Menyuarakan Disabilitas Lewat Realitas Maya

Konten Media Partner
15 November 2019 13:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menyuarakan Disabilitas Lewat Realitas Maya
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Advokasi mengenai isu disabilitas bisa ditempuh dengan berbagai cara, antara lain dengan memanfaatkan teknologi digital. Inilah yang dilakukan oleh Forum Film Dokumenter (FFD) melalui program 'The Feelings of Reality' yang didukung oleh Voice Global. Program ini mengadvokasi isu disabilitas melalui penelitian serta produksi film dokumenter dengan menggunakan medium virtual reality (realitas maya).
ADVERTISEMENT
"Kita membayangkan dengan hadirnya dokumenter ini, terlebih kita mengangkat isu disabilitas, kita ingin audience juga merasakan dan seolah-olah menjadi subjek di dalam film ini. That's why we called it 'The Feelings of Reality'," ujar Project Officer FFD, Alwan Brilian, di Bandung, Kamis (14/11).
Menurut Alwan, pemilihan isu disabilitas dipicu oleh beberapa film dokumenter di FFD sebelumnya. "Secara tidak langsung memicu dan menyadarkan kita, bahwa ada beberapa orang penyandang disabilitas, tetapi tidak mendapatkan perlakuan yang setara dengan orang lain," tuturnya.
Penelitian dan produksi film dokumenter ini dilakukan di empat wilayah di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, dan Sumbawa. "Empat wilayah ini punya cara dan pola tersendiri untuk menanggapi atau memfasilitasi teman-teman disabilitas," ujar Alwan.
ADVERTISEMENT
Alwan mencontohkan Jakarta, sebagai Ibukota Indonesia. Meski dikenal sebagai kota metropolitan, di kota itu masih banyak penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan haknya sebagaimana orang lain.
Begitu pula di kota atau kabupaten lain. Apalagi struktur sosial yang ada di beberapa daerah justru memunculkan stigma negatif terhadap penyandang disabilitas.
"Jadi sangat penting (isu disabilitas) dan komplekslah pokoknya. Enggak bisa kemudian menyetarakan yang terjadi di Jakarta, Bandung, Sumbawa, ataupun Jawa Tengah. Jadi, memang perlu ada sesuatu hal yang lebih kontekstual dengan area-area tertentu," jelasnya.
Isu disabilitas ini pun diangkat menjadi film dokumenter dengan menggunakan teknologi VR. "Kita punya asumsi yang sangat kuat, bahwa dengan kita menggunakan VR, mungkin engagement antara penonton dengan film akan lebih dekat," kata Alwan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Alwan mengaku, bahwa tujuan dari program ini masih di permukaan dalam menangani isu disabilitas, yaitu keinginan untuk memberikan realitas yang berbeda kepada penonton sebagai titik awal memberikan wawasan mengenai tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam kesehariannya, yaitu dengan menggunakan film dokumenter VR.
Ke depannya advokasi lebih lanjut pun diharapkan dapat terus dilakukan. Alwan menuturkan, berdasarkan diskusi-diskusi yang ada nantinya akan didapatkan kerangka mengenai respon masyarakat mengenai isu disabilitas yang diangkat melalui film dokumenter dengan teknologi VR. Dengan begitu, bisa dirumuskan langkah advokasi selanjutnya.
"Kami berharap besar sebenarnya, ketika mengadakan pertemuan seperti ini, ada beberapa stakeholder yang memang tertarik dengan program ini. Jadi, kita sangat terbantu untuk mendistribusikan dan secara enggak langsung menjadi proses advokasi yang cukup efektif. Karena teman-teman di sini lebih tahu keadaan kotanya dan wacana disabilitasnya seperti apa," katanya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, diharapkan akan semakin banyak filmmaker yang melakukan produksi film dokumenter dengan tema disabilitas. FFD pun bisa menjadi organisasi inklusif. "Tidak menutup kemungkinan, kita menginklusifkan orang lain, tapi kita juga secara reflektif menginklusifkan organisasi ini," ujarnya. (Assyifa)