Pemberantasan Korupsi Tidak Signifikan jika Sekadar Tangkap Tangan

Konten Media Partner
25 April 2018 18:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemberantasan Korupsi Tidak Signifikan jika Sekadar Tangkap Tangan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam Kuliah Umum Pendidikan Atikorupsi di ITB. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – KPK sudah berdiri selama 15 tahun. Namun selama itu, pemberantasan korupsi di Indonesia belum signifikan.
“KPK bukan sekadar nangkap orang, itu tidak signifikan. KPK berdiri 2003, dampak KPK pelan sekali,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam Kuliah Umum Pendidikan Atikorupsi di ITB, Jalan Ganeca, Bandung, Rabu (25/4/2018).
Menurutnya, agar pemberantasan korupsi di Indonesia efektif, diperlukan gerakan bersama masyarakat Indonesia, yaitu melalui rekayasa sosial yang memuat pendidikan antikorupsi.
Agus membuka kuliah umum yang dihadiri ratusan mahasiswa itu dengan pemutaran video pendek tentang anak-anak di Jepang yang diajari cara menyeberang jalan. Menurut Agus, anak-anak di Jepang sudah diajari bagaimana bersikap di ruang publik.
Artinya, pendidikan disiplin, tertib di ruang publik, sikap antikorupsi sudah ditanamkan sejak usia dini. Bahkan di Jepang, syarat bagi anak masuk ke sekolah dasar ialah mampu membedakan mana barang milik orang lain dan mana barang milik diri sendiri.
ADVERTISEMENT
“Tidak boleh menghamburkan kapur karena kapur milik sekolah, milik publik,” katanya.
Ketua KPK, Agus Rahardjo. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK, Agus Rahardjo. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Menurutnya, Indonesia harus banyak mengambil contoh dari negara-negara maju yang sudah melakukan rekayasa sosial untuk membasmi korupsi dari akarnya.
Misalnya pemberantasan korupsi di Singapura jauh lebih maju dari Indonesia. KPK Singapura menangani kasus korupsi yang dilakukan masyarakat atau swasta. Sementara KPK di Indonesia hanya menangani korupsi terkait keuangan negara.
“KPK Singapura menangani 90 persen masalah korupsi di masyarakat,” katanya.
Contohnya, seorang guru bimbel menerima bingkisan dari muridnya. Sedangkan guru bimbel tersebut mengajar murid tersebut di sekolah. Ini sudah termasuk konflik kepentingan, seharusnya guru tersebut tidak menerima bingkisan dari si murid.
Contoh lain masih di Singapura, seorang penjual ikan mendatangi sejumlah restoran untuk menjual ikan. Tapi dalam praktiknya, si penjual ikan itu memberikan duit kepada restoran yang mau membeli ikannya..
ADVERTISEMENT
Baik kasus guru maupun penjual ikan, tutur Agus, juga sama-sama ditangani KPK Singapura. Beda dengan KPK di Indonesia, di mana hanya kasus di atas 1 miliar saja yang ditangani, kecuali tangkap tangan.
Peran orang tua juga penting dalam melakukan rekayasa sosial, misalnya dengan tidak memberikan kendaraan kepada anak yang belum cukup umur. Kata Agus, anak belum dewasa diberikan kendaraan cenderung akan melanggar.
Hal itu nantinya akan berpengaruh ketika anak tersebut memasuki usia dewasa di mana dia akan terbiasa melanggar lalu lintas.
“Rekayasa sosial seperti ini yang perlu kita lakukan, saya bukan ahlinya, tugas pakar ilmu sosial yang bisa melakukannya,” katanya.
Ia juga menyoroti acara-acara di televisi yang cenderung menampilkan kemewahan, bagi-bagi hadiah. Acara tersebut menurutnya tidak mendidik karena mendorong gaya hidup instan. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT