news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bukan Republik Badut

Konten Media Partner
8 September 2018 9:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bukan Republik Badut
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Penulis: Pribakti B (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat dan Dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin). Artikel ini opini pribadi yang dikirim untuk banjarhits.id
ADVERTISEMENT
banjarhits.id - ”Ayo tertawa!” kata seorang teman. Apa yang ditertawakan? Buanyaak! Ditanggung kita tak kekeringan menertawakan episode demi episode di tanah air. Dagelan itu selalu hadir didepan mata, di layar kaca, baik yang direkayasa-tepatnya penuh tipuan-maupun tanpa skenario. Simak saja soal lumpuhnya DPRD Kota Malang akibat 41 dari 45 anggotanya ditetapkan sebagai tersangka korupsi berjamaah oleh KPK. Belum lagi terungkap data sebanyak 2.357 PNS korup masih digaji ( Banjarmasin Post, 7 sept 2018).
Tentu saja masih ada ribuan kisah kegetiran sekaligus kekonyolan mengisi republik ini. Lagi-lagi yang miskin tambah sengsara. Kondisi rakyat melarat ini bisa terekam di jalanan kota. Coba tengok, jumlah bocah di persimpangan jalan makin membludak. Bahkan mereka karena lapar dan tak ada pilihan mulai berani meminta uang recehan dengan paksa sambil membawa kemucing untuk membersihkan mobil. Maklum saja, di zaman susah-kala kondisi ekonomi yang makin mencekik, dan manusia miskin nalar dan rasa, tanpa uang maka keberingasan pun meledak. Tanpa uang mereka gampang marah dan anarkis.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi mungkin kemarahan itu akumulasi kejengkelan terhadap ketidakpastian hukum. Bisa pula capek menghadapi hidup. Ditamah rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Harga elpiji dan BBM yang melonjak-lonjak. Maka biar diutak-atik sampai puyeng pun ya tetap tekor. Buntutnya, tak tahu harus berbuat apa. Belum lagi mendengar rengekan anak yang lapar. Asal tahu orang miskin memang cenderung sensitif. Sebaliknya, orang kaya dan berkuasa lebih cuek. Sementara elite kekuasaan yang sudah milyaderpun tetap saja rakus untuk korupsi .
Oleh karena itu mulai sekarang bila anda mencintai sesuatu, kalau bisa janganlah total, jarak terhadap sesuatu itu harus dijaga. Entah itu dalam mencintai kekasih, kekuasaan atau uang. Jadi, bila anda menjaga jarak dalam mengasihi kekasih ketika tiba-tiba kekasih anda menelepon bahwa ia berniat mengakhiri kebersamaan, maka anda tidak akan bengong dan terdorong untuk minum racun serangga, begitu kata orang orang bijak. Masalahnya, mungkin mudah membuat jarak dengan seorang kekasih, tetapi mudahkah membuat jarak dengan uang?
ADVERTISEMENT
Harus diakui masalah dan keinginan manusia tidak pernah habis. Apalagi jika hasrat itu tak terkontrol. Maka, alih-alih tenteram, yang mencuat justru keserakahan. Jadi tidak perlu heran, bila di mana-mana dibelahan bumi ini, uang memang bisa menjadi amat menentukan, meski tidak selalu. Begitu menentukannya, bisa membuat sebuah karier yang disusun dengan susah payah di setiap tapak, bisa tumbang begitu saja. Sejarah Indonesia mencatat pertumbangannya para wakil rakyat yang terpuruk sampai kesudut ruangan tahanan hanya karena uang. Lain lagi bila di Jepang, entah sudah berapa menteri yang harus mundur karena suap atau diduga menerima suap. Di Indonesiapun juga mundur, maksud saya mundur akhlaknya!
Kesimpulannya, meski mereka berada dalam kedudukan puncak, ternyata tambah sulit membuat jarak dengan uang, bahkan mungkin malah kian akrab saja. Sejarah lagi-lagi menunjukkan, dalam keadaan yang melimpah ruah seperti itu, toh masih ada yang membuka tangannya untuk menerima suap. Sepertinya benar ada pemeo rakus itu bagus. Tak peduli, bagaimana kesedihan yang dialami korban kerakusannya.
ADVERTISEMENT
Seorang pengusaha misalnya, bisa saja tanpa beban menumbangkan ratusan pohon-pohon kelapa disebuah kampung , hanya untuk kelancaran proyek pelistrikan desa- yang tendernya ia menangkan. Disini, dengan kelancaran berarti semakin besar laba yang diraupnya . Pengeluaran ditekan seminimal mungkin, termasuk untuk ganti rugi pohon kelapa. Persetan bila ganti rugi itu tidak mencukupi untuk kelangsungan hidup para korban beserta keluarganya.
Uang memang bisa membuat segumpal hati menjadi keras melebihi besi. ”Jangan bicara soal hati nurani dalam bisnis” kata seorang teman, karena perhitungan berpusar pada soal untung rugi. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah kegandrungan pada kegemerlapan hidup ini, yang berarti harus sebanyak-banyaknya mengumpulkan uang hanya sebuah mode saja? Atau memang keadaan permanen yang hendak menunjukkan betapa rakusnya manusia itu?
ADVERTISEMENT
Padahal sejarah kehidupan manusia menunjukkan kerakusan terhadap apa saja, merupakan soal permanen dalam nafsu manusia. Sedihnya, sekalipun setiap hari korban-korban kerakusan uang itu bertumbangan sendiri atau ditumbangkan oleh yang lain dan terpuruk hingga dipojok penjara, toh tidak membuat banyak orang menjadi jera.
Dalam iklim seperti sekarang ini sesungguhnya kita membutuhkan lagi kelahiran seorang tokoh seperti seorang Yap Thian Hiem , pengacara vokal yang sering berseberangan dengan pemerintah Orde Baru dulu. Begitu besar jasanya dalam penegakan keadilan di negeri ini, sehingga menjadi inspirasi bagi pendiri Yayasan Yap Thian Hiem. Dalam buku biografi singkatnya almarhum setiap menerima klien baru selalu mengingatkan kliennya untuk berpikir lagi konsekuensinya memilih dia sebagai pengacaranya.
”Apakah Anda sudah memikirkan konsekuensinya memilih saya sebagai pengacara anda? Karena mungkin perkara anda tidak akan menang, lantaran saya akan memperjuangkan keadilan melalui perkara ini dengan tanpa kompromi. Apalagi untuk melakukan kolusi dengan hakim atau jaksa untuk memenangkan perkara anda,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Yap telah membuat jarak yang tegas dengan materi, baginya itu adalah sebuah nilai yang lebih bermakna bagi harkat kemanusiaan. Lalu, bagaimana dengan kita? Pertanyaannya, masihkah ”membuat jarak” dengan materi (dan juga kekuasaan) ini, akan populer untuk dimasyarakatkan ditengah kehidupan sosial yang memuja perebutan memperoleh ” kekayaan” ini? Sesungguhnya negeri ini bukan Republik Badut, jadi maafkan kawan, saya ternyata tak mampu tertawa, walau dinegeri ini banyak yang berbakat jadi ”badut”. Ilustrasi: PIxabay