Kini Kiai Mudah Digelari Hadratussyaikh, Kiai Ghazali Said Miris

Konten Media Partner
15 Mei 2019 22:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy'ari saat menerima tamu utusan Jepang pada perjuangan kemerdekaan. foto: Dokumentasi Tebuireng
zoom-in-whitePerbesar
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy'ari saat menerima tamu utusan Jepang pada perjuangan kemerdekaan. foto: Dokumentasi Tebuireng
ADVERTISEMENT
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Belakangan muncul kecenderungan di masyarakat yang dengan mudahnya menggelari seorang kiai sebagai hadratussyaikh (maha guru). Padahal ulama atau kiai tempo dulu merasa malu digelari hadratussyaikh.
ADVERTISEMENT
Karena itu Dr. KH. Imam Ghazali Said mengaku sangat miris melihat kecenderungan ini. Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonokromo Surabaya ini bahkan menilai sekarang ada kecenderungan peng-ulama-an terhadap orang yang sebetulnya belum mengalami tahapan belajar agama dan proses sosial secara memadai. Menurut dia, kecenderungan ini merupakan dampak media sosial.
“Hadratussyaikh itu gelar sosiologis yang diadopsi dari budaya Arab,” kata Kiai Imam Ghazali Said saat diwawancarai BANGSAONLINE.com di Gedung Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya (Senin, 13/12/2019).
Di Indonesia, menurut Kiai Imam Ghazali Said, hadratussyaikh merupakan gelar non-akademik atau informal yang didapat dari pengakuan masyarakat luas. Untuk mencapai tingkat hadratussyaikh, menurut dia, harus dimulai dari ustadz, kiai, syaikh, dan lalu hadratussyaikh yang tertinggi. Namun – kata dia - tidak mudah untuk mencapai gelar tersebut.
ADVERTISEMENT
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan, gelar itu awalnya harus dimulai dari ustadz, bindereh (bahasa Madura), meski tidak harus putra seorang kiai. Yang penting, kata dia, paham tentang pendidikan ilmu agama. Setelah jadi ustadz, kata Kiai Imam Ghazali Said, diantara indikator pengakuannya, dia harus mempunyai komunitas santri baik berbentuk langgar atau pesantren. Dari situlah maka gelarnya naik menjadi kiai.
Setelah dia berinteraksi dan kemampuan akademiknya bagus, dia akan jadi rujukan. Maka dia akan diberi gelar hadratussyaikh. “Tapi sangat sulit untuk di zaman dahulu,” jelas Imam Ghazali Said.
Ia menjelaskan, sebenarnya syaikh dan kiai itu sama, tetapi untuk menjadi syaikh harus lewat proses jadi kiai dulu, baru syaikh, kemudian hadratussyaikh. Tapi karena perkembangan media sosial begitu cepat, sehingga sekarang muncul apa yang disebut peng-ulama-an. “Yaitu orang yang belum apa-apa tapi dia sudah di panggil syaikh,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
“Dulu yang namanya hadratussyaikh di NU tidak ada yang berani menggunakan nama itu kecuali Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Wahab Chasbullah nggak mau, Kiai Bisri Syansuri tidak mau, tidak berkenan dan tidak ada orang menyebut (hadratussyaikh). Kiai Ali Ma’sum juga sama (tidak mau dipanggil hadratussyaikh),” katanya.
Karena itu ia mengaku miris karena di zaman sekarang masyarakat sangat mudah memberikan gelar hadratussyaikh tanpa ada runtutan dari ustadz, kiai, syaikh, hingga hadratussyaikh.
Memang, kata dia, tidak ada ketentuan ataupun standar seseorang bisa mendapat gelar Hadratussyaikh. Karena pada umumnya tidak cuma berilmu, namun juga punya pengaruh yang menjadi ukuran. “Jadi ilmu dalam bidang studi Islam misalnya ahli di bidang tafsir, ahli di bidang hadits. Nah, paling tidak dua ini, hadits dan fiqih. Itu contoh keilmuannya,” katanya.
ADVERTISEMENT
Tetapi – tegas dia - keilmuan saja tidak cukup. Untuk mendapat gelar hadratussyaikh, juga perlu pengaruh. Dia (hadratussyaikh) kalau ngomong itu ada pengikutnya. Nah, ketika dia ada pengikutnya dia berhak untuk mendapat gelar hadratussyaikh. Hak itu bukan ada SK-nya tapi langsung dari masyarakat.
“Jadi ganda, harus ada akademik juga ada pengaruh. Nah, di antara indikator pengaruhnya itu mimpin organisasi besar,” beber Imam Ghazali Said.
Menurut dia, gelar hadratussyaikh adalah gelar modern yang digunakan di Indonesia. Dulu gelar Hadratussyaikh belum ada. “Belum ada di zaman Syaikh Abdul Qodir Jaelani ataupun di zaman Syaikh Siti Jenar. Namun Syaikh Abdul Qodir Jaelani dikenal dengan walinya, bukan hadratussyaikh-nya," katanya.
Senada dengan Kiai Imam Ghazali Said, KH Ma’ruf Khozin, Ketua Aswaja Center PWNU Jawa Timur menjelaskan bahwa gelar hadratussyaikh adalah gelar kehormatan bagi orang yang memang berilmu. Ia mencontohkan KH Kholil Bangkalan yang diberi gelar syaikhona. “Istilah hadratussyaikh itu bukan gelar akademis, beda dengan doktor harus S3, master harus nyelesaikan tesis. Tapi kalau hadratussyaikh dengan syaikhona itu gak ada,” jelas Ma’ruf Khozin saat BANGSAONLINE.com menemui di Kantor PWNU Jawa Timur, Senin (13/5/2019).
ADVERTISEMENT
Namun sekarang, kata Ma’ruf Khozin, orang begitu mudah memberikan gelar hadratussyaikh padahal khidmahnya sama sekali belum terlihat. “Pada intinya kalau Mbah Hasyim itu lebih pada karena kiainya para kiai saat itu,” tuturnya. Ia memberi contoh jabatan Rois Syuriyah di Nahdlatul Ulama (NU). “Kalau sekarang kan Rais Aam, kalau Mbah Hasyim Rais Akbar. Sejak Kiai Wahab jadi Rais beliau mengganti Rois Akbar menjadi Rois Aam karena ketokohan dan kealiman beliau (Mbah Hasyim) berbeda,” beber Kiai Ma’ruf Khozin.
Karena itu ia menyarankan kiai sekarang, apalagi yang level ilmunya masih di bawah Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari, sebaiknya tak memakai gelar hadratussyaikh. “Untuk menghormati ketokohan salah satu tokoh pendiri organisasi NU tersebut lebih baik tidak menggunakan gelar hadratussyaikh di zaman sekarang, namun cukup kiai seperti yang dilakukan Kiai Wahab ketika menjadi Rais yaitu mengganti Rais Akbar menjadi Rais Aam," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan BANGSAONLINE.com, memang tidak mudah mendapat gelar hadratussyaikh. Kiai Hasyim Asy'ari sendiri mendapat gelar hadratussyaikh sejak belajar di Makkah selain karena kealimannya yang diakui ulama-ulama internasional juga karena punya pengaruh besar. Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari dikenal sebagai ulama yang menguasai bahkan hafal hadits-hadits yang terhimpun dalam Kutubus Sittah (enam kitab hadits), meliputi Shahih Bukhari, Shahih Muslim, An-Nasai, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah. Karena itu tiap bulan Ramadlan banyak ulama-ulama besar - termasuk Syaikhona Kholil bin Abdul Latif Bangkalan - ikut mengaji hadits kepada Hadaratussyaikh Hasyim Asy'ari. Tradisi mengaji Shahih Bukhari dan Muslim ini hingga kini terus berlangsung tiap bulan Ramadan di Tebuireng. Penerus khataman Shahih Bukhari dan Muslim tiap bulan Ramadan ini tentu kiai Tebuireng yang sanad keilmuannya nyambung ke Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. (Mohammad Sulthon Neagara)
ADVERTISEMENT