan umat manusia,” kata Wim.
Lewat penyitaan buku yang dilakukan aparat, negeri semakin menjauh dari peradaban sekaligus mendekati kehancurannya. (Iman Herdiana)