news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mekanisme Pembinaan ABH Dinilai Masih Belum Jelas

Konten Media Partner
30 Agustus 2019 21:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mekanisme Pembinaan ABH Dinilai Masih Belum Jelas
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Tahun 2012 silam, Undang-Undang (UU) Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) muncul dalam UU Nomor 11 Tahun 2012. Mandatori dari UU tersebut adalah anak diambil alih oleh negara untuk dididik dan dibina. Namun, masih ada beberapa hal yang dinilai terlewat dalam aturan tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Staf Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat, Dian Marviana, salah satu kasus yang ditemui oleh PKBI adalah adanya Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang tidak dijemput oleh keluarganya ketika masa hukumannya telah berakhir. Sementara, tidak ada sistem atau regulasi yang mengatur mengenai hal tersebut.
Dian khawatir, tidak adanya mekanisme yang mengatur mengenai layanan sosial usai masa tahanan berpotensi membuat ABH menjadi anak jalanan. "Anak dengan situasi seperti apapun, mekanisme sudah harus siap, supaya dia tidak kembali lagi ke jalanan, tidak kembali lagi melakukan kejahatan," ujar Dian di Bandung, Kamis (29/8).
Dian menyebutkan, SPPA seharusnya menjadi UU yang inklusif. Ketika ABH menjalani pembinaan, langkah selanjutnya mengenai lembaga yang menangani ABH tersebut pun harus jelas.
ADVERTISEMENT
Dian menegaskan, terdapat beberapa kasus yang pada dasarnya dapat diselesaikan secara adat, tanpa harus melalui perantara pengadilan. Namun menurutnya, saat ini terdapat pergeseran budaya dari masyarakat yang menyelesaikan permasalahan secara musyawarah menjadi mudah membawa permasalahan ke ranah hukum.
Menurut Dian, dampak dari proses hukum yang dijalani oleh anak akan sangat besar. Salah satunya adalah adanya intimidasi saat proses penangkapan, penyelidikan, serta penahanan. Keadaan akan menjadi berbeda ketika di suatu daerah memiliki tokoh masyarakat yang dapat menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan dan musyawarah.
"Mandat SPPA harusnya ke sana. Bagaimana kasus-kasus kenakalan atau kejahatan sebisa mungkin itu bisa dilakukan diversi," ungkap Dian.
Selain itu, masih adanya proses pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) untuk anak di bawah umur juga dinilai tidak sejalan dengan SPPA. "Di satu sisi negara ingin melindungi anaknya, tapi di satu sisi ada bagian negara yang melanggengkan diskriminasi terhadap anak," tutur Dian.
ADVERTISEMENT
Masih adanya SKCK ini menjadikan ABH harus menanggung beban mantan napi seumur hidup. Dian menambahkan, ketika ABH sudah dibina, maka ia bisa dipulihkan kembali hak dan martabatnya. "Kalau anak perspektif kita korban, apapun yang dia kerjakan anak ini korban," tegas Dian.
Dian pun meminta agar diskriminasi atau marjinalisasi terhadap anak ABH dihilangkan. Salah satunya dengan menerima kembali ABH yang telah selesai menjalani masa pembinaan. Hal ini dapat membantu anak untuk kembali bangkit dan bergaul dengan lingkungan sekitarnya. "Jangan ada lagi label-label negatif," tandas Dian. Menurut Dian, dengan diskriminasi ataupun label negatif, kecenderungan anak untuk melakukan tindakan kriminal justru semakin tinggi.
Berdasarkan data Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sekitar 60 persen kasus yang ada di LPKA terkait dengan pasal perlindungan anak, yaitu pelecehan, pemerkosaan, sodomi, ataupun kegiatan pacaran yang terlewat batas. Sehingga, dalam hal ini pendidikan seksualitas secara formal dinilai penting untuk mencegah kasus-kasus tersebut terjadi. Mengingat pendidikan secara formal cenderung lebih masif.
ADVERTISEMENT
PKBI dalam melakukan tugasnya pun memastikan bahwa LPKA telah ramah anak sesuai dengan mandatori dari SPPA, dalam hal ini turut melakukan kegiatan serta monitoring. Selain itu, PKBI juga melakukan proses pendampingan di keluarga asal. "Antara hulunya di LPKA pembinaan dengan hilirnya di keluarga, penerimaan sosial itu harus nyambung," tegas Dian. (Assyifa)