Intelektual Indonesia, Bicaralah!

Konten Media Partner
1 Desember 2018 9:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi buku tua (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku tua (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Penulis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Tulisan ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.ID.
ADVERTISEMENT
banjarhits.ID - Belakangan ini saya banyak tersenyum. Mungkin Anda mengira ada yang tidak beres pada diri saya. Sesungguhnya tidak. Diam-diam saya mengagumi sekaligus menangkap gejala yang menggembirakan sikap teman saya, yaitu sikap dan cara berpikirnya yang kian kritis.
Dia sudah mulai berani berbeda pemikiran dan berani pula ceplas-ceplos mengemukakan pendapat dari sistem nilai yang tidak sejalan dengan kalangan birokrat. Ia menyebut kaum politikus memang tidak menggunakan rasionya karena kekuasaan yang dipakai.
Begitu pula kalangan ekonom (pengusaha) tidak menggunakan rasio dan bertumpu pada kekuatan modal dan kapital. Ini suatu kemajuan. Ini pertanda ada dinamika yang mulai tumbuh pada dirinya sebagai intelektual. Sebab yang namanya intelektual memang pada hakikatnya adalah penggunaan rasio sebagai modal utamanya.
ADVERTISEMENT
Di tengah zaman kapan pun, peran kalangan intelektual sangat penting. Apalagi di tengah 'zaman sontoloyo' yang dilukiskan penuh keraguan dan serba membingungkan. Sebagai intelektual hendaknya kita jangan ikut-ikutan larut, kalau itu (ikut larut) maka semua akan tenggelam dan bangsa ini akan punah, begitu kata teman saya.
Hal senada juga diingatkan budayawan Sindhunata 15 tahun lalu dalam satu tulisannya di Kompas, November 2003. Dia menganalogikan era reformasi ibarat 'zaman sontoloyo' di mana kalangan intelelektualnya tidak membuat perubahan apapun, melainkan justru menimbulkan kebingungan. Digambarkan kalau manusia lebih dikuasai 'nafsu rahwana' yang merusak kehidupan dengan menggunakan kekuasaan dan kedigdayaannya.
Pada buku kumpulan pemikiran Dr. M. Hatta sang proklamator pun juga disebutkan moral seorang intelektual wujudnya mencari dan membela kebenaran. Terlepas apakah pemikiran-pemikiran kalangan intelektual itu diterima atau tidak oleh jajaran birokrat tidak jadi masalah.
ADVERTISEMENT
Sebab biasanya birokrat hanya berpijak pada legalitas dan kekuasaan yang melekat pada dirinya serta memaksakan pendapat atau kehendaknya sendiri. Ia akan mengklaim sebagai benar sendiri atau yang paling tahu tentang apa yang benar dan baik.
Dan kalaupun pada akhirnya terjadi titik temu, antara pemikiran kaum intelektual dan sang birokrat, walau hanya pada diskusi atau dengar pendapat maupun polemik dalam bentuk tulisan opini di media cetak atau elektronik, secara jujur saya akui, saya cenderung menghargai dan menghormati intelektual itu.
Karena bagaimana pun dan di mana pun juga di dunia ini, tegaknya hukum dan demokrasi hanya tergantung dan berpulang kepada intelektualnya. Maksud saya, yang dimaksud intelektual di sini bukan yang sekadar menyandang gelar sarjana formal, tetapi cendekiawan yang mampu berperan sebagai kritikus sosial.
ADVERTISEMENT
Dari dialah dapat diproduksi pemikiran-pemikiran yang bersifat antisipasi terhadap perkembangan hidup bangsa dan mengandung wawasan ke depan sehingga memperkaya pengambilan keputusan dengan sejumlah alternatif. Kecuali kalau kita menganut pemikiran yang satu arah, yang satu garis, maka alternatif pemikiran memang tidak dibutuhkan.
Berbicara tentang intelektual sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru, karena masyarakat kita sudah terlanjur punya image sendiri tentang intelektual dan itu kemudian berkembang menjadi pengharapan yang mengendap dalam lubuk hatinya.
Konsep masyarakat tentang intelektual niscaya gambaran-gambaran tentang manusia yang merupakan inkarnasi dari empu yang bertugas menerjemahkan dan menjelmakan kata hati masyarakat ke dalam formula-formula akademis. Semua itu memberi petunjuk pada kita bersama betapa pentingnya peran intelektual untuk menumbuhkan suatu kepribadian yang kuat dan khas sebagai seorang intelektual.
ADVERTISEMENT
Sebab hanya dengan demikian dapatlah ditingkatkan kemampuan individu intelektual itu sendiri sekaligus membantu kekompok solidaritas primordial dalam bergulat dengan masalah-masalah kehidupan modern di masa mendatang yang penuh kejayaan teknologi.
Mau tidak mau, suka tidak suka, berbagai kemudahan yang akan dibawa dalam proses inovasi teknologi ini akan mendorong berbagai nilai kekinian ke tepi. Kebaruan akan muncul di mana-mana betapa pun ketatnya pagar-pagar primordialisme.
Coba lihat sekarang saja, di kota-kota besar telah terlanda bukan oleh arus modernisasi melainkan akibat ketidakberdayaan dalam penyesuaian atau pengendalian teknologi. Dan bagaimana pun inovasi itu tidak mungkin dihambat kecuali jika kita bersedia jadi budak-budak mereka.
Menghadapi permasalahan demikian, hanya ada dua alternatif bagi seorang intelektual dengan akal sehatnya. Pertama, menghindar dari pelibatan dan tanggung jawab lalu membenarkan diri dalam perasaan benar sendiri. Kedua, melakukan suatu tantangan yang dilakukan secara terbuka lewat kritik.
ADVERTISEMENT
Alternatif terakhir inilah yang menjadikan suatu ukuran daripada vitalitas suatu bangsa terhadap sejumlah intelektualnya yang berani mengambil risiko. Memang berat dan satu proses yang panjang.
Sengaja saya tidak menyatakan perlunya demokratisasi, sebab nanti diartikan lain dan dianggap yang bukan-bukan. Meski kita tahu bicaranya seorang intelektual bukannya tidak dihadapkan dengan risiko-risiko.
Bahaya dan hukuman yang diterima tidak hanya sekadar dimasukkan ke dalam penjara atau menjadi syahid, menjadi tuna karya atau kehilangan martabatnya, akan tetapi juga kekabursamaran. Semoga selamat negeri ini.