Pohon Buku di Bandung, Ada yang Tumbang Ada Juga yang Bertahan

Konten Media Partner
5 Desember 2018 9:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pohon Buku di Bandung, Ada yang Tumbang Ada Juga yang Bertahan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Bedah buku "Pohon Buku di Bandung, Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009" yang ditulis aktivis literasi sekaligus pedagang LawangBuku, Deni Rachman (kanan), dengan moderator Andrenaline Katarsis (kiri), mantan pegiat Toko Buku Das Mutterland. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Sejarah literasi di Bandung punya catatan panjang. Akar sejarahnya membentang sejak masa kolonial. Kemudian bergulir hingga kini. Dalam perjalanan tersebut, pohon buku di Bandung mengalami pasang surut, pernah tumbuh subur, tapi kemudian tak sedikit yang tumbang.
Rekaman sejarah literasi di Bandung itu dicatat dalam buku "Pohon Buku di Bandung, Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009" yang ditulis Deni Rachman, aktivis literasi Bandung sekaligus pedagang LawangBuku.
Dikutip dari sinopsisnya, sebagaimana judulnya buku ini membuka kembali lembaran pergerakan perbukuan di Bandung pada periode tahun 2000-2009 ketika pergerakan perbukuan digairahkan toko-toko buku alternatif berbasis komunitas literasi.
Dalam rentang waktu tersebut, marak sekali diskusi, pertemuan para penulis-toko buku-pembeli, beragam lokakarya perbukuan, hingga akhirnya kemudian banyak toko buku yang gulung tikar.
ADVERTISEMENT
Mengambil analogi sebuah pohon, masa tanam hampir satu dasawarsa perbukuan masa itu dimulai dengan "kultur tanah dan akar" literasi pasca-reformasi 98. Bertumbuhnya toko-toko dan kantong literasi didukung kebebasan berkumpul dan kemerdekaan mencari informasi, meski dalam rentang waktu tersebut tercederai dengan satu peristiwa pembubaran secara sepihak diskusi di salah satu toko buku.
“Pohon akan tumbuh kalau ada tanah. Dalam perbukuan tanah itu ialah kultur tempat persemaian biji, lalu tumbuh akar, kemudian dahan, ranting, daun. Saya harap pohon buku jangan ditebang, biarkan tumbuh dengan sendirinya,” kata Deni Rachman di sela peluncuran bukunya di Soemardja Book Fair 2018, Galeri Soemardja ITB, Bandung, Selasa (4/12/2018).
Menurutnya, kultur literasi di Bandung sudah tumbuh sejak zaman kolonial Belanda dan terus tumbuh pasca-kemerdekaan. Di masa Orde Baru, kultur menanam pohon buku tak berlangsung mulus, banyak buku yang dibredel terutama buku yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan rezim penguasa.
ADVERTISEMENT
Lalu pasca-reformasi, sejarah perbukuan di Bandung menemukan babak baru yang disebut Deni akar baru. Deni sendiri mulai berjualan buku pada 2000-an. Di tahun ini ia menyimak berbagai peristiwa literasi.
Menurutnya, ada dua kultur yang turut mendukung penyemaian bibit-bibit pohon buku di Bandung. Pertama seni dan budaya, dan kedua pergerakan aktivis prodemokrasi yang bermuara di kampus-kampus. Baik kultur budaya maupun prodemokrasi, melahirkan komunitas-komunitas literasi.
Lewat buku yang diterbitkan MenaraApi dan Oleh-oleh Boekoe Bandung, Deni melacak komunitas-komunitas literasi di Bandung berikut tokoh-tokohnya. Siapa saja mereka, buku yang ditulis selama 4 tahun ini menyajikan jawabannya. (Iman Herdiana)