Silsilah Badak Putih dan Punahnya Nama-nama Lokal di Bandung

Konten Media Partner
7 Januari 2019 12:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Silsilah Badak Putih dan Punahnya Nama-nama Lokal di Bandung
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Patung badak putih di Balai Kota Bandung, Jalan Merdeka. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Taman Balai Kota Bandung menjadi salah satu tujuan menarik untuk wisata pedestrian. Di taman ini terdapat patung badak berwarna putih. Pendirian patung hewan pemalu yang nyaris punah itu tentu ada alasannya.
Menurut pakar dari kelompok riset cekungan Bandung, T Bachtiar, dahulu Bandung memang menjadi habitat badak dan hewan liar lainnya seperti harimau, macan, dan lain-lain. Itu terjadi ketika cekungan Bandung masih berupa danau purba.
Adanya patung badak juga sebagai petanda bahwa hewan soliter tersebut pernah mendiami Bandung.
“Pada awal abad ke-19 habitat badak di Jawa Barat mulai dari Tasikmalaya, Bandung, mereka berkelana sampai punggung gunung, misalnya ke Gunung Gede Pangrango, Bogor. Di sana terdapat tempat bernama Kandang Badak,” katanya, di Bandung, baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
Nama tempat Kandang Badak di Bogor muncul sejak zaman Belanda. Waktu itu, kawasan yang sering dijadikan tempat petualang badak menarik minat penelitian orang Belanda. Mereka mendirikan kandang badak untuk penelitian badak. Selanjutnya, daerah tersebut dinamai kendang badak.
Nama tempat yang mengacu pada badak di Bandung ialah rumah sakit Rancabadak. Namun kini nama rumah sakit tersebut berubah nama menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Pada 1990-an, rumah sakit pusat rujukan di Jawa Barat itu masih dikenal rumah sakit Rancabadak.
T Bachtiar menjelaskan, ranca badak adalah tempat berkubang atau mandi badak. Ranca sendiri berasal dari bahasa Sunda yang artinya rawa. “Agar tubuhnya tak luntur atau dihinggapi lalat dan nyamuk, badak biasanya berkubang,” kata T Bachtiar.
ADVERTISEMENT
Nah, zaman baheula, ada kepercayaan bahwa mendirikan perkampungan atau perumahan sebaiknya didirikan di tempat badak putih berkubang. T Bachtiar mengaku tidak mengetahui keberadaan badak berwarna putih. Namun seperti diketahui, lumpur yang menempel di tubuh akan berwarna putih jika mengering terjemur matahari. Begitu pula lumpur yang menempel di tubuhn badak.
Maka jika kepercayaan lokal tersebut disambungkan dengan patung badak putih di Taman Balai Kota, jadi nyambung.
Posisi patung badak putih di Taman Balai Kota menghadap Jalan Merdeka dan Taman Vanda di samping Bank Indonesia. Badak putih tersebut berada di tengah kolam. Di zaman Belanda, Taman Balai Kota bernama Pieters Park, kemudian pernah berubah nama jadi Taman Merdeka.
T Bachtiar mengatakan, di Bandung jika di telusuri ada banyak sekali lokasi yang kerap dijadikan badak berkubang yang kini dijadikan pemukiman. Biasanya, bekas badak berkubang dipakai pusat pemerintahkan, misalnya kantor kecamatan.
ADVERTISEMENT
Kuncen Bandung Haryoto Kunto dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto (PT Granesia 1985) menuturkan, pada 1866, setengah abad sejak Kota Bandung didirikan setelah pindah dari Dayeuhkolot yang kini masuk wilayah Kabupaten Bandung, orang masih melihat kawanan badak yang berkeliaran di daerah Cisitu, beberapa ratus meter dari sebelah utara Kampus Institut Teknologi Bandung.
Dalam buku legendaris itu, Haryoto juga mengisahkan bagaimana pembangunan Bandung masa itu sering terhalang kawanan hewan buas seperti harimau dan macan tutul, juga badak.
Mengenai penamaan tempat oleh tokoh-tokoh di masa lalu, T Bachtiar punya pendapat menarik. Menurutnya, tokok di masa lalu biasa menamai suatu tempat dengan istilah lokal atau mengacu pada sejarah geologi maupun sosial seperti Kandang Badak di Bogor, Rancabadak. Jika tempat tersebut sering longsor, maka dinamai Ciurug (urug artinya longsor).
ADVERTISEMENT
Di kawasan Bandung sendiri banyak nama yang berawalan ranca, misalnya Rancaekek, Rancabolang, Rancacili, yang jika dilacak sejarahnya kawasan tersebut dulunya adalah ranca atau rawa. Sehingga penamaan tersebut memiliki makna geologis.
Namun T Bachtiar melihat penamaan tempat di masa kekinian banyak yang tidak lagi mengacu pada sejarah sosial dan geologisnya. Misalnya Gedung Creative Hub, Cikapundung Riverspot, dan lain-lain yang dinilai tak memiliki sejarah.
Padahal penamaan tempat yang mengacu pada sejarah sangatlah penting. Contoh konkretnya dalam membuat struktur bangunan. Jika tahu tempat itu dulunya rawa, maka struktur bangunan yang harus dibangun tentu perlu memperhitungkan kondisi tanah yang labil atau rentan amblas. (Iman Herdiana)