Cerita Ibnu Katsier, Perajin Kain Sasirangan Pewarna Alami

Konten Media Partner
11 Juli 2019 18:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ibnu Katsier sedang memberi sentuhan pewarna alami kain Sasirangan di kediamannya, Kamis 11 Juli 2019. Foto: Donny Muslim/banjarhits.id
zoom-in-whitePerbesar
Ibnu Katsier sedang memberi sentuhan pewarna alami kain Sasirangan di kediamannya, Kamis 11 Juli 2019. Foto: Donny Muslim/banjarhits.id
ADVERTISEMENT
Rumah adat arsitektur Bubungan Tinggi itu tampil unik. Berdiri di sudut Jalan SMKK, Kelurahan Teluk Dalam, Kecamatan Banjarmasin Barat, pekarangan rumahnya ditumbuhi aneka tanaman dan pohon macam kayu jati, ulin, hingga indigofera.
ADVERTISEMENT
Rupa-rupa tumbuhan ini tidak sekadar dijadikan etalase, melainkan dimanfaatkan sebagai bahan dasar produk fesyen kain Sasirangan khas Kalimantan Selatan. Pengelolanya bernama Ibnu Katsier Muhammad, sosok pemuda berusia 23 tahun.
Ibnu merupakan desainer kain sasirangan pewarna alam dari Kota Banjarmasin. Ia telaten membangun bisnis produk sasirangan ini sejak tahun 2009. Merintis usaha bersama sang ayah, Katsier menamai usahanya dengan label Aku Suka Sasirangan Warna Alam (Assalam).
"Ide awal Assalam ini karena kami pengen mengedepankan bisnis berwawasan lingkungan hidup tanpa pewarna sintetis. Pemerintah Indonesia juga sudah melakukan ratifikasi Konferensi Geneva tahun 1995 yang melarang penggunaan zat warna kimia. Kami ikut mendukung keputusan tersebut," ujar Ibnu Katsier kepada banjarhits.id, Kamis 11 Juli 2019.
ADVERTISEMENT
Menurut Ibnu, penggunaan pewarna alam sebagai bahan baku sasirangan jelas menguntungkan. Selain ramah lingkungan, dari segi suplai bahan, ia bisa menanam sendiri di area rumah.
"Biasanya dijual 200 sampa 700 ribu. Semakin rumit motifnya, semakin mahal juga," kata dia.
Ibnu Katsier menunjukkan produk kain Sasirangan berbahan alami. Bahan alami lebih ramah lingkungan dan awet. Foto: Donny Muslim/banjarhits.id
Meski terlihat menguntungkan, menggeluti bisnis fesyen jenis ini juga terbilang ruwet dari segi proses pembuatan. Ibnu bercerita, satu helai kain harus dicelup berulang-ulang hingga menghasilkan warna yang benar-benar cerah.
"Contohnya ini ada tanaman indigofera yang menghasilkan warna alami biru. Harus dicelup berulang kali," ujarnya sambil mempraktikkan proses pembuatan.
Masalah tidak berhenti dari proses pengerjaan yang ruwet. Menurut Ibnu, pasar bisnis kain sasirangan warna alam belum terlalu diminati. Pembeli biasanya mempertimbangkan motif terlebih dahulu ketimbang bahan dasar pewarna.
ADVERTISEMENT
"Biasanya yang beli ini masih dari turis luar negeri. Baru belakangan ini saja mulai ramai karena ada aturan dari Walikota Banjarmasin yang ingin menghidupkan sasirangan warna alam," Ibnu melanjutkan.
Ibnu berharap metode penggunaan pewarna alam bisa dikembangkan produsen Sasirangan lainnya. Sebab, limbah pewarna sintetis sasirangan sangat berbahaya kala tercemar. Apalagi jika sudah dibuang ke sungai-sungai yang ada di Kota Banjarmasin.
Menurut dia, bahan pewarna sintetis mengandung zat karsinogenik yang memicu kanker. “Jadi amat berbahaya kalau tercemar. Maka dari itu, kami membuka peluang untuk belajar bersama di sini, menggunakan pewarna bahan dasar dari alam," kata Ibnu.