Sekepal Nasi di Mangkuk Merah

bangkitnurullah
Bangkit Nurullah merupakan seorang jurnalis yang suka menulis dan berdagang
Konten dari Pengguna
29 Desember 2021 12:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari bangkitnurullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. (Orang tua murid mengantar anak menuju ke sekolahnya. Foto: ANTARA FOTO/Jojon)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. (Orang tua murid mengantar anak menuju ke sekolahnya. Foto: ANTARA FOTO/Jojon)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Anak berusia 6 tahunan itu tetap pada tempatnya. Pikirannya melayang mengingat beberapa hari lalu ia datang ke tempat itu untuk menuliskan namanya di kertas putih lalu ia tempel di meja dan bangku sebagai tanda. Tapi siapa sangka tanda itu kini telah tiada, dan bangku itu sudah ditempati siswa lain.
Ia menggendong tas biru muda bergambar Mickey Mouse yang dibelikan oleh ibunya tujuh hari yang lalu. Sesekali ia membukanya melihat buku tulis yang belum dibuka plastiknya beserta beberapa pensil tulis yang tertata rapi.
Di sana tidak ada yang ia kenal kecuali Solekha, kakak kelasnya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Solekha itu pula yang dulu mengajaknya untuk memberi tanda di bangku dan meja. Bahkan subuh tadi ketika ia baru selesai mandi, Solekha telah datang ke rumahnya untuk membawakan tas dan meletakkannya di bangku yang telah mereka tandai beberapa hari yang lalu.
ADVERTISEMENT
Tapi yang tidak ia sangka, tanda itu kini telah tiada dan bangkunya telah ditempati siswa lain. Mau tak mau Solekha pun memberikan kembali tas itu kepada anak kecil itu dan ia pergi mengurus keperluannya sendiri. Karena pada saat itu di sekolah tersebut masih ada tradisi perebutan bangku dan meja ketika ada kenaikan kelas dan siswa baru pada masuk.
Sehingga mereka akan datang pagi buta di hari pertama masuk sekolah agar bisa mendapatkan bangku. Meski tradisi itu beberapa tahun setelahnya akhirnya dihapus, dan diganti dengan menggunakan nomor undian. Selain itu tempat duduk siswa pun setiap harinya berubah-ubah karena ada rolling yang dilakukan setiap harinya.
Sementara itu, anak kecil yang luput dari pengamatan orang sedang menghapus air matanya yang telah keluar dari sudut matanya. Wajahnya merah padam. Ah andai ada yang melihat sekilas saja, orang itu akan tahu betapa sedih hati yang anak itu rasakan. Bagaimana tidak, hari pertama masuk sekolah yang sebelumnya ia bayangkan sebagai momen yang begitu indah namun malah menjadi seperti ini.
ADVERTISEMENT
Sang ibu yang baru selesai masak itu mengusap-usap kepala sang anak sembari menenangkannya. Ia lalu mengeluarkan mangkuk merah yang telah ia siapkan dari rumah. Ia membuka mangkuk itu kemudian menyuapi anaknya yang telah berseragam rapi itu. Karena sang anak berangkat begitu pagi sebelum sarapan itu matang.
Tak lupa ia menghiburnya sembari memikirkan cara agar anak sulungnya itu bisa mendapatkan tempat duduk. Beberapa saat kemudian sang mentari mulai memancarkan sinarnya, dan guru-guru di sekolah itu berdatangan. Tak mau membuang waktu ia bergegas menemuinya. Sedang bocah kecil itu tetap menunggunya di luar kelas. Bocah itu tidak tahu apa yang dilakukan oleh ibunya. Yang jelas beberapa saat kemudian ia dipanggil dan dipersilakan masuk kelas.
ADVERTISEMENT
Dengan sedikit malu dan canggung ia pun masuk ke kelas itu. Beberapa siswa lain yang ada di kelas itu mengarahkan pandangan kepadanya, namun ia hanya bisa tertunduk saja karena masih malu.
Mungkin dari sebagian pembaca telah mengetahui siapa anak laki-laki yang berusia 6 tahunan itu. Iya, tidak salah lagi orang itu adalah saya sendiri, Bangkit Nurullah. Saat ini saya telah lulus dari Universitas Muhammadiyah Surakarta sebagai sarjana Ilmu Komunikasi. Meski begitu, peristiwa kala itu masih teringat begitu jelas di pikiranku.
ADVERTISEMENT