Mitos Kolonial Hantui Pembangunan Bandung Akibat Lemahnya Perencanaan

Konten Media Partner
12 Desember 2018 15:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mitos Kolonial Hantui Pembangunan Bandung Akibat Lemahnya Perencanaan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kota Bandung saat malam hari. (Iman Herdiana)
BANDUNG, bandungkiwari – Pembangunan kawasan Bandung masih jauh dari merata. Terdapat kesenjangan antara utara dan selatan. Sementara perencanaan tata kota dinilai sudah lama alfa.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari perbedaan wilayah administrasi, bandingkan saja kota madya Bandung dari Kilometer Nol di Jalan Asia-Afrika antara utara dan selatan. Kawasan utara tampak lebih bersih, suhunya relatif lebih sejuk dibandingkan dengan kawasan selatan. Utara Bandung juga dipandang lebih modern dan hal nyaman lainnya. Sedangkan selatan dipandang panas, kotor dan citra negatif lainnya.
Pemerhati lingkungan dari kelompok riset Cekungan Bandung, T Bachtiar menilai, ketimpangan tersebut tak lepas dari alpanya suatu perencanaan pembangunan kota. Kota yang dibangun tanpa perencanaan matang hanya akan menimbulkan ketimpangan serius.
Ketimpangan tersebut sampai memunculkan mitos bahwa dahulu kala utara Bandung khusus ditinggali warga Eropa atau kolonial dan selatan Bandung untuk pribumi. T Bachtiar justru menilai mitos ini muncul karena lemahnya perencanaan pembangunan yang tak terjadi sejak Indonesia merdeka.
ADVERTISEMENT
“Memandang utara untuk kolonial dan selatan untuk pribumi, itu mindsetnya masih zaman kolonial. Harus diubah,” kata T Bachtiar yang juga pegiat komunitas Geotrek ini, dalam diskusi film “Sejarah Bandung Utara dan Bandung Selatan” di Galeri Soemardja ITB, baru-baru ini.
“Tidak terencananya pembangunan pascakemerdekaan menurut saya karena ketidakmampuan saja. Tidak mampu para perencana untuk membuat rencana,” lanjutnya.
Ia mengungkapkan sejumlah fakta untuk membantah mitos tersebut, antara lain, sejak zaman kolonial pemandian Cibolang di selatan Bandung sudah terkenal di level internasional.
Selain itu, saudagar Karel Albert Rudolf Bosscha juga membangun perkebunan di Bandung selatan, tepatnya di Pangalengan. Kini perkebunan teh tersebut menjadi PT. Perkebunan Nusantara VIII. Bosscha yang mendirikan observatorium di Lembang, juga membangun jalan sebagai akses perkebunan dari Banjaran sampai Pangalengan. Jalan itu kemudian bisa dipakai oleh warga selatan hingga kini sebagaimana Observatorium Bosscha yang kini menjadi pusat studi astronomi ITB.
ADVERTISEMENT
“Jadi hanya mitos saja yang setelah merdeka orang-orang tak mampu buat perencanaan membangun selatan untuk kolonial utara untuk Belanda. Coba kalau membangun dengan perencanaan,” katanya.
Saat ini, pembangunan di Kota Bandung memang mengarah ke timur dan selatan seiring munculnya megaproyek nasional kereta cepat dan infrastruktur lainnya. Bahkan kawasan Gedebage sudah mulai dibangun perumahan elit dan sejumlah apartemen.
Namun T Bachtiar tetap tidak melihat sistem perencanaan yang serius. Pembangunan yang terjadi lebih memakai pendekatan bisnis. Misalnya, pembangunan mal di perbatasan selatan Bandung orientasinya murni bisnis.
Dengan adanya mal di pinggiran kota tujuannya untuk merangkul warga di pinggiran kota itu sekaligus warga kabupaten. Bagi pengusaha, membangun di pinggiran kota juga menguntungkan karena masih masuk wilayah kota. Produknya masih tetap menjual. Sedangkan bagi pemerintah kota, masih bisa menarik pajak dari mereka.
ADVERTISEMENT
Tak adanya perencanaan matang dapat dilihat dari pembangunan sistem drainase. Padahal, banjir merupakan momok bagi warga di selatan Bandung atau warga yang tinggal di dataran paling rendah.
Seharusnya drainase yang dibangun berbanding terbalik dengan sistem sawah. Rumus saluran air sawah: besar, sedang, kecil. Maka jika tanah tadinya sawah berubah jadi perumahan maka rumus saluran airnya menjadi: besar, lebih besar dan lebih besar lagi mengingat volume air yang jatuh pun lebih besar.
T Bachtiar tidak melihat pembangunan drainase baik di Bandung timur maupun di selatan. Pembangun saluran air justru dilakukan belakangan setelah bangunan jadi. Pembangunan tidak bercermin pada sistem perencanaan zaman Belanda di mana pembangunan drainase dibuat sejak awal, misalnya selain membangun saluran air juga memanfaatkan ruang-ruang terbuka sebagai taman sekaligus resapan air.
ADVERTISEMENT
Peninggalan kolonial yang hingga kini masih berdiri di Bandung ialah Taman Maluku, Taman Ganesa, Taman Lalu Lintas. Selain sebagai fasilitas publik, taman tersebut berfungsi sebagai resapan air.
Masih zaman kolonial, tutur T Bachtiar, ketika Mas Aksan akan membangun pemancingan, maka disusunlah perencanaan mulai dari posisi danau, akses menuju danau, pembuangan air. Jadilah Situ Aksan yang legendaris itu dan kini tinggal nama karena sudah berubah menjadi hunian dan pertokoan.
“Jadi ada perencanaan. Sehingga orang yang mau ke Situ Aksan bisa dari berbagai arah dan tidak macet. Sekarang membangun pusat keramaian tidak dirancang jalannya dan selalu bikin macet,” katanya.
Ketika pemerintah alfa dalam melakukan perencanaan, di sisi lain masyarakat pun bebas melakukan pembangunan. Masyarakat yang punya tanah, dengan mudahnya membangun rumah, kos-kosan, toko dan seterusnya tanpa memerhatikan masalah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Rumah yang tidak memiliki akses jalan seperti yang dialami warga Ujungberung yang beritanya sempat heboh beberapa bulan belakangan ini, hanya satu kasus saja akibat membabibutanya pembangunan. Belum lagi kemacetan lau lintas.
Contoh kekinian bisa dilihat di Jalan Jajaway atau Dago Giri. Daerah ini merupakan tujuan wisata sekaligus jalan pintas menuju daerah wisata Lembang. Di sepanjang jalan banyak berdiri vila, café dan restoran. Namun lebar jalan tak berubah. Kemacetan pun tak terhindari terutama di musim liburan.
“Lihat kalau Sabtu-Minggu, berapa polutan di sana, berapa ribu liter bensin terbuang di sana, jadi ketika kita semakin hidup semakin peduli lingkunan, hal seperti itu semestinya menjadi langkah nyata. Dan tidak mungkin pribadi, tapi negara yang harus turun tangan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Jika negara turun tangan, rakyat bisa diajak berunding untuk merancang perencanaan bersama. Rakyat pasti mau mengorbankan sebagian tanahnya demi melebarkan jalan, misalnya, tentunya dengan pendekatan persuasif. “Jadi ada perencanaan versi rakyat. Rumahnya akan indah. Menghadap gang bukang membelakangi gang, misalnya,” katanya.
Dengan perencanaan tata ruang yang serius, tak akan ada gang sempit yang gelap dan kumuh, tidak ada saluran air yang tidak jelas di mana hulu dan hilirnya, tidak ada jalan sempit yang macet parah, dan seterusnya. (Iman Herdiana)