news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

“Lelaki di Tengah Hujan” Ungkap Gerakan Reformasi 98

Konten Media Partner
3 April 2019 17:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bedah novel Sejarah Gerakan Reformasi di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. (Iman Herdiana)
zoom-in-whitePerbesar
Bedah novel Sejarah Gerakan Reformasi di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Sudah banyak buku yang mengulas Reformasi 98 yang ditandai dengan jatuhnya rezim otoriter Orde Baru. Kali ini muncul buku baru yang juga berlatar runtuhnya Soeharto. Hanya saja buku ini berbicara dari sudut pandang fiksi alias novel sejarah, yakni “Lelaki di Tengah Hujan” yang ditulis Wenri Wanhar.
ADVERTISEMENT
Novel dengan subjudul “Novel Sejarah Gerakan Mahasiswa 98” itu mengungkap proses terjadinya gerakan reformasi berdasarkan kisah nyata. Novel ini dibedah di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Rabu (3/4), oleh penulis novel “Dilan” Pidi Baiq, aktivis 98 Bilven Sandalista, Ahmad Syukri (Sekjen SMSI Jabar), Fadel Variza (Ketua BEM FEB Telkom University), Iwan Chandra (aktivis) dengan moderator Yaman Didu.
Wenri mengaku bukan aktivis 98 karena pada tahun tersebut ia masih SMA. Ia lalu menceritakan proses penulisan novel yang diilhami masa kecilnya. Pada tahu 1990 ketika ia masih SD di Krinci, ia mengalami banyak adegan yang mungkin tak dialami masa kini. Saat itu, di pasar, di sawah maupun ladang, orang-orang cenderung menghindari topik soal politik, apalagi membicarakan negara maupun Presiden Soeharto.
ADVERTISEMENT
“Padahal di ladang cuma bertiga, tidak ada lagi orang lain, tapi tetap takut mengkritik negara,” katanya, membuka diskusi bertajuk “Musyawarah Buku Lelaki di Tengah Hujan” itu.
Ketika pindah ke Jakarta tahun 1992, ia juga mendapati pengalaman serupa. Pengalaman itu ia alami di sebuah pondok pesantren NU, salah satu penceramahnya ialah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Di kalangan santri pesantren pun takut jika berbicara mengkritik kebijakan Soeharto. “Seolah tembok ada kupingnya,” katanya, di hadapan hadirin yang memadati diskusi.
Namun ketika 1998, ia menyaksikan sebuah perubahan besar di mana mahasiswa atau para pemuda berani turun ke jalan untuk menuntut penggulingan rezim yang sangat kuat berkuasa dan sangat ditakuti itu.
Mahasiswa menyuarakan tuntutan yang kemudian menjadi amanat reformasi, yakni menuntut Soeharto turun, turunkan harga, dan cabut Dwifungsi ABRI. Wenri pun bertanya-tanya, pasti ada sesuatu yang membuat mereka berani demonstrasi.
ADVERTISEMENT
Ia mulai kuliah di Universitas Bung Karno, Jakarta, pada 1999, setahun pascareformasi. Selama kuliah, ia hidup “nomaden”, pernah tidur di emper bioskop bersama para pengamen, bergaul dengan pengamen, sampai sayup-sayup terdengar soal gerakan para aktivis 98.
Ia berhipotesa, bahwa ternyata reformasi 98 tidak muncul tiba-tiba, tetapi ada orang-orang tertentu yang menggerakkannya. Lewat pergaulannya di jalan, satu-persatu ia mengungkap tokoh-tokoh penting penggerak reformasi, salah satunya Wiji Thukul, penyair yang jadi korban penculikan.
Para tokoh penggerak reformasi itu kemudian masuk ke dalam novel setebal 300 halaman. “Kisah sayup-sayup itulah yang sayah tulis,” kata pria yang juga jurnalis itu. (Iman Herdiana)