Sejarah Hari Braille Sedunia di Tengah Ancaman Teknologi

Konten Media Partner
4 Januari 2019 12:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejarah Hari Braille Sedunia di Tengah Ancaman Teknologi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pelajaran menulis huruf braille di Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
BANDUNG, bandungkiwari - Titik yang berkerumun dan terdesak logam itu menjelma menjadi huruf. Melambangkan kata dan melahirkan kalimat sebagai pengganti kekerdilan cahaya suka maupun duka kehidupan sekelompok masyarakat yang terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Titik yang bergumul dalam kertas khusus itu hadir menjadi penutur untuk masyarakat disabilitas netra dengan nama braille. Sesuai sang penemunya Louis Braille yang dilahirkan pada 4 Januari 1809 di Coupvray, sebuah kota kecil di dekat Paris, Prancis.
Menengok tapal batas sejarah, kehadiran huruf braille tentu tidak akan lepas dari sosok perjalanan lelaki bernama Louis Braille yang lahir pada 4 Januari 1809. Di mana kini setiap 4 Januari diperingati seluruh masyarakat disabilitas netra dunia sebagai hari braille, hasil jerih payah dan semangat yang menggebu Organisasi Persatuan Tunanetra Dunia (World Blind Union).
Dalam lintasan sejarah Louis kecil senang bermain di bengkel sepatu milik ayahnya, Simon Rene Braille dan ibunya, Monique. Keriaannya di bengkel itu berakhir saat dirinya mengalami kecelakaan pada usia 4 tahun. Saat Jara, alat pelubang kulit berbahan logam, secara tak sengaja melukai sebelah matanya. Upaya pengobatan tidak berhasil sampai mengakibatkan infeksi di sebelah matanya terus menjalar menyebabkan kebutaan total pada kedua matanya.
Sejarah Hari Braille Sedunia di Tengah Ancaman Teknologi  (1)
zoom-in-whitePerbesar
Sejak mengalami kebutaan total, didaftarkan di sebuah sekolah khusus penyandang tuna netra di Paris. Louis yang cerdas mendapat mentor bernama Kapten Charles Barbier yang mengajarinya berkomunikasi secara efektif melalui metode ‘Night Writing’. Sebuah metode penulisan yang biasanya digunakan dalam operasi militer, tetapi diajarkan kepada mereka yang kehilangan penglihatan.
ADVERTISEMENT
Louis yang cerdas melakukan perubahan pada metode ‘Night Writing’ dengan menemukan metode enam titik yang banyak diajarkan kepada para penyandang tuna netra di seluruh dunia yang disebut dengan Braille Alphabet. Atas penemuan inilah yang menghantarkannya menjadi seorang guru besar dan musisi berbakat.
Pada 1834, Louis mulai mengajar di Institusi Kerajaan Perancis dan pada 1839, dirinya dipercaya sebagai organis di Gereja St Nicolas des Champs dan Gereja St Vincent de Paul. Namun dunia akhirnya harus kehilangan Louis Braille yang meninggal pada 6 Januari 1852 di usia 43 tahun.
Sejarah Hari Braille Sedunia di Tengah Ancaman Teknologi  (2)
zoom-in-whitePerbesar
"Sebenarnya Louis Braille memodifikasi sandi yang diajarkan Charles Barbier yang biasa digunakan untuk berperang. Penyempurnaan tulisan tersebut pada akhirnya disebut tulisan braille untuk mengenang jasa beliau," ucap Yayat Ruhiyat seorang pengajar sekaligus pengurus di Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI).
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya menurut Yayat, tulisan braille sampai ke Indonesia pada awal abad ke-20 oleh Dr. Westhoff pada 1901 di Bandung. Westhoff sendiri selain mengajarkan braille, juga mendirikan Blinden Institut, sebuah lembaga tunanetra yang kini bernama Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna.
Sementara itu menurut Suhendar dari Forum Tunanetra Menggugat, perkembangan braille di lingkungan disabilitas netra saat ini sangat mengkhawatirkan. Hal tersebut disebabkan karena hadirnya teknologi informasi yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas netra.
“Akhirnya mereka lebih tertarik untuk mengakses internet daripada membaca. Bayangkan saja dengan uang 10 ribu kita bisa menjelajah dunia dan mendownload apa pun. Sementara untuk beli buku braille uang 10 ribu tidak jadi apa-apa,” ungkapnya.
Sejarah Hari Braille Sedunia di Tengah Ancaman Teknologi  (3)
zoom-in-whitePerbesar
Perkembangan teknologi informasi yang menyerbu dari empat penjuru mata angin, menurut Suhendar bisa dimaklumi karena kondisi zaman. Namun menurutnya hal terpenting bahkan menjadi kewajiban utama seorang tunanetra adalah mampu membaca dan menulis braille.
ADVERTISEMENT
Suhendar sendiri mengkhawatirkan keberadaan braille di lingkungan tunanetra, yang kurang mendapat respons, karena terbentur pula penurunan membaca dan menulis tunanetra akan braille. Hal tersebut acapkali dirinya alami ketika mengajar atau membuat tugas sekolah. Banyak siswa tunanetra enggan menulis dengan braille, umumnya meminta tugas dikerjakan menggunakan piranti gawai.
“Jika terus mengalami penurunan membaca dan menulis, kemungkinan 20 atau 30 tahun mendatang braille justru akan punah,” tegasnya.
Senada dengan pernyataan tersebut, Yayat menjelaskan penurunan kemampuan membaca dan menulis siswa tunanetra dirinya alami sendiri ketika mengajar. Banyak faktor yang memengaruhi penurunan kemampuan tersebut, seperti kebijakan lembaga pendidikan tunanetra, bergesernya perkembangan audio, ataupun mentalitas para tunanetra itu sendiri.
“Beberapa waktu kebelakang saya membaca artikel, yang menjelaskan hanya dibawah 10 persen bisa membaca dan menulis. Maka tidak memungkin jika braille karena tidak ada yang menggunakannya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh Yayat menyikapi hal penurunan kemampuan itu terjadi karena tidak hadirnya budaya membaca maupun menulis di kalangan tunanetra sendiri. Sementara untuk memelajari huruf braille sendiri memerlukan ketekukan yang memerlukan waktu lama. Mencakup kemampuan intelegensi, kepekaan jari, dan terpenting adalah motivasi menggunakannya.
Sementara itu Elda Fahmi Nurtaufik, siswa Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Wyata Guna Bandung menyatakan, di lingkungannya minat membaca braille masih terus hadir dalam keseharian rekannya. Meski tidak dipungkiri dewasa ini teman-temannya sesama tunanetra banyak menggunakan teknologi internet untuk beragam keperluan.
“Braille tidak selalu terpakai setiap hari, tapi braille penting untuk eksistenti tunanetra itu sendiri,” ucap atlit Judo berusia 19 tahun ini.
Dalam lingkungan asrama menurutnya, beberapa rekan masih sering membaca dan menulis braille karena tuntutan sekolah yang mewajibkan mereka menguasai braille. Namun Elda sendiri berharap ruang di luar kampus mampu menyediakan sudut braille untuk kepentingan disabilitas netra.
Sejarah Hari Braille Sedunia di Tengah Ancaman Teknologi  (4)
zoom-in-whitePerbesar
“Beberapa perpustakaan di kota Bandung saja masih banyak yang tidak menyediakan buku-buku braille. Selain itu hanya beberapa tempat yang menyediakan sudut braille untuk kita. Seperti museum Asia Afrika,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Harapan Elda tentu mewakili harapan berjuta penyandang disabilitas netra lainnya, yang menginginkan kemudahan dalam melakoni ritual keseharian. Ruang publik sampai saat ini masih belum ramah terhadap kawan disabilitas netra. Lihat saja halte bus, terminal, kafe, rumah sakit, gedung dinas apalagi jalanan seolah tidak mengenal dengan huruf braille.
Sementara lebih dari seratus tahun lalu Louis Braille telah mengenalkan tulisan ini ke belahan dunia. Bahkan sejak kolonialisme Belanda pada abad ke-20 oleh Dr. Westhoff telah mengenalkannya dan mendirikan Blinden Institut yang pertama di Asia Tenggara.
Lalu akankah huruf Braille ini perlahan punah dan menjadi sejarah, ketika gawai membunuhnya secara perlahan? Tentu tidak selama lembaga pendidikan dan sahabat netra mampu menjadikan braille sebagai pintu menuju pengetahuan tentang hidup, cinta, dunia, bahkan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Bukankah Louis Braille pernah berkata “Braille adalah pengetahuan, dan pengetahuan adalah kekuatan.” Merci monsieur Louis Braille untuk warisanmu yang abadi. (Agus Bebeng)