Rumah Cemara: Keterlibatan Aparat dalam Bisnis Narkoba Tidak Mengejutkan

Konten Media Partner
6 Juni 2018 22:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumah Cemara: Keterlibatan Aparat dalam Bisnis Narkoba Tidak Mengejutkan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Penahanan Muchlis Adjie, Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Kelas II Kalianda, oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung (30/5/2018) lalu, memperpanjang daftar aparat yang terlibat dalam bisnis narkoba. Muclish disangka menerima transfer uang dari narapidana yang mengendalikan peredaran narkoba di lembaga yang dipimpinnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya (3/5/2018), delapan personel Polres Sukabumi diringkus Satuan Reserse Narkoba Polda Jawa Barat karena menggelapkan barang bukti sabu yang disita dalam penggerebekan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Mereka menyembunyikan sebagian sabu sitaan tersebut di berbagai tempat, antara lain di toilet kantor dan rumah dinas. Dalihnya untuk keperluan dinas dan untuk diberikan ke informan.
Direktur Rumah Cemara Aditia Taslim mengatakan, apa pun alasannya, keterlibatan aparat dalam bisnis narkoba tidak bisa dibenarkan. Mereka digaji dari uang rakyat untuk menegakkan hukum.
Menurutnya, dalam urusan narkoba di Indonesia, hukumnya adalah UU Narkotika di mana memiliki dan mengedarkan narkoba tertentu merupakan tindak pidana. Namun, pemidanaan telah membawa narkoba ke dalam skema pasar gelap.
“Bisnis gelap komoditas ini menjadi sangat menguntungkan karena bahan baku dan harga jual ditentukan semena-mena oleh para pemasoknya,” kata Aditia Taslim, melalui siaran pers yang diterima Bandungkiwari.com, Rabu (6/6/2018).
ADVERTISEMENT
“Peristiwa keterlibatan aparat dalam kasus narkoba bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Rumah Cemara sehari-hari bergelut dalam program penanggulangan narkoba dan mengetahui banyak cerita soal keterlibatan aparat. Modus-modus yang sebenarnya sudah banyak pula diketahui publik,” tambahnya.
Komunitas advokasi korban narkoba dan HIV/Aids tersebut mengungkapkan, dua tahun lalu anggaran Badan Narkotika Nasional (BNN) telah meningkat dari Rp700-an miliar pada 2011 menjadi Rp1,4 trilun pada 2015.
Kenaikan anggaran tersebut dinilai tidak efektif menurunkan jumlah konsumen narkoba yang menjadi penghuni narapidana selama periode tersebut. Tiap tahun, rata-rata 20 ribuan konsumen menjadi terpidana kasus narkoba dengan kisaran 20.420 konsumen pada 2011 dan tertinggi 28.606 konsumen pada 2014.
Dari segi pemberantasan peredaran narkoba, lanjut dia, kenaikan anggaran tersebut juga tidak efektif. Pada 2013, aparat hanya berhasil menyita rata-rata 4,85% ganja, heroin, sabu, dan pil ekstasi yang diperkirakan beredar di Indonesia pada tahun tersebut. Angkanya turun jadi 1,46% pada 2014.
ADVERTISEMENT
“Artinya, pendekatan pidana yang dikenal sebagai ‘perang terhadap narkoba’ gagal mencegah lebih dari 95% narkoba yang diperkirakan beredar di tanah air tiap tahunnya,” kata dia.
Ironisnya, sambung dia, belakangan kerap diungkap peredaran narkoba yang dikendalikan dari dalam lapas. Menurutnya, Budi Waseso, mantan Kepala BNN, bahkan mengatakan kalau modus tersebut sudah kronis.
“BNN mencatat, lebih dari 90% jaringan bisnis narkoba yang diungkap sepanjang 2017 melibatkan lapas,” sebutnya.
Selain itu, kata dia, mengendalikan sebuah bisnis dari balik terali penjara tentu membutuhkan keterlibatan aparat. Setidaknya para pelaku menguasai alat untuk berkomunikasi dengan jaringannya di luar penjara. Sementara, alat komunikasi seperti ponsel dilarang dalam lapas maupun rumah tahanan negara.
Sementara Manajer Program Rumah Cemara, Ardhany Suryadarma, menambahkan selama narkoba masih menjadi komoditas pasar gelap, maka akan ada oknum aparat yang mengambil keuntungan pribadi dari bisnis haram tersebut.
ADVERTISEMENT
Ia mengungkap laporan US General Accounting Office pada 1998 mengenai korupsi anggota kepolisian yang berkaitan dengan narkoba di Amerika menyatakan, setidaknya terdapat enam tindak kejahatan polisi dalam pemidanaan narkoba.
Hal itu meliputi, melakukan penggeledahan dan penangkapan secara inkonstitusional, mencuri uang dan/ atau narkoba dari pengedar, menjual narkoba hasil sitaan, melindungi bisnis gelap narkoba, memberikan kesaksian palsu, dan membuat berita acara pemeriksaan yang tidak benar.
Ardhany menegaskan, negara justru harus mengambil alih pengelolaan narkoba dari pasar gelap. “Saat dikelola negara, oknum dan mafia narkoba tidak lagi bisa mengambil keuntungan dari komoditas ini,” tegasnya. (Iman Herdiana)