Cukup Sudah Pamer Kemarahan

Konten Media Partner
2 September 2018 11:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cukup Sudah Pamer Kemarahan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Penulis: Pribakti B (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat dan Dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin). Artikel ini opini pribadi yang dikirim untuk banjarhits.id
ADVERTISEMENT
banjarhits.id - Marah sering salah arah. Ngeyel-nya pun membabi buta. Mulut acap membuihkan kebenaran, padahal lebih tepat untuk diri sendiri yang tak beres menata hidup. Simak saja ulah wakil rakyat dan pejabat. Rasanya tak ada lagi ide yang diperdebatkan, kecuali hanya untuk menegaskan: “saya dapat berapa persen?”. Dan akibatnya kekisruhan tak pernah habis dinegeri ini. Sebuah masalah besar belum tuntas ditangani, muncul soal baru hingga menenggelamkan yang lama. Bukalah memori anda, maka soal demi soal akan terbeberkan. Bila ada yang mengungkit, dipatahkan : “Itu kasus basi”.
Harus diakui kritik memang multitafsir, tergantung cara pandang. Buntutnya, niat memprotes ketidakadilan misalnya malah dihajar, dimusuhi. Kalau menulis itu yang proposional dan obyektif. Jangan tendensius. Apalagi sampai membuat kawan tak bertegur sapa gara-gara sepotong “roti”. Maka ucapan Prof. Koentjoroningrat (almarhum) ada benarnya. ”Salah satu kelemahan mentalitas orang Indonesia adalah suka menerabas”. Menerjang apa saja untuk meraih sukses, dengan cara yang sama sekali tidak bermartabat dan dengan kerendahan hati nol. Hidup hanya untuk mengelabui diri.
ADVERTISEMENT
Beda dengan dulu, ketika kita kesepian dan takut oleh kekuasaan, munculnya para vokalis, kritikus dan orang yang berani, sangat menghibur kita. Ketika kita tak sanggup berkata-kata itu, sangat membuat kita bahagia. Maka harga manusia kritis dan orang-orang vokal, pada waktu itu sangat tinggi. Mereka adalah hero, mereka menjadi idola. Tapi saat ini, orang-orang semacam itu tiba-tiba telah menjadi banyak sekali. Kitapun jadi kebingungan menentukan idola karena mereka bisa muncul dimana-mana. Diseminar-seminar, di talk show, di televisi, dimajalah dan dikoran-koran, mulai dipenuhi orang-orang yang pintar, kritis dan berani.
Tiga kriteria itu: pintar, kritis, berani pada masa lalu bukanlah aksi yang bisa diperagakan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang kuat saja yang sanggup melakukannya. Banyak orang pintar tapi memilih tidak kritis. Banyak orang pintar dan kritis tetapi tidak cukup memiliki keberanian. Pada saat itu manusia yang pintar dan kritis sekaligus berani, sangat mengagumkan kita. Mereka berhasil bersemayam dalam lubuk simpati tanpa menyulut rasa curiga. Mereka menjadi ilham, inspirator, penyemangat dan lebih dramatis lagi, kepadanyalah kita tergerak menyerahkan nasib bangsa. Pendek kata, ditengah cengkeraman rasa takut dan jengkel, tertekan dan marah, mereka menghibur kita.
ADVERTISEMENT
Celakanya, hiburan itu telah tumbuh begitu subur. Mendadak kita terancam bosan karenanya. Penyebabnya sepele saja, hiburan yang meriah ini ternyata belum menghasilkan apa-apa. Kita memang berterimakasih atas upaya itu. Tapi saat ini kita mulai kekenyangan hiburan dan lebih membutuhkan perubahan. Kita sadar bahwa kita memang harus bersabar. Bahwa yang kita inginkan bukanlah perubahan yang serba mendadak. Mendadak harga-harga barang turun, taraf hidup meningkat, bebas pengangguran, bebas pejabat korup. Kita paham betul bahwa perubahan ini harus melewati sebuah tahapan kata orang pintar . Untuk itu, kita, masyarakat, telah siap berpuasa, karena kita memang telah terbiasa berpuasa.
Saat ini yang namanya penderitaan, bukanlah semata-mata karena penderitaan ini sendiri, melainkan lebih karena melihat banyaknya manusia yang tak paham, tak peduli bahwa akan menari-nari diatas penderitaan ini. Rasanya, kita jauh lebih siap melawan kelaparan dan kemiskinan ketimbang melawan hati yang dilukai.Memang ada kalanya kita pernah sangat berterima kasih pada aksi demonstrasi. Karena ada jenis demonstrasi yang begitu otentik, yang begitu menuntut stamina dan keberanian yang berhasil menumbangkan mitos, membukakan pintu perubahan dan menawarkan kemungkinan-kemungkinan.
ADVERTISEMENT
Tapi kini corak demonstrasi seperti itu telah demikian beragam. Tak jarang diantaranya saling bertabrakan kepentingan. Pandangan kita lalu dibuat kabur, siapa tengah memperjuangkan apa dan kita harus berdiri di kelompok yang mana. Padahal semua memakai rumus yang sama berdiri diatas budaya ”atas nama”. Sebuah pengatasnamaan yang sangat sulit kita tolak karena selalu berkaitan dengan embel-embel ”demi nasib bangsa”.
Dan kita pun mulai lelah bertepuk tangan untuk pidato dan kritik yang berapi-api. Bukan karena aneka pidato dan kritik itu tak diperlukan lagi, tapi karena kita telah mulai kenyang petuah, nasehat dan data-data. Padahal kita sekarang tengah menderita kelaparan atas keaslian gerakan. Kelaparan atas fokus yang dulu nyaris terpegang, tapi sekarang makin mengabur dan mengembang.
ADVERTISEMENT
Kita seperti berlomba-lomba cuma untuk pamer kemarahan, mumpung kesempatan untuk marah telah datang.Inilah saat bagi orang-orang yang dulu penakut boleh menjadi pemberani. Orang yang dulu membisu, kini boleh memaki-maki. Orang-orang yang dulu pendiam, kini boleh pamer aksi. Oleh masa lalu, kita memang pernah dibuat marah. Tapi kalau kemudian ketahuan bahwa kebisaan kita hanya marah-marah tanpa bisa memperbaiki keadaan, jangan-jangan kemarahan itu tak asli lagi. Foto: Pixabay