Sudahkah Bandung Transparan?

Konten Media Partner
19 November 2018 22:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sudahkah Bandung Transparan?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Lebih dari 20 jurnalis dari berbagai media di Kota Bandung mengikuti Lokakarya Jurnalisme Data yang diselenggarakan oleh AJI Bandung bekerja sama dengan Open Data Labs Jakarta dan World Bank, Oktober lalu. (Foto: Rana Akbari Fitriawan)
ADVERTISEMENT
LEBIH dari dua puluh orang jurnalis dari berbagai media di Kota Bandung tampak serius siang itu. Sebagian dari kening mereka tampak mengkerut, mencoba mencerna paparan pemateri yang sedang berbicara di depan. Sebagian lain tampak berdiskusi dengan teman di sampingnya yang asyik memelototi layar laptop. Sesekali terdengar canda dari mulut mereka untuk meredakan ketegangan.
Selama dua hari berturut-turut, para jurnalis dari berbagai media cetak, daring, dan elektronik ini mengikuti pelatihan jurnalisme data yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung bekerja sama dengan Open Data Labs Jakarta dan World Bank, pertengahan Oktober lalu. Untuk berbagi kemampuan dengan mereka, turut hadir para trainer dalam kegiatan ini antara lain dari Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (JARING) M Kholikul Alim dan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kes Tuturoong.
ADVERTISEMENT
Awalnya, para peserta agak lambat mencerna materi pengolahan data yang menggunakan aplikasi Microsoft Excel. Maklum, meski setiap hari akrab dengan piranti lunak beserta ‘perkakasnya’ untuk kepentingan pencarian, pengolahan, dan pendistribusian berita, tidak banyak jurnalis yang memanfaatkan data angka-angka yang bisa dikuantifikasikan menjadi laporan siap saji. Namun suasana menjadi menarik saat mereka mulai berlatih mengambil data dari laman Bandung Integrated Resources Management System (BIRMS).
BIRMS ini merupakan sistem birokrasi terintegrasi secara teknologi informasi yang diluncurkan pada akhir tahun 2013 oleh Ridwan Kamil, yang saat itu masih menjabat Walikota Bandung. Impian orang nomor satu di Kota Bandung itu cukup ideal: melalui BIRMS semua kegiatan birokrasi di Kota Bandung akan terintegrasi, termasuk sistem lelang pengadaan barang dan jasa. Teknisnya akan jadi lebih terbuka dan terkontrol karena semua sistemnya terkoneksi secara online.
ADVERTISEMENT
Kepada media, saat itu Ridwan Kamil berjanji akan mengoptimalkan pelayanan Pemkot Bandung kepada masyarakat, terutama yang menyangkut pelayanan publik. Sistem yang diklaim asli buatan putra Kota Bandung itu akan mengkoneksi seluruh perencanaan hingga penyerapan anggaran yang akan diketahui secara transparan oleh publik. Dengan begitu, pelayanan yang dirasakan masyakarat Kota Bandung akan semakin mudah, efektif dan transparan.
Namun, setelah hampir lima tahun sejak sistem ini diluncurkan, apakah mimpi itu sudah menjadi nyata? Apakah Bandung sudah transparan dan begitu terbuka sehingga semua orang bisa memelototinya secara telanjang data?
Ternyata temuan para jurnalis tidak semanis itu. Paling tidak, saat melakukan simulasi pengolahan data dengan menggunakan data unduhan dari laman BIRMS, para jurnalis menemukan sejumlah kejanggalan. Pada menu “Publik Dashboard” misalnya, sub menu “Pengumuman Pemenang Pengadaan Langsung/Penunjukan Langsung melalui e-kontrak”, jurnalis tidak bisa mengakses tombol “2016 dan tahun sebelumnya”. jika tombol itu diklik, maka di layar komputer akan muncul tulisan “Not Found”.
ADVERTISEMENT
Itu baru masalah teknis. Belum lagi proses pengadaan sendiri yang ternyata tidak “tersentuh“ oleh sistem BIRMS. Temuan para jurnalis memunculkan asumsi kuat bahwa masih banyak peluang bagi aparat di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menerima ajuan pengadaan barang dan jasa yang bisa memainkan peran atau tindakan curang. Maka muncullah beragam pertanyaan bagi pemerintah kota tentang program keterbukaan ini: Siapa saja yang dilibatkan dalam proses pengadaan, misalnya, atau pertanyaan: Sejauh mana pemerintah kota melakukan cek dan ricek terhadap perusahaan yang mengajukan pengadaan.
Keterbukaan adalah keniscayaan Merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat, Pemerintah memang harus tanggap terhadap perubahan dan kebutuhan warganya. Meminjam konsep Global Village (Desa Global) yang diramalkan Marshall McLuhan hampir 60 tahun lalu yang mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. Tak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, berbasiskan pada teknologi internet.
Sudahkah Bandung Transparan? (1)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: istimewa)
ADVERTISEMENT
Pada kondisi inilah seluruh institusi termasuk tentu saja pemerintah beserta seluruh aparatnya harus mengubah paradigma pelayanan kepada masyarakat. Maka upaya kota Bandung yang mengadakan proyek keterbukaan data yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk menggunakan data sebagai pengawasan kinerja dan tata kelola pemerintahan, cukup layak diapresiasi.
Masalahnya, perubahan paradigma ini jangan hanya berkutat pada pengadaan proyek. Upaya membuka secara telanjang data publik kepada seluruh elemen masyarakat sipil agar dapat digunakan sebanyak dan seluas mungkin, baik itu di dalam pemerintah oleh dinas-dinas terkait, maupun di luar pemerintah oleh masyarakat sipil, pelaku bisnis, dan pemangku kepentingan lainnya, bukan hanya menyediakan laman “alakadarnya“ atau “yang penting ada dulu”.
ADVERTISEMENT
Pada saat pelatihan jurnalisme data ini, memang sudah ada pengakuan dari salah satu pejabat yang mewakili BIRMS bahwa sebagai sebuah sistem, BIRMS pasti masih banyak kelemahan. Salah satunya sistem pengadaan belum terintegrasi sepenuhnya. Maka kata “Integrated“ pada BIRMS belum utuh terwujud.
Warga Bandung tentu menunggu niat pemerintah Kota Bandung apakah akan secara bersungguh-sungguh memperbaiki sistem ini. Karena lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk membangun sistem transparan yang dapat diakses dengan mudah oleh publik. (rana akbari fitriawan)