Belajar Mendengarkan di Pilpres 2019

Konten Media Partner
13 Februari 2019 18:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi orang mendengar. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang mendengar. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Mendengarkan itu niscaya demi mengerti dan menjadi beradab. Tanpa mengerti tiada kesalingmengertian, tak ada pula kesalingmemberhargakan. Kedua hal yang tiada itu merupakan unsur-unsur hakiki yang melandasi keberadaban dan pemerlakuan terhadap manusia sebagai subyek.
ADVERTISEMENT
Ketidakadaan mengerti ini akan menyuburkan kecurigaan dan ketakutan. Di tahun politik ini bangsa kita mengagung-agungkan ekspresi verbal, pekik teriak, suara lantang, hardikan menggelegar dan yel-yel.
Media sosial dan teknologi komunikasi menggelar jalan tol untuk perwujudan pernyataan kewicaraan itu. Bangsa ini menjelma menjadi massa yang gemar berekspresi kewicaraan. Padahal semakin banyak orang berwicara, kian sedikit ia mendengarkan. Bangsa yang suka sekali dengan pernyataan verbal akan menjadi makin kurang mendengarkan.
Tiga kenyataan berikut memperlihatkan betapa bangsa kita kurang atau tidak gemar mendengarkan. Pertama, hiruk pikuk seperti abadi dalam media sosial, dengan tebaran padat dan luas hoaks, penghinaan, caci maki dan fitnah.
ADVERTISEMENT
Kedua, kenekatan berwicara bohong yang lantang, yang justru dianggap bahkan dipuji sebagai bukti keberanian dan keteguhan dalam berprinsip. Ketiga, ketidakpedulian terhadap suara rakyat yang sesungguhnya--- yang paling tampak dalam perilaku tetap berkorupsi kendati rakyat sesungguhnya menyerukan agar elite tidak melakukan korupsi.
Uraian itu menggarisbawahi pentingnya mendengarkan yang diperhadapkan dengan wabah ekspresi verbal. Lalu, apakah pernyataan kewicaraan tidak penting?
Dalam karya tulis yang terpublikasi, Sigmund Freud, seorang psikoanalisis ternama menyatakan bahwa betapa pengungkapan secara verbal atas perasaan yang terkandung dalam pengalaman menyakitkan, yang mengakari gangguan psikis histeris akan mengakhiri gejala-gejala gangguan psikis itu.
Jadi betapa hebatnya ekspresi verbal itu. Ia dapat menyembuhkan gangguan jiwa.
Tokoh pendiri psikoanalisis itu kembali menegaskan: verbalisasi perasaan sedemikian penting di tengah upaya menumbuhkembangkan kesehatan jiwani. Pengalaman perasaan yang menyakitkan, tetapi tidak terkatakan akan dikucilkan dari kesadaran, selanjutnya akan direpresikan sehingga tetap ada, tetapi seperti tiada, tak terolah, lantas menjadi ingatan pengalaman traumatis yang terus saja bekerja. Dan karena itu melestarikan gejala-gejala gangguan jiwa.
ADVERTISEMENT
Tetapi, verbalisasi perasaan yang dicita-citakan dalam psikoanalisis tidak sama dengan lontaran-lontaran hoaks dan fitnah verbal. Pada yang pertama, manusia dibimbing sesamanya yang mendengarkan dia dengan saksama untuk menilik dan mendalami pengalamannya sendiri, yang begitu menyakitkan; lalu didampingi mengungkap afek traumatis (perasaan yang menyakitkan) melalui atau dalam kata-kata.
Dalam penciptaan kata-kata kebohongan dan fitnah verbal, orang justru tidak mau menyentuh perasaan menyakitkan yang bersarang di dalam dirinya. Yang ia lakukan justru membuangnya kuat-kuat keluar tanpa mengalami sakitnya perasaan itu.
Kegagalan mendengarkan dan pengagung-agungan ekspresi verbal akan berefek tragis fitnah dan hoaks. Ini terjadi karena orang menjalanbentarkan (by pass) pengalamannya sendiri, yang menyakitkan atau tak menyenangkan.
Sesungguhnya wicara bukan lahir dari mengerti dan keberadaban yang bersumber pada mendengarkan yang saksama, melainkan terlontar dari jiwa yang menghindari, menolak, melewatkan dan melarikan diri dari rasa menderita yang sah, yang ada dan berlangsung di dalam diri.
ADVERTISEMENT
Maka di tengah perkembangan peradaban manusia masa kini, demokrasi menjadi salah satu bagian yang penting dari proses sang manusia untuk bertumbuh kembang. Dalam berdemokrasi itu tak pelak orang niscaya menjadi mengalami rasa sakit, terutama karena ia perlu menerima yang berbeda, orang lain dengan segala rincian identitasnya yang lain daripada yang lain.
Perbedaan identitas dan keberadaan sungguh menjadi sumber rasa sakit sekaligus ia memanggil warga bangsa yang berdemokrasi untuk belajar menerima, mendalami, dan mengatasinya.
Menjelang pilpres tahun 2019 ini , para pemimpin bangsa bukanlah hanya pencipta kebijakan dan pengawas pelaksanaannya. Mereka juga agen-agen kebudayaan dan peradaban. Mereka berkewajiban untuk mengagungkan masyarakat agar tidak mencipta hoaks dan fitnah verbal.
ADVERTISEMENT
Mereka berada di tengah tumbuh kembang kebudayaan dan peradaban, Mereka harus mendampingi warganya yang mengalami rasa sakit yang sah, tanpa melarikan diri darinya. Selanjutnya mereka juga harus mengajarkan warganya untuk bertabah mendalami penderitaan yang mesti terjadi walau keberadaannya yang berbeda.
Itu semua akan teratasi dengan cara mereka banyak belajar mendengarkan secara saksama dan tentunya dengan niat yang kuat untuk menjadikan bangsa ini lebih baik. Semoga.
------
Kolumnis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Artikel ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.id.