Yan Yan Sunarya, Ilmuwan ITB Berjuluk Doktor Batik Sunda

Konten Media Partner
12 Juli 2018 12:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yan Yan Sunarya, Ilmuwan ITB Berjuluk Doktor Batik Sunda
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Yan Yan Sunarya, doktor ITB berjuluk doktor batik Sunda. (itb.ac.id)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Kecintaannya pada batik Sunda membuat ia diakui sebagai Doktor Batik Sunda. Bahkan @KoreanUpdates! Menyebutnya "The First Doctor in Sundanese's Batik". Siapakah dia?
Doktor Batik Sunda itu ialah Yan Yan Sunarya, dosen kriya di Fakultas Seni Rupa Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB). Di mata Yan Yan, batik Sunda tidak hanya dipandang sebagai kain tradisional beragam corak. Batik merupakan tradisi warisan kebudayaan Indonesia yang telah diakui dunia.
Dengan pemahaman itu, Yan Yan menggeluti karier akademiknya terkait batik sambil mempopulerkan batik lebih luas lagi. Karena kecintaannya pada batik, khususnya batik Sunda, dia mengenalkan diri sebagai Doktor Batik Sunda pertama di dunia pada tahun 2014, lalu pada 2016 diakui sebagai "The First Doctor in Sundanese's Batik" oleh @KoreanUpdates!
ADVERTISEMENT
Pergulatan Yan Yan dengan batik Sunda tak lepas dari studi di ITB, kampus teknik tertua di Indonesia yang berada di tatar Sunda. Ia meraih gelar sarjananya di Desain Tekstil FSRD ITB, gelar magister di Desain FSRD ITB, dan gelar doktor di Ilmu Seni Rupa dan Desain FSRD ITB.
Atas kesadarannya terhadap tanah kelahirannya itulah, ia mendalami khazanah Batik Sunda dengan penelitiannya yang berjudul “Strategi Adaptasi Visual pada Ragam Hias Batik Sunda”. Kini Yan Yan Ketua Program Studi S-3 Ilmu Seni Rupa dan Desain ITB.
Ia mengaku sengaja mempopulerkan diri sebagai Doktor Batik Sunda karena tidak banyak orang tahu bahwa di Sunda juga mempunyai corak batik khas yang dapat diteliti secara mendalam. Kekhasannya itu muncul dari karakter orang Sunda yang humoris dan ceria dalam bentuk warna, corak, motif, komposisi, penamaan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sejak awal jadi sarjana, penelitiannya memang tak jauh dari fesyen. Waktu lulus S-1 di FSRD ITB, ia meneliti fesyen modern. Lanjut S-2 di fakultas yang sama juga mengenai fesyen di era posmodern. Namun saat S-3, penelitiannya disarankan oleh promotor agar tidak lagi mengangkat kembali desain modern.
“Saya diamanatkan untuk mengangkat soal batik Sunda. Dan dari situlah saya tertarik untuk mempopulerkan batik Sunda,” kata Yan Yan saat berbincang di Gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Jalan Ganesa, Selasa (10/7/2018), dikutip dari siaran pers yang diterima Bandungkiwari.com.
Yan Yan Sunarya, Ilmuwan ITB Berjuluk Doktor Batik Sunda (1)
zoom-in-whitePerbesar
Yan Yan Sunarya, doktor ITB berjuluk doktor batik Sunda, mengenakan batik. (itb.ac.id)
Menurutnya, kurikulum mengenai kearifan lokal di bidang batik perlu dimasukkan ke dunia pendidikan formal. Sehingga dengan begitu orang bisa mengenal batik lebih mendalam lagi tidak hanya produknya saja.
ADVERTISEMENT
“Pada awalnya tidak ada belajar kearifan lokal yang masuk dalam kurikulum, yang ada ialah international style. Baru pada tahun 1991 sebagai periode posmodern di Indonesia, sudah mulai diakui kearifan lokal dari Indonesia. Dari sanalah kurikulum kita sudah memahami bahwa kita itu punya kekuatan lokal. Akhirnya memasukan mata kuliah Batik, Ikat, Tinjauan Kriya, Sejarah Kriya, dan seterusnya sebagai muatan lokal di sini,” ujarnya.
Kearifan lokal batik Sunda tidak hanya ia kupas di dalam kelas, melainkan di seminar ataupun simposium.
Ia menuturkan, sejarah batik dalam masyarakat Sunda berasal dari kata “euyeuk” dan “pangeuyeuk”, yang dibahas dalam naskah Sunda Buhun Siksa Kanda Ng Karesian pada abad ke-16.
Naskah itu menjelaskan mengenai bahan, potongan, warna, corak, estetika, dan cikal bakal batik saat ini. Contoh warna khas batik Sunda misalnya, beureum euceuy (merah kuat), hejo ngagedod (hijau pekat) dan warna lainnya.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana rancangannya, itu ada istilah didadarkeun, wirahma, dilempengkeun, entong paliyas, kade papalimpang. Banyak sebetulnya cuma saja visualisasinya tidak ada, melainkan baru secara literasi saja,” katanya.
Karena hanya sebatas bukti literasi, sehingga sulit untuk mengetahui bentuk visual asli batik Sunda. Oleh karena itulah visualnya sebagian dipengaruhi batik Jawa yang ada saat ini. Sebab menurutnya antara batik Jawa dan Sunda punya saling keterkaitan secara historis.
“Batik Sunda itu tercermin dari orang Sunda yang terbuka (muka), adaptif (merenahkeun), positif (hade hate), dan kreatif (binangkit). Sehingga dalam unsur pemilihan warnanya mencerminkan keceriaan, kadang terang. Dasarnya ceria, humoris, dan ekspresif,” paparnya.
Namun saat ini batik yang ada di pasaran tidak sepenuhnya asli. Melainkan sudah bercampur dengan "batik palsu" hasil printing. Batik ini biasanya beredar di pasaran dengan harga amat murah.
ADVERTISEMENT
Yan Yan pun memberi saran kepada pemerintah harus bisa memberikan subsidi kepada pengrajin batik, baik berupa insentif, bahan baku, peralatan, dan lainnya sehingga batik mereka bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
“Sekarang di ITB sudah ada kurikulum batik untuk mata kuliah pilihan, ternyata peminatnya cukup banyak, di luar prodi kriya ada prodi astronomi, kimia, arsitektur, pokoknya membludak,” katanya.
Selain pada batik, Yan Yan juga punya ketertarikan di bidang Korean Fashion. Pada 2016, ia diberi kesempatan sebagai mentor dalam acara Young Creator Indonesia Fashion Institute (YCIFI). Kegiatan acara itu salah satunya dengan mengadakan Basic Fashion Design Course bagi para calon desainer tanah air mengenai Korean Fashion dalam konteks pertukaran kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Acara tersebut merupakan kerjasama antara Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Program Studi Kriya, dan Korea Foundation for International Culture Exchange (KOFICE) dan Global Korean Lounge (GKL) Foundation. Kerjasama itu dimulai 2014 hingga kini. (Iman Herdiana)