Bisakah HIV-AIDS Ditaklukkan?

Konten Media Partner
5 Desember 2018 10:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bisakah HIV-AIDS Ditaklukkan?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Penulis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Tulisan ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.ID
ADVERTISEMENT
banjarhits.ID - Sulit untuk menjawabnya karena HIV-AIDS berbeda dengan penyakit infeksi lain. HIV-AIDS menyerang kelompok produktif: dari pengusaha sampai ke guru dan dokter. HIV-AIDS adalah satu-satunya penyakit yang sampai sekarang mampu melumpuhkan sebuah negara.
Pertanyaannya, bukan lagi kapan HIV-AIDS “bisa” ditaklukkan, tetapi apakah dunia “mau” membayar harganya. Ini karena obat HIV-AIDS yang tersedia sekarang, tidak menyembuhkan, namun mampu menyetop reproduksi virus di dalam badan seseorang. Paling tidak, tidak hanya upaya untuk menghindarkan kematian orang yang minum obat, tetapi juga menyetop penularannya.
Inilah yang dalam bahasa kesehatan masyarakat disebut sebagai tingkat kedua dari pencegahan. Menariknya, berbeda dengan penyakit lain yang menyebar melalui lingkungan, makanan, ataupun binatang lain. HIV-AIDS hanya menyebar melalui manusia (human to human). Meskipun sebagian penyakit ini menyebar lewat “suntikan bersama”, tetap saja peran manusia ke manusia sangat besar.
ADVERTISEMENT
Jadi, pengobatan HIV-AIDS yang efektif mestinya sekaligus bias mencegah penularan. Dan agar efektif sebagai pencegahan, semua yang sakit harus diobati. Itu berarti, harus menjangkau orang yang sakit. Itu berarti juga harus menjangkau orang yang mungkin sudah tertular, walaupun masih belum ada gejala. Biayanya? Makanya kalau dunia mau urunan, diperkirakan sebesar 16-22 miliar dollar setahun. Bisa jadi angka ini meningkat dalam beberapa tahun, kemudian menurun, sesuai dengan naik turunnya jumlah penderita baru HIV-AIDS.
Untuk itu, yang perlu ditekankan adalah skenario penurunan jumlah penderita HIV-AIDS baru ber¬hasil kalau dunia, sekali lagi, mau menanggung biayanya. Dalam hal ini negara-negara kaya, institusi, maupun individual super kaya yang mau konsisten menjadi donator.
ADVERTISEMENT
Jadi, dalam skenario ini kita memerlukan rekayasa sosial tingkat dunia — itu sebabnya mengapa perlu ketemu di PBB— agar negara kaya, lembaga yang makmur, dan individu superkaya mau terus dermawan membiayai. Selama ini Bill Gates bos computer telah menyumbangkan sebagian kekayaannya untuk eradikasi HIV-AIDS.
Siapa sangka, George Bush Junior yang kontroversial itu juga berhasil meyakinkan negara untuk mau menyumbang dalam jumlah besar. Pertanyaannya, ide kreatif ini sampai beberapa lama bias bertahan? Sekarang saja sudah mulai ada beberapa negara donor yang hengkang sebagai donatur.
Skenario yang jauh lebih murah lagi adalah skenario pencegahan: setia pada pasangan, gunakan selalu kondom pada setiap situasi yang berisiko, dan jangan menggunakan jarum suntik bersama. HIV-AIDS adalah contoh yang baik bagaimana pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
ADVERTISEMENT
Skenario ini memang baru berhasil kalau kita berhasil mengubah perilaku kita (life styles) menjadi orang yang bertanggung jawab, baik untuk kesehatan dirinya maupun untuk kesehatan orang lain. Melakukan rekayasa sosial sehingga orang mau bertanggung jawab untuk menjaga kesehatannya lebih penting dibandingkan menjadi dermawan membiayai sakitnya orang lain.
Sebab rekayasa sosial membuat orang lebih dermawan. Kalaupun berhasil, tidak mengubah perilaku orang yang menderita AIDS menjadi lebih bertanggung jawab menjaga kesehatan dirinya. Sedangkan kalau kita berhasil mengubah perilaku untuk menjadi bertanggung jawab atas kesehatan kita maka kita akan mudah menanggulangi penyakit “life styles” lainnya, seperti penyakit diabetes/kencing manis, darah tinggi, jantung, stroke dan banyak penyakit lainnya.
Pada skenario dermawan, diakui biaya kesehatan makin ke depan akan tetap mahal, atau malah semakin mahal. Sedangkan pada skenario perubahan perilaku, biaya kesehatan akan makin murah. Jadi secara praktis, pada tahap sekarang, kita memang harus menggunakan pendekatan kombinasi.
ADVERTISEMENT
Tekanannya, tentunya tetap pada perubahan perilaku kemudian mengobati penderita AIDS sehing¬ga mereka tidak menular dan me¬lakukan promosi besar-besaran buat mereka yang sudah tertular namun belum tampak sakit, menyadari keadaannya dan mau ikut berobat.
Disini pentingnya rekomendasi menyampaikan pentingnya ketersediaan informasi komprehensif mengenai kesehatan seksual dan reproduksi bagi remaja dan perempuan. Tersedianya layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang bersahabat bagi remaja dan perempuan.
Stigma dan diskriminasi terhadap keberagaman seksual dan gender akan meningkatkan kerawanan Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT) terhadap penularan HIV -AIDS. Termasuk dalam hal ini pentingnya keterlibatan orangtua dan dunia pendidikan dalam penyebaran informasi komprehensif mengenai penanggulangan HIV - AIDS serta kesehatan seksual dan reproduksi.
Selain itu, keterlibatan semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat film, penulis media cetak dan elektronik untuk memberikan pesan-pesan edukatif mengenai berbagai permasalahan HIV -AIDS. Sebab membujuk orang, lembaga, dan negara untuk tetap berkomitmen mengakhiri penyakit ini yang sudah pasti tidak mudah. Kesimpulannya bukan apakah kita “bisa”, tetapi apakah kita “mau” menaklukkan HIV-AIDS? Selamat Hari AIDS Sedunia, 1 Desember ! Ilustrasi: Pixabay
ADVERTISEMENT