Seminggu, 4 Mahasiswa di Bandung Mengeluh Depresi

Konten Media Partner
9 Maret 2019 17:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi. (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. (Pixabay)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Fenomena bunuh diri yang dilakukan mahasiswa dinilai sudah menjadi masalah mendesak. Kampus atau perguruan tinggi diminta melakukan pencegahan dini dengan cara deteksi dini masalah kejiwaan sejak seleksi masuk perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Dokter spesialis kejiwaan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Teddy Hidayat., dr., SpKJ (K) mengungkapkan data kasar betapa seriusnya masalah kesehatan jiwa yang dihadapi mahasiswa dapat dilihat dari laporan rumah sakit.
Dalam seminggu, kata Teddy, ada 3 sampai 4 mahasiswa yang mengeluhkan depresi dan memiliki ide bunuh diri. Jadi ia memperkirakan, mahasiswa yang stres maupun depresi jumlahnya bisa sangat banyak.
“Dalam seminggu di satu rumah sakit ada 3-4, mereka mengeluh dan punya ide bunuh diri, banyak sekali bukan hanya ke saya, tapi ke rumah sakit jiwa yang ada semua mengeluh,” tutur dokter spesialis kejiwaan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Teddy Hidayat., dr., SpKJ (K), saat dihubungi Bandungkiwari.com, Sabtu (9/3).
ADVERTISEMENT
Mahasiswa yang menyampaikan keluhan tersebut berasal dari berbagai perguruan tinggi termasuk kampus ternama di Bandung. Itu baru satu rumah sakit. “Tapi kan rumah sakit tidak cuma 1,” kata psikiater yang aktif memberikan konsultasi pada pasien ketergantungan narkoba.
Ia pun menyimpulkan kasus bunuh diri yang dilakukan mahasiswa sebagai bagian dari fenomena gunung es, tampak kecil di permukaan, tapi ke bawahnya besar. “Tinggal tunggu waktu saja, nanti bisa terjadi lagi, terjadi lagi, kalau tidak diatasi,” katanya.
Baca Juga:
Maka ia menyarankan agar berbagai pihak terutama kampus untuk melakukan pencegahan atau deteksi dini terhadap mahasiswa yang memiliki masalah kejiwaan seperti stres dan depresi. Deteksi dini sebaiknya dilakukan pada saat penerimaan mahasiswa baru.
ADVERTISEMENT
“Pada waktu seleksi, kita lakukan cari mahasiswa yang bagus-bagus (kondisi kejiwaannya), kalau yang sudah masuk (kuliah), kita lakukan inervensi,” terangnya.
Menurutnya, selama ini seleksi mahasiswa dilakukan dari aspek kognitif (kecerdasan), tanpa mempertimbangkan aspek emosi atau kejiwaan. Tes kognitif meliputi tes akademik atau pelajaran.
Padahal manusia terdiri dari aspek kognitif dan emosi atau mental. Manusia juga makhluk sosial. Setiap manusia memiliki kepribadian dan berpotensi menghadapi masalah kejiwaan. Masalah inilah yang selama ini diabaikan dan tidak terdeteksi.
Sedangkan dunia kampus bagi mahasiswa baru adalah transisi antara sekolah (SMA) dan kuliah. Di perguruan tinggi mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungan akademis dan psikosoialnya.
Kondisi tersebut menurut Teddy sebagai masa rawan. “Yang bisa, akan jalan, yang tak bisa akan mundur, lalu berlanjut ke depresi, terancam DO, akhirnya bunuh diri. Prosesnya seperti itu karena tak ada upaya pencegahan,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Ia menegaskan, melakukan deteksi masalah kejiwaan pada saat seleksi mahasiswa baru bukan soal susah. Hal ini bisa dilakukan jika ada kemauan dari pihak kampus. “Soal mahal itu relaif, sekarang kan masuk perguruan tinggi bayar, terus kita punya BPJS. Jadi masalah teknis gampang,” katanya.
Saran lain, ia menekankan agar layanan konseling kampus dioptimalkan untuk melakukan pencegahan dan deteksi dini. Jika menemukan mahasiswa yang dinilai memiliki masalah kejiwaan, maka sebaiknya segera dilakukan penanganan.
Indikatornya bisa dilihat dari nilai akademik, apakah ada penurunan atau tidak, kemudian mahasiswa yang terancam DO, dan masalah lainnya.
Ia meminta pihak kampus tidak berperan sebagai pemadam kebakaran yang bertindak ketika kebakaran terjadi.
“Kampus kalau punya masalah mahasiswanya harusnya dibuka, kalau ada masalah kita tangani, kita bantu mereka untuk melakukan pencegahan,” katanya. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT