Tren Membaca Kaum Milenial Bandung Awalnya Biar Instagrammable

Konten Media Partner
18 Maret 2019 19:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lokakarya pembuatan zine di Kineruku, Bandung. (Iman Herdiana)
zoom-in-whitePerbesar
Lokakarya pembuatan zine di Kineruku, Bandung. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Zaman yang semakin digital turut memengaruhi budaya literasi. Budaya baca pun dimulai lewat bergaya di Instagram.
ADVERTISEMENT
Pengaruh media sosial pada budaya baca ini bisa dilihat dari aktivitas di perpustakaan dan toko buku Kineruku, Jalan Hegarmanah, Bandung. Pegiat literasi yang juga pendiri Kineruku, Iriani Rani Darmawan menuturkan, generasi milenial tetap masih membutuhkan buku di tengah membanjirnya informasi di media sosial dan mesin pencari seperti Google.
Menurutnya, tren penjualan buku di Kineruku cenderung meningkat sejak 2017 dan 2018. Peningkatan ini diprediksi terjadi di 2019. Dengan tren ini ia optimis budaya literasi masih akan tetap tumbuh.
“Faktornya mungkin bisa berbagai macam orang masuk (Kineruku) dan menggemari buku. Awalnya gaya-gayaan, instagrammable, mungkin baca buku untuk cari caption di Instagram, kan Instagram suka ada captionnya, kalau googling di google bisa habis, jadi cari di buku,” cerita perempuan yang akrab disapa Rani, dalam sebuah diskusi buku di Bandung, baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang ada milenial yang minta difoto saat sedang membaca buku, foto tersebut kemudian diunggah ke media sosialnya. Namun gaya-gayaan tersebut bisa jadi pintu masuk untuk menyukai buku.
“Jadi ketertarikan seseorang pada buku bisa dari apa pun, yang sekarang banyak sekali terjadi itu (demi Instagram). Baca buku, minta difotoin temannya, tapi lama-kelamaan masa dia mau gitu terus, pasti kemudian baca juga,” tuturnya.
Dengan fenomena tersebut, para pegiat literasi, komunitas baca, maupun pedagang buku di Bandung diminta tak khawatir akan keberlangsungan aktivitasnya. Hanya saja ia menyarankan agar para pegiat literasi memperbarui pendekatan sehingga aktivitas mereka bisa menarik minat milenial.
Rani lalu membandingkan aktivitas literasi di masa sebelum dan setelah booming media sosial. Di masa lalu, pendekatan pada pembaca agak berbeda dengan masa kini.
ADVERTISEMENT
Pada kurun 2003-2006 di Bandung tumbuh toko-toko buku alternatif, termasuk Kineruku yang sebelumnya bernama Rumah Buku. Pihaknya bersama sejumlah toko buku alternatif lain seperti Tobucil, Omuniuum, biasa menggelar bazar buku dalam skala kecil. Waktu itu bazar tersebut cukup sukses.
Setelah periode tersebut, masing-masing toko buku memilih fokus pada kegiatan di luar buku, meski mereka masih menjual buku. Tobucil misalnya fokus ke craft, Omuniuum sempat fokus ke merchandise dan musik, dan Kineruku sempat fokus pada film.
Kini Kineruku fokus sebagai perpustakaan dan toko buku. Selain itu, Kineruku juga menyediakan komoditas yang kemungikinan disukasi milenial.
Komoditas tersebut sebagai nilai tambah dari buku, misalnya merchandise, café yang menyediakan makanan dan kopi, dengan harapan pengunjung yang datang bukan hanya kutu buku tetapi juga calon kutu buku. Mereka bisa ngopi dan makan dan kemudian membaca buku.
ADVERTISEMENT
“Menurut saya itu (nilai tambah) penting, bukan kita terus gantungkan diri dari pemasukan di luar buku. Tapi kalau kita jualan buku kita harap yang datang senang buku, padahal kita pengin di luar kutu buku datang dan tertarik beli buku di kemudian hari,” katanya.
Kini Kineruku bukan hanya dikunjungi para kutu buku. Misalnya, ada pengunjung yang tadinya mengantar temannya ke Kineruku tetapi kemudian tertarik membaca buku.
“Kineruku sekarang seperti itu, ada kedai kopi, ada teman ikut nongkrong lama-lama pengin baca. Kalau saya amati banyak yang seperti itu,” tuturnya.
Mengenai buku apa yang milenial baca, Rani punya penilaian menarik. Menurutnya, buku bacaan yang dibaca milenial tidak melulu buku baru yang kekinian. “Mereka baca buku yang ketika umur 20 tahunan saya baca. Jadi berulang. Sebab Kineruku jual buku klasik yang ga uptodate banget,” katanya.
ADVERTISEMENT
Pengunjung buku masa kini juga cenderung tidak menyukai diskusi formal. Mereka lebih suka duduk santai sambil ngobrol banyak hal. Sehingga keberadaan tempat yang nyaman buat nongkrong penting diadakan komunitas literasi.
“Mereka akan duduk bersama, bisa santai dan bertukar pikiran, apalagi kalau ada bukunya akan bahas buku di situ,” katanya.
Selain itu, Rani melihat ada pangsa pasar yang kurang digarap oleh para pegiat literasi, yakni ibu-ibu muda. Sepengamatannya, setiap acara anak di Bandung selalu ramai oleh ibu-ibu muda, padahal berbayar. Maka jika para pegiat buku menggelar acara bersama sambil menyediakan kegiatan khusus untuk anak, ia yakin banyak ibu muda yang tertarik.
“Emak-emak ini kan banyak yang pengin datang tapi ga bisa ninggalin anaknya, atau mereka harus acara anak, kebanyakan anak di bawah 8 tahun, haus akan apa pun barang terutama buku yang berifat edukatif untuk anaknya, mereka mencari barang tersebut. Ini jadi pasar yang harus digarap, memang tidak harus tema anak semua tapi jadi bagian dari aktivitas,” kata Rani.
ADVERTISEMENT
Untuk menjangkau pangsa pasar tersebut, seluruh komunitas buku di Bandung harus terkoneksi. Maka Rani menyarankan agar mereka menggunakan hastag bersama ketika sedang menggelar acara bersama. (Iman Herdiana)