news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tingginya Gairah Mempelajari Islam di Jerman, Mereka Kuasai Bahasa Indonesia dan Arab

Konten Media Partner
19 November 2018 13:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tingginya Gairah Mempelajari Islam di Jerman, Mereka Kuasai Bahasa Indonesia dan Arab
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dini Alamanda, peserta studi trip Goethe Institut Indonesia-Bandung. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Di Jerman, Islam dipelajari di kampus-kampus bergengsi. Salah satunya Humboldt University of Berlin. Di almamater Albert Einstein itu, Islam dipelajari secara ilmiah dan detail oleh dosen maupun mahasiswa non-muslim.
Dini Alamanda, peserta studi trip Goethe Institut Indonesia bertajuk “Life of Muslims in Germany”, menjadi saksi mata bagaimana seriusnya studi Islam di Jerman. Studi trip dilakukan Dini bersama intelektual Indonesia lainnya pada Juni 2018 dengan tujuan Gottingen, Hamburg dan Berlin.
Dosen ekonomi Universitas Garut itu mengaku banyak terbengong-bengong menghadapi kenyataan begitu disiplinnya penelitian Islam di negara yang dikenal sekuler itu.
Di Humboldt University of Berlin, Dini dipandu Susanne Kaiser, seorang jurnalis sekaligus penulis yang konsen menulis isu-isu Islam. Sebagai negara sekuler, umumnya para akademisi Jerman memandang Islam dan agama lainnya sebagai budaya.
ADVERTISEMENT
Susanne Kaiser mengatakan, kata Dini, memang dewasa ini kajian ilmiah tentang Islam lagi tumbuh subur di kampus-kampus di Jerman. Susanne sendiri banyak menulis tentang Islam, dan respons dari publik selalu luar biasa, selalu menuai pro kontra.
“Banyak kampus di Jerman yang memunculkan subjek Islam meski siswanya non-muslim,” tutur Dini, dalam acara diskusi “Life of Muslims in Germany” di Goethe Institut Indonesia, Bandung, pekan lalu.
Tingginya Gairah Mempelajari Islam di Jerman, Mereka Kuasai Bahasa Indonesia dan Arab (1)
zoom-in-whitePerbesar
University of Göttingen (uni-goettingen.de)
Kampus lain yang mengkaji Islam ialah Freie Universität Berlin. Dini bertemu dengan sejumlah peneliti yang jago bahasa Arab. Ia masuk ke dalam kompleks khusus yang menjadi tempat kegiatan ilmuwan kajian Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka banyak membahas isu-isu Timur Tengah secara ilmiah, salah satunya mencari solusi bagi konflik Palestina.
ADVERTISEMENT
University of Göttingen menjadi kampus yang dikunjungi Dini berikutnya. Di kampus yang memiliki bangunan dengan arsitektur klasik itu, Dini bertemu dengan profesor dan peneliti yang cakap bicara dalam bahasa Indonesia.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia selalu menjadi irisan penting dalam penelitian Islam. Jadi selain pandai bahasa Arab, para peneliti Jerman juga mempelajari bahasa-bahasa di Asia Tenggara. Tak heran jika banyak peneliti yang jago bahasa Indonesia dan melayu. Bagi mereka, menguasai bahasa menjadi unsur terpenting dalam suatu penelitian sosial.
Dini semakin kagum dengan budaya ilmiah ilmuwan Jerman. Khusus mengenai Indonesia, Dini menemukan peneliti yang meneliti nasab di Madura.
Lain lagi dengan di University of Hamburg, di sini pelajaran ilmiah tentang agama disampaikan oleh dosen yang menguasai segala macam agama di dunia. Sang dosen menguasai beragam kitab suci agama-agama. Bahkan pengetahuannya tentang hadis dan Al Quran bak ustaz saja.
ADVERTISEMENT
Dini kemudian tertarik dengan proyek unik yang khusus mempelajari Islam, yakni Corpus Coranicum yang mengkaji konteks Al Quran. Proyek ini mengkaji konteks setiap surah atau ayat di dalam Al Quran, mereka mencatat detail-detail huruf ayat, membandingkan dengan setiap mushaf yang ada di zaman Khulafaur Rasyidin (empat khilafah pertama Islam), dan seterusnya.
Contoh surah yang dikaji para peneliti Corpus Coranicum misalnya Surat An Nas. Mereka mengklaim menemukan ada perubahan posisi huruf “alif” dalam surah tersebut. Bahwa pada zaman Zaid bin Tsabit (612-637), penulis wahyu sekaligus salah seorang sahabat Nabi Muhammad, posisi alif pada surat An Nas berbeda dengan zaman setelahnya.
“Beda dengan di kita kalau belajar agama kata ustaz A ya A. Di sana mereka sangat teliti dan ilmiah,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Dini juga ditunjukkan Al Quran yang masih dalam bentuk mushaf pada 1 Hijriah yang kondisinya sudah sangat tua. Rencananya mushaf tersebut akan didigitalisasi dan bisa diakses umum.
Menurut Dini, para peneliti di Corpus Coranicum rata-rata non-muslim, bahkan Dini menduga kebanyakan atheis. Jerman merupakan negara yang membuka diri pada setiap agama maupun pada atheis. Di Jerman aliran Islam tumbuh subur, mulai dari Sunni sampai Syiah, yang liberal hingga yang radikal. Saat ini diperkirakan jumlah umat Islam di Jerman sekitar 4,5 juta yang awalnya imigran. (Iman Herdiana)