Mahfud MD Beberkan Masa Kelam Orde Baru di ITB

Konten Media Partner
24 April 2019 13:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kuliah Umum Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di ITB. (Iman Herdiana)
zoom-in-whitePerbesar
Kuliah Umum Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di ITB. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Mahfud MD, memberikan kuliah umum di Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu (24/4). Dalam kuliahnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini membeberkan sejarah kelam masa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto.
ADVERTISEMENT
Mahfud mengawali kuliah umumnya dengan membahas subtema “ITB Melahirkan Tokoh Kebangsaan”. Ia mengungkap tokoh-tokoh bangsa lulusan ITB, antara lain, Ir Sukarno, BJ Habibie, dan Roeseno sebagai anggota BPUPKI.
Ia menepis opini yang menuding Sukarno sebagai tokoh sekuler. Menurutnya, Sukarno merupakan tokoh dari kalangan muslim yang memiliki pemikiran progresif. Sukarno yang merumuskan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila.
“Ada orang yang mengatakan, Bung Karno itu dari kelompok sekuler. Tidak. Itu Pancasila yang ada sekarang semua dirumuskan Bung Karno,” tegas Mahfud MD.
Hingga saat ini, Pancasila menjadi rujukan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pancasila merupakan kesepakatan berbagai aliran pemikiran atau ideologi yang ada di Indonesia.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bersama anak dan cucunya tiba di TPS 105 Sambilegi Lor, Maguwoharjo, Depok, Kabupaten Sleman, Rabu (17/4). (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
“Indonesia tidak menunjukkan negara agama karena semua agama di sini mendapat perlindungan yang sama. Indonesia melindungi agama-agama,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, kata dia, dalam konstitusi setiap suku agama yang ada di Indonesia diperlakukan sama.
Setelah Sukarno, lanjut Mahfud, Indonesia dipimpin Suharto. Sebagai negara yang lagi membangun, pemerintah Orde Baru yang dikomando Suharto sangat membutuhkan stabilitas.
“Waktu itu Orde Baru perlu stabilitas tetapi berlebihan menggunakan tentara di sudut-sudut kekuasaan, menggunakan intel-intel ke desa-desa,” katanya.
Waktu itu, ia menuturkan, rakyat tidak boleh memiliki pemikiran politik dengan pemerintah Orde Baru. Berbeda sedikit, akan kena sikat. Maka di masa Orde Baru gerakan di kampus-kampus menggeliat, termasuk di ITB. Salah satu gerakan yang terkenal ialah ankatan 77/78 di mana banyak aktivis mahasiswa yang ditahan atau dipenjara karena menentang Orde Baru.
ADVERTISEMENT
“Banyak orang hilang juga,” kata Mahfud. Menurutnya, di era reformasi ada dokumentasi sejumlah aktivis yang hilang karena melawan rezim Orde Baru. Namun sebelum reformasi sudah banyak rakyat yang hilang namun tidak terdokumentasi. “Mahasiswa dibungkam. Aktivis mahasiswa mau jadi PNS tidak bisa kalau dia diketahui aktivis,” tutunya.
Mahfud yang ketika masih mahasiswa aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), juga merasakan gerak-geriknya dibatasi, bahwa aktivis tidak bisa mendapat peran atau susah kerja terutama di birokrasi. Aktivis keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah juga dibatasi.
“Yang ingin berkarier di birokrasi jangan ngaku aktivis. Jangan ngaku NU, dilibas. Muhammadiyah juga dilibas,” katanya.
Orde Baru, lanjut Mahfud, memerintah dengan cara militerisme. Akhirnya rezim ini ditumbangkan lewat cara “operasi caesar” bernama reformasi. Pasca-Suharto lengser, muncul lagi tokoh lulusan ITB, yaitu BJ Habibie. Mahfud menyebut Habibie sebagai penyelamat demokrasi. Saat reformasi 98, Habibie adalah Wakil Presiden RI, wakilnya Suharto.
ADVERTISEMENT
“Ketika Pak Harto jatuh menurut konstitusi Habibie jadi presiden hingga 2003. Sebab 5 tahun jatah presiden, karena saat jadi wapres presidennya jatuh. Tapi Habibie tidak. Katanya, saya akan bangun demokrasi. Meskipun tidak sampai 2003, 1 tahun memerintah, dia memilih presiden baru,” cerita Mahfud.
Sejak itulah demokrasi di Indonesia mulai terbentuk. Indonesia punya kebebasan setelah lama dibungkam Orde Baru. Contohnya kebebasan pers yang bebas mengkritik pemerintah asal tidak berisi fitnah atau hoaks. Jika mengandung fitnah, maka harus dibuktikan di pengadilan.
“Dulu (zaman Orde Baru) tidak pakai pengadilan. Langsung diberangus,” katanya.
Di zaman Orde Baru, lanjut dia, sudah biasa isi surat-surat kabar diblok hitam. “Dulu sering koran dihitamkan. Jadi sebelum beredar, dibawa dulu (untuk disensor), ternyata ada kritik pada Pak Harto, pemerintah, dihitamkan baru boleh beredar. Sekarang tidak. Saudara boleh tulis apa saja, tapi kalau terbukti fitnah terbukti hoaks, ke pengadilan. Itu negara hukum,” katanya. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT