Menyiasati Pemanasan Global dengan Kebun Kopi Organik

Konten Media Partner
15 Februari 2020 19:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu kopi dengan proses pengeringan natural {Mega Dwi Anggraeni)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu kopi dengan proses pengeringan natural {Mega Dwi Anggraeni)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
BANDUNG, bandungkiwari - Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA, menyimpulkan 2016 merupakan tahun terpanas sepanjang 137 tahun terakhir. Sementara BMKG mencatat, 2016 merupakan tahun terpanas dinilai dari Anomali Suhu Udara Terhadap Normal pada rentang waktu 1981 hingga 2010.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut juga berdampak pada perkebunan kopi. Paling tidak, itulah yang dirasakan Erwin, petani kopi di Kampung Palintang, Desa Panjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung.
Akibat cuaca ekstrem pada tahun 2016, ribuan bakal buah kopinya berguguran setelah diterjang hujan deras berhari-hari. Alih-alih dapat satu ton biji merah seperti biasa, dari 1.400 pohon kopinya dia hanya mendapatkan 80 kilogram.
Seperti ratusan petani kopi di Jawa Barat, Erwin memilih merawat kebunnya secara sederhana. Sejak mulai menggarap kebun kopinya pada 2014 lalu, dia hanya memanfaatkan pupuk kandang dari peternakan kerabat dan saudaranya.
“Sisanya hanya menggantungkan harapan pada kebaikan alam,” imbuhnya.
Menurut Erwin, alam juga yang membuat hasil panennya tidak pernah stabil setiap tahun. Meski begitu, dia tidak berniat mengubah pola perawatannya, demi meningkatkan dan menstabilkan hasil kebunnya.
ADVERTISEMENT
Erwin mengaku, tidak mampu jika harus menghabiskan sebagian besar waktunya di kebun. Selain bertani dia juga membuka jasa roasting untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sampai saat ini Erwin juga sudah memiliki pasar sendiri, meski tidak dalam jumlah besar.
Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS Provinsi Jawa Barat pada 2018 lalu, luas lahan perkebunan kopi rakyat mencapai lebih dari 33 ribu hektar, tersebar di 18 kabupaten dan sembilan kota. Dengan total jumlah produksi mencapai sekitar 17 ribu ton. Namun, merujuk laman resmi Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, jumlah tersebut belum mencapai target yang diharapkan.
Pada 2017 lalu, Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) menyebutkan hingga 10 tahun mendatang, produksi kopi di Indonesia ditargetkan mencapai 900 ribu ton hingga 1,2 juta ton per tahun. Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar nasional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
Untuk mendukung kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI meluncurkan Program ‘Pengembangan 1.000 Desa Pertanian Organik’ pada tahun 2015 lalu. Salah satu target dari program ini adalah mengorganikkan tanaman perkebunan kopi di beberapa provinsi, termasuk Jawa Barat. Program tersebut diharapkan mampu meningkatkan mutu kopi, memperbaiki lahan kritis, serta meningkatkan kesejahteraan petani.
Koordinator Fungsional Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) dan Pendamping Desa Organik, UPTD-Balai Perlindungan Perkebunan, Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, Maria Wulan Purwiji Putri mengatakan, ada delapan kelompok tani dari delapan desa di enam kabupaten yang tercatat sebagai peserta program.
Selama empat tahun sejak 2016 lalu, para peserta mendapatkan berbagai pelatihan. Mulai dari bagaiman menyiapkan dokumen sistimutu hingga pendampingan untuk sertifikasi organik.
ADVERTISEMENT
Menurut Wulan, hasil dari pelatihan itu sudah berbuah manis. Dia bahkan mengklaim pohon kopi dari desa organik bisa lebih tahan terhadap perubahan iklim. Apalagi buah yang dihasilkan pun sehat, jumlahnya lebih banyak, dan juga bertambah setiap tahun.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2019 jumlah produksi kopi organik dari delapan kabupaten di Jawa Barat mencapai angka lebih dari 47 ton, meningkat berlipat ganda dari tahun 2017.
Wulan memprediksi jumlah tersebut bahkan akan meningkat lagi pada tahun berikutnya, lantaran para peserta berencana memperluas perawatan secara organik. Apalagi, lanjutnya, pemerintah juga berencana menambah jumlah peserta program di tahun 2020.
“Sekarang satu pohon sudah bisa menghasilkan 5 kg kopi, lho. Karena kita sudah membuat ekosistemnya stabil,” terang Wulan.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya peningkatan jumlah, ditambah sertifikasi organik SNI dan EU dari Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) PT I-skol Agridaya Internasional, Wulan melanjutkan, pembeli pun mulai berdatangan. Terutama dari pasar Eropa dan Asia, salah satunya Korea.
Tahun 2019, pembeli dari negeri Ginseng itu memborong tiga ton kopi Gunung Halu dari salah satu peserta di Kabupaten Bandung Barat, yaitu Kelompok Tani KSM Preanger Specialty. Hanya saja, belum semuanya kopi organik karena masih terbatasnya lahan.
Salah satu syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan untuk pengembangan desa organik berbasis komoditas perkebunan tersebut, peserta harus punya hamparan pohon kopi di lahan seluas 15 hektar. Namun, sebagai langkah awal pengembangan dilakukan di lahan seluas dua hektar atau sekitar 2.000 pohon kopi.
ADVERTISEMENT
“Kelompok tani ini juga sudah mendapat pesanan 10 ton kopi organik untuk dikirim ke Eropa tahun 2020. Jadi untuk sementara tidak bisa memenuhi pasar lokal,” kata Wulan. (Mega Dwi Anggraeni)