Ironi Kesehatan Daerah Tertinggal
ADVERTISEMENT
Kolumnis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Artikel ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.id.
ADVERTISEMENT
banjarhits.id - Di negara seluas Indonesia, pencapaian keberhasilan pembangunan pasti berbeda antara wilayah satu dengan yang lain. Baik antar tujuh wilayah regional, atau bahkan antar-kabupaten/kota dalam satu regional.
Semua bisa mengerti perbedaan itu karena persoalan geografis ataupun sosial budaya. Namun menjadi lain ketika orang bertanya: Apakah kita memang sudah berbuat cukup keras untuk mengalahkan persoalan geografis ataupun sosial budaya itu?
Apakah kita sudah berbuat adil? Fokus membantu mereka yang tertinggal sambil tetap menyediakan ruang gerak agar bagian lainnya tetap maju?
Memang, perbedaan adalah sesuatu yang alami terjadi di bagian bumi mana pun. Maka menjadi penting untuk mengetahui bahwa perbedaan ini masih dalam batas kewajaran atau tidak. Kalau yang tertinggal itu kebanyakan terletak di kawasan timur, apakah juga masih wajar? Isu yang menjadi emosional ketika konteksnya adalah perbatasan, misalnya dengan Malaysia atau Brunei Darussalam.
Apalagi ketika negeri tetangga membantu menyediakan sarana dan prasarana air bersih bagi mereka, maka lengkaplah sudah? Mereka mengancam akan mengibarkan bendera Malaysia apabila tuntutan dan perhatian bagi mereka tidak juga dipenuhi.
Pada wilayah yang disebut daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (sekarang tambah wilayah pasca-konflik), ada KPDT (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJKP3K), dan bahkan Bappenas.
Banyak pula berbagai intervensi lintas departemen untuk penduduk miskin di wilayah daerah tertinggal, baik dari Kementerian Sosial, Menko Kesra, maupun Kementerian UKM. Namun, banyaknya institusi ini belum bisa banyak bermanfaat dilihat dari pandangan penduduk.
Alih-alih berbicara proses penyediaan pelayanan yang memadai, dalam penyediaan faktor input atau sarana dan prasarana saja, ketimpangan ini masih terasa. Jadi, persoalannya bukan pada banyaknya institusi, tapi apakah semua institusi itu bisa bekerja sama.
Dari segi kesehatan, besarnya ketimpangan terlihat jelas, karena kita sekarang mempunyai IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat).
Indeks ini tidak hanya mengukur faktor input, seperti tersedianya air bersih, penanganan limbah maupun rasio tenaga dokter per puskesmas atau bidan per desa, namun juga faktor output atau outcome seperti prevalensi berbagai penyakit menular maupun tidak menular dan status gizi balita.
Dengan IPKM, kita bisa mengatakan wilayah-wilayah mana yang perlu mendapat prioritas. Pemerintah sudah berusaha keras mengurangi disparitas ini.
Kementerian Kesehatan jelas sejak lama berusaha adil: mulai dengan dokter WKDS, dokter PTT, bidan PTT, insentif untuk SDM yang mau bekerja di daerah tertinggal, dan sebagainya. Namun, faktanya, banyak rumah sakit tidak mempunyai dokter spesialis, puskesmas tidak mempunyai dokter, dan banyak bidan meninggalkan desa.
Di daerah tertinggal tidak banyak SDM yang mau tinggal. Artinya, insentif yang diberikan belum cukup menarik untuk membuat orang mau tinggal, apalagi dibandingkan berbagai kesempatan yang didapat dengan meninggalkan wilayah tertinggal ke daerah yang lebih baik.
Memang pemerintah sudah mengantisipasinya, misalnya lewat program dokter terbang, rumah sakit terapung, bahkan mulai menginisiasi kerja sama dengan institusi swasta.
Untuk itu, kunci memajukan wilayah tertinggal tidak mungkin dilakukan berbagai sektor secara terpisah. Pengadaan program dokter terbang, rumah sakit terapung, bila dilakukan sendiri akan menjadi sangat mahal.
Pembangunan daerah tertinggal perlu dilakukan sebagaimana sebuah orkesta dimainkan. Ini memang bukan perkara mudah, namun ada beberapa prinsip.
Prinsip pertama: wilayah Indonesia, di mana pun letaknya, meskipun wilayah tertinggal, harus mempunyai sarana dasar standar seperti tersedianya air bersih dan sarana sanitasi yang memadai. Sarana ini penting karena banyak penyakit menular yang biasa ada, akan banyak berkurang bila kedua sarana ini tersedia secara memadai.
Prinsip kedua: berbeda dengan yang pertama, di wilayah tertinggal, sarana komunikasi-informasi yang canggih namun murah harus tersedia. Tersedianya fasilitas ini memungkinkan pergerakan ekonomi skala “kecil”, namun dalam networking yang sangat luas.
Prinsip ketiga: penyediaan pelayanan kesehatan tetap diperlukan. Namun, agar biayanya bisa relatif terjangkau maka pelayanan kesehatan harus dikembangkan dalam konsep networking wilayah (hub).
Konsep Hub artinya dalam setiap wilayah dari 7 regional menurut Bappenas perlu dibagi lagi subwilayah sesuai dengan keterjangkauan, kapasitas, dan kemampuan pelayanan rujukan kesehatan. Pengembangan pelayanan rujukan dengan model hub ini lebih mudah daripada mengatasi masing-masing wilayah tertinggal.
Negara dengan ribuan pulau seperti Indonesia, mestinya yang dibangun lebih banyak bukanlah cuma infrastruktur jalan tol dan mobil, tetapi pelabuhan dan kapal. Semoga bermanfaat.
ADVERTISEMENT